Ke Kuburan, Kuburan!

M Alfan Alfian
Esais, penulis artikel di media massa. Dosen Magister Ilmu Politik, Sekolah Pascasarjana, Universitas Nasional, Jakarta
Konten dari Pengguna
9 April 2020 21:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari M Alfan Alfian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
M Alfan Alfian
Kamis, 9 April 2020 saya nengok ruangan saya di kantor. Beberapa dokumen perlu diteken. Tak sampai sepuluh menit semua beres. Saya pamit ke petugas piket. Dan, balik lagi ke rumah, tapi sempat mampir ke supermarket. Mal-mal sudah tutup.
ADVERTISEMENT
Jum’at, 10 April 2020, Jakarta menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Aturan keluar rumah, lebih ketat. Makanya, saya ke kampus Kamis saja.
Ada kiriman buku yang tergeletak di meja saya. Pengirimnya sahabat penyair saya. Dia tinggal di Jombang. Binhad Nurrohmat. Ini sudah buku ketiga sejak, sekira dua bulan ini. Kali ini judulnya, Nisan Annemarie.
Pada tahun 2000, Binhad muda pernah mewawancarai saya. Dia tanya ini itu tentang mengapa saya menulis. Saya menulis artikel-artikel kala itu. Juga pernah puisi-puisi. Kemudian hasil wawancaranya ditayangkan di Suara Pembaruan. Sejak itulah saya kenal dia, konsisten di dunianya. Puisi. Esai sastra. Dengan segala kenyentrikannya.
Nisan Annemarie, banyak diisi puisi-puisi dari kuburan. Binhad rajin mereportase kuburan-kuburan di Jombang dan Jawa Timur di akun Facebook-nya, meringkasnya ke bait-bait puisi yang khas. Disiplin puisinya ia jaga. Tak ada kesan “cengengesan”, kendati dia sense of humor-nya tinggi. Petualangan Binhad dari kuburan ke kuburan memang unik.
ADVERTISEMENT
Dan, ada kalanya saya kepikiran juga melakukan itu. Pada saat saya penelitian untuk disertasi saya di Turki, urusan saya tak terelakkan sempat membelok-belok ke kuburan. Bukan untuk ngalap berkah yang dikubur tentu, tapi ketika pada hari-hari pertama saya di Ankara yang saya tuju Anitkabir, mouseleum alias tempat persemayaman pendiri Republik Turki, Mustafa Kemal Ataturk, ialah karena dia lembaran pertama sejarah Turki modern.
Kisah saya ke Anitkabir, kemudian ke makam dua sufi populer yang namanya berkibar seantero dunia, Maulana Jalaluddin Rumi dan Nasruddin Hoja, bisa Anda baca lagi di buku saya, Istanbul. Juga saya kisahkan kekaguman saya pada kuburan orang Turki yang kijingnya begitu mencolok, bak seni instalasi yang unik.
Beberapa tahun yang lalu, ketika menemukan diri saya tengah di Eropa, saya kepikiran kuburan. Di Praha, lewat kuburan orang-orang Yahudi. Dan, pada hari terakhir di Vienna, sopir yang mengantar kami bilang, masih ada waktu sekitar dua jam sebelum ke bandara.
ADVERTISEMENT
“Kita sudah ke mal-mal, museum-museum, ke mana-mana, sebelum bandara, ke mana lagi kita?”
“Kuburan!” saya menyahut. Semua setuju.
“Siap!”
Mobil pun membelok, ke kuburan, makam. Sore itu gerimis hadir. Langit mulai menggelap. Ketika tiba di kuburan Vienna, sepinya minta ampun. Mobil kami masuk ke situ, melintas dari satu blok ke blok lainnya. Suasananya, magis, singup.
Sopir yang mengantar kami hapal betul seluk-beluk kuburan itu. “Anak saya ikut dikubur di sini,” katanya, lalu kami sempat menengoknya, kendati tak turun dari mobil. Al Fatihah.
Kuburan itu tertata betul, terklasifikasi. Bagian paling depan makam para petinggi negara. Saya turun dari mobil. Udara begitu dingin, berembus bersama gerimis. Kurt Waldheim dan lain-lain ada di sana.
ADVERTISEMENT
Yang ikut mencolok makam keluarga-keluarga bangsawan: seperti jor-joran instalasi patung-patung. Tak hanya banyak patung Yesus di sana, tetapi juga para santo.
Kesan sakral segera merasuk. Patung-patung itu seperti hidup. Ketika kau sendirian di sana, tak ada orang sesiapapun, bisa saja patung-patung itu tiba-tiba berlarian mengejarmu!
Ketika tiba di blok para seniman, para musisi, saya minta turun. Saya ingin foto makam Beethoven.
“Jangan lama-lama ya!”
“Ya Cuma sebentar!”
Saya berlari-lari kecil di tengah gerimis dingin ke Beethoven dikuburkan. Kemudian saya foto pakai kamera. Saya cek hasilnya. Kabur. Foto lagi. Kabur lagi.
Tiba-tiba ada suara yang bikin kaget setengah mati. Ternyata suara sopir berteriak-teriak naif.
“Jangan injak itu! Jangan injak!”
ADVERTISEMENT
Saya bingung saja, merasa tak menginjak apa-apa. Hanya rumput yang saya injak. Rumput basah air gerimis. Sopir lari mendekati saya, menunjuk supaya saya tak injak rumput. Akhirnya, kami lari kembali ke mobil.
Saya sempat potret ke beberapa kijing di situ, yang nanti setelah saya cek, kabur semua. Saya kira, saya kurang fokus saja. Masalah teknis semata, bukan magis!
“Sorry, tadi saya lupa bilang, di makam ini, kita dilarang menginjak rumput!”
“Kenapa? Bukannya rumput ditanam untuk dinjak? Kan bukan padi atau gandum, atau tanaman pangan?”
“Ini aturan di sini! Kalau ketahuan bisa didenda!”
Saya lihat, dari tadi tak ada petugas satu pun. Tak ada orang lain selain kami. Tapi sopir bilang, aturan tetap harus ditegakkan. Apalagi ini di kuburan?
ADVERTISEMENT
“Ya, kendati tidak terlihat ada kamera, tetapi sebenarnya banyak yang mengawasi kita dari tadi!”
“Oh, yang tak tampak ya! Saya setuju, ikut merasakan juga!”
Setelah cukup, baru mobil bergerak ke bandara. Saya belum puas rasanya.
Diberi kata pengantar bagus oleh Martin Suryajaya, puisi Binhad juga mengingatkan saya pada makam Maulana Jalaluddin Rumi. Saya sudah baca banyak informasi tentang Rumi dari peneliti sufi legendaris asal Jerman Annemarie Schimel. Beberapa bukunya telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia.
Sehingga, ketika beberapa kali ke makam Rumi, saya sudah punya gambaran, banyak hal yang dikisahkan Schimel. Termasuk kekaguman filosof penyair Pakistan Muhammad Iqbal pada Rumi. Bahkan ketika mobil kami melintas jalan panjang antarkota ke Konya, ke makam Rumi, saya rasa aura Schimmel ketika mendeskripsikan jalan-jalan itu 1950-an.
ADVERTISEMENT
Dan memang, ternyata dia yang dimaksud Binhad: Annemarie Schimmel. Dia juga mencerap aura Schimmel, dalam bait puisinya:
Perjalanan di dunia seumpama mimpi
menempuh serentang ruang dan masa.
Seperti Annemarie Schimmel mengerti
di relung pusara bermula segala cerita.
Ke kuburan, kuburan kita, semua, akan menuju ke sana. Seperti sinyal sastrawan Umar Kayam, ketika dia menulis cerpen “Lebaran di Karet, di Karet”. Tak ke mana-mana, di Karet lah si tokoh cerpennya mau dimakamkan.
Binhad telah secara kreatif mereportase kuburan-kuburan via puisi-puisinya. Setidaknya dia mengingatkan orang akan kematian. Dan, dalam imajinasinya tertulis:
Manusia terakhir menghuni bumi
kelak mengubur mayatnya sendiri.
Laksana sepi tak berjumpa bahasa
semenjak berpusara seluruh kata.**
ADVERTISEMENT
*Penulis, esais, dosen di Magister Ilmu Politik, Sekolah Pascasarjana Universitas Nasional, Jakarta