Esther Duflo, SD Inpres, dan Politik Pendidikan

M Alfan Alfian
Esais, penulis artikel di media massa. Dosen Magister Ilmu Politik, Sekolah Pascasarjana, Universitas Nasional, Jakarta
Konten dari Pengguna
17 Oktober 2019 16:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari M Alfan Alfian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
M Alfan Alfian Dosen Ilmu Politik Universitas Nasional, Pengurus Pusat HIPIIS
Esther Duflo, ekonom Prancis peraih nobel. Foto: AFP/PATRICK KOVARIK
ADVERTISEMENT
Ketika Esther Duflo diberitakan menerima hadiah Nobel, saya terkenang-kenang masa SD di desa. Dia bersama dua rekannya, Abhijit Banerjee dan Michael Kremer, penerima Hadiah Nobel bidang ekonomi tahun ini. Ketiganya dinilai telah menginisasi pendekataan pengurangan kemiskinan yang berbasis desain eksperimen yang sangat teliti guna menjawab pertanyaan-pertanyaan, terkait kebijakan tertentu.
Esther Duflo, Profesor Massachusetts Institute of Technology, 46 tahun, ialah yang termuda sekaligus perempuan kedua yang dianugerahi Nobel ekonomi. Dia dikenal melalui penelitiannya atas kebijakan SD Inpres semasa pemerintahan Orde Baru di Indonesia pada 1973 hingga 1978, mana pemerintah telah membangun lebih dari 61.000 SD.
Penelitiannya diterbitkan sudah lama, sembilan belas tahun lalu: “Schooling and Labor Market Consequences of School Construction in Indonesia: Evidence from an Unusual Policy Experiment” (2000). Duflo menganalisis dampak program pemerintah terhadap pendidikan dan tingkat upah penduduk Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pada 1973, Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 10 Tahun 1973 tentang Program Bantuan Pembangunan Sekolah Dasar. Kebijakan yang dirancang ekonom Widjojo Nitisastro ini, konon dilakukan guna memperluas kesempatan belajar, terutama di pedesaan dan perkotaan yang warganya berpenghasilan rendah.
Melalui penelitiannya, Duflo menemukan pembangunan SD Inpres telah menyebabkan anak-anak usia 2 hingga 6 tahun di 1974 menerima 0,12 hingga 0,19 tahun lebih banyak pendidikan, untuk setiap sekolah yang dibangun per 1.000 anak di wilayah kelahiran mereka.
Menggunakan variasi sekolah yang dihasilkan oleh SD Inpres sebagai variabel instrumental, ke dampak pendidikan pada upah, Duflo mendapatkan kesimpulan, kesuksesannya meningkatkan perekonomian. Bahkan, terdapat pengembalian ekonomi sekitar 6,8 persen hingga 10,6 persen.
ADVERTISEMENT
***
Suatu ketika, kendaraan yang kutumpangi membelok di sudut desa. Sisa-sisa bangunan SD Inpres masih teronggok. Dulu banyak murid, tetapi lama-lama tak ada lagi. Tampaknya program Keluarga Berencana (KB) berhasil. Anak-anak di desa menyusut jumlahnya. SD-nya tidak salah, tapi calon muridnya memang sudah tidak ada.
Pada dekade 1970-an dan 1980-an, masih ada tiga SD di desa: dua negeri satu Inpres. Yang Inpres itu untuk memastikan anak-anak yang jaraknya jauh dari dua SD negeri, tertampung. Maka, perayaanlah pendidikan dasar: semua anak bersekolah. Belum lagi ada SD Muhammadiyah.
Karena semua sekolah, tak ada anak yang tak bisa baca tulis. Gerakan memberantas buta huruf juga jalan di RT-RT. Yang tua-tua, banyak yang ikut Kejar Paket A (setara SD). Sekolah mengaji juga berkembang sore hari. Saya merasa, masa kecil remaja, begitu gembira banyak teman belajar, pagi di SD, sore di madrasah, malam di belajar kelompok di rumah pak guru.
ADVERTISEMENT
Tak seperti anak-anak saya yang hidup di zaman digital (nyaris mereka generasi native digital), kami ialah generasi berpindah tak saja dalam konteks “migrant digital”, tetapi dari lampu teplok ke petromaks, ke listrik. Kami baru menikmati listrik, kelas enam SD. Ya, ketika program listrik masuk desa sampai juga di tempat kami.
Petromaks. Foto: pixabay
Waktu itu masa Orde Baru, era boom minyak. Jargon pembangunan disebar ke mana-mana. Selaras dengan kemauan negara, desa-desa Golkar, rasanya diprioritaskan pembangunannya: jalannya, listriknya. Di tiap rumah ada tulisan UDKP yang belakangan saya tahu singkatan dari Unit Desa Kerja Pembangunan.
Setiap beberapa waktu, Pak Camat tinjauan. Itu segera diketahui orang sedesa, karena robongannya pakai mobil “kodokan”. Desa kami jarang dilewati mobil. Setiap ada mobil lewat, tentulah kejutan besar. Ketika “montor kol”, mobil iklan film lewat, keluarlah segenap warga. Anak-anak membuntuti berlari-lari di belakangnya.
ADVERTISEMENT
Kembali ke onggokan bekas SD inpres itu: ke mana orang-orang yang dulu sekolah di situ? Tentulah, saya tak bisa memeriksa satu per satu ke mana mereka. Sebagian besar memang masih menetap di desa. Tetapi, cukup banyak pula yang hijrah ke kota. Pada dekade 1990-an, krisis anak muda di desa memang makin terasa. Mereka yang hijrah ke kota itu, rata-rata justru yang sekolahnya terus sampai perguruan tinggi.
Setelah lulus, mencari hidup di kota, rata-rata mereka tak pulang lagi ke desa. Di antara mereka ialah saya. Bahkan, sejak SMA pun saya sudah hijrah ke kota, kuliah ke kota lain, bekerja di kota lain, pulang ke desa kalau lebaran atau keperluan keluarga.
ADVERTISEMENT
Jadi, SD Negeri dan SD-SD Inpres itu telah melemparkan mereka yang dulu duduk di bangku-bangkunya melesat jauh. Tak saja dalam konteks dampak ekonomi sebagaimana diteliti Duflo, tetapi kisah yang saya dan hampir kebanyakan teman-teman saya alami, ialah kisah khas Indonesia: sejarah dari desa ke kota.
Dan SD Inpres di sudut desa yang tinggal onggokan sisa bangunan itu, ialah monumen sejarah semasa saya dan teman-teman kecil saya sekolah di akhir 1970-an dan awal 1980-an.
***
Kolom ini tak mengulas lebih lanjut, apalagi mengaitkan bagaimana kisah SD-SD Inpres itu, perkembangannya, dan kebijakan-kebijakan pemerintah. Kita tahu, situasinya sudah sangat lain sekarang. Tak ada lagi misalnya “boom minyak”, nyaris tak ada lagi pula jalan-jalan di Jawa yang belum beraspal dan berlistrik. Kita berada di masa yang sudah melampaui jargon modernisasi. Kita sudah masuk ke abad digital.
ADVERTISEMENT
Strategi pembangunan kita juga sudah menyesuaikan zamannya. Dan, melalui Duflo, kita diingatkan lagi masa pembangunan Orde Baru. Bahwa memang tak semua negatif. Prestasi di bidang HAM dalam penilaian masa kita, apa yang terjadi semasa Orde Baru sungguh tekor. Tetapi, dalam bidang pendidikan, sungguh signifikan dampaknya.
Pendidikan memang penting, mendasar, dan perlu diurus dengan strategi yang tepat selaras tantangan zaman. Aspek kesinambungan diperlukan, di tengah perubahan-perubahan. Ikhtiar membentuk SDM unggul, perlu basis pengetahuan sejarah politik pendidikan yang memadahi. Dan, dari sisi ini, kita berhutang pengetahuan dari penelitian Duflo.**