Asa Politik Hukum yang Ideal

Alfikri Lubis
Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada
Konten dari Pengguna
9 November 2020 11:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alfikri Lubis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pada dasarnya, pembentukan suatu peraturan perundangan-undangan dilakukan dalam rangka pembangunan hukum nasional dan merubah tatatan sertaa tertib sosial yang dikehendaki oleh negara. Kewenangan tersebut dituangkan dalam politik hukum. Pengertian politik hukum bisa kita temukan diberbagai literatur. Mengutip pendapat Satjipto Rahardjo dalam buku ilmu hukum yang menyatakan bahwa politik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat. Menurut M. Mahfud MD, politik hukum adalah kebijakan resmi (legal policy) negara tentang hukum yang akan diberlakukan atau tidak akan diberlakukan lagi untuk mencapai tujuan negara. Dengan demikian maka dapat ditarik substansi yang sama tentang definisi politik hukum adalah legal policy atau garis kebijakan resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama dalam rangka mencapai tujuan Negara seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945”.
ADVERTISEMENT
Timbul beberapa pertanyaan, mengapa politik hukum dibutuhkan? Apakah politik hukum tersebut sudah mencerminkan kebutuhan hukum masyarakat? Atau politik hukum tersebut justru didominasi oleh kepentingan elit dan kelompok tertentu? Sebelum menjawab pertanyaan diatas, kita harus melihat terlebih dahulu bahwa hukum merupakan produk politik sehingga karakter setiap produk hukum akan sangat ditentukan atau diwarnai oleh pertimbangan kekuatan atau konfigurasi politik yang melahirkannya. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa setiap produk hukum merupakan keputusan politik sehingga hukum dapat dilihat sebagai kristalisasi dari pemikiran politik yang saling berinteraksi dikalangan para politisi. Meskipun dari sudut “das sollen” ada pandangan bahwa politik harus tunduk pada ketentuan hukum, namun dari sudut “das sein” bahwa hukumlah yang dalam kenyataannya ditentukan oleh konfigurasi politik yang melahirkannya.
ADVERTISEMENT
Walaupun dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia telah diatur dan berpedoman dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-undangan. Akan tetapi pedoman dalam Undang-Undang tersebut bisa saja dikangkangi demi memuluskan kepentingan elit dan kelompok tertentu. Hal ini bisa terlihat dalam proses pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja dengan metode Omnibus Law. Jika dilihat dalam tradisi ketatanegaran terkait dengan pembentukan peraturan perundang-undangan, Pemerintah dan DPR RI tidak mematuhi pedoman yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan peraturan perundang-undangan. Sebenarnya Omnibus Law tidak dikenal dan tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011. Pembentukan peraturan perundang-undangan hanya dapat dilakukan dengan 2 cara. Adapun cara tersebut antara, Pertama dengan perubahan dan yang Kedua dengan pencabutan. Sedang konsep Omnibus Law adalah melakukan perubahan terhadap beberapa undang-undang dan keluar dari kaidah yang sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011.
ADVERTISEMENT
Meskipun norma yang bersangkutan didukung oleh masyarakat lapisan akar rumput, sejalan pula dengan cita-cita filosofis negara, dan memiliki landasan juridis yang sangat kuat, tetapi tanpa dukungan kekuatan politik yang mencukupi di parlemen, norma hukum yang bersangkutan tidak mungkin mendapatkan dukungan politik untuk diberlakukan sebagai hukum. Dengan perkataan lain, keberlakuan politik ini berkaitan dengan teori kekuasaan (power theory) yang pada gilirannya memberikan legitimasi pada keberlakuan suatu norma hukum semata-mata dari sudut pandang kekuasaan. Apabila suatu norma hukum telah mendapatkan dukungan kekuasaan, apapun wujudnya dan bagaimanapun proses pengambilan keputusan politik tersebut dicapainya sudah cukup untuk menjadi dasar legitimasi bagi keberlakuan norma hukum yang bersangkutan dari segi politik. Walaupun hukum yang dihasilkan bersifat elitis dan menindas, hukum tersebut tetap akan mendapatkan legitimasi karena melaluin proses pembentukan hukum oleh institusi politik.
ADVERTISEMENT
Dalam proses pembentukan hukum oleh institusi politik, peranan kekuatan politik yang duduk dalam institusi politik itu adalah sangat menentukan. Institusi politik secara resmi diberikan otoritas untuk membentuk hukum. Dominasi kepentingan politik atas kepentingan masyarakat sangat kuat. Walaupun ada ruang partisipatif, tetapi eksekusi penuh tetap ada pada institusi politik. Hal tersebut bisa kita dari beberapa produk hukum yang dihasilkan. Produk hukum yang dihasilkan masih lebih mementingkan kepentingan dan kompromi politik dibandingkan rakyat. Sehingga, riuh suara penolakan lebih banyak muncul, akan tetapi produk hukum tersebut dapat melanggeng dengan mudah. Produk yang dihasilkan justru langsung dilakukan pengujian ke Mahkamah Konstitusi.
Lalu seperti apa ruang publik yang diharapkan dalam proses pembentukan suatu peraturan perundang-undangan? Sebenarnya dalam demokrasi terlihat jelas bagaimana keterlibatan masyarakat secara total. Hanya saja realitas politik yang menunjukkan Dominasi kepentingan politik atas kepentingan masyarakat sangat kuat. Penulis ingin mengutip istilah Demokrasi deliberatif. Demokrasi deliberatif yang diperkenalkan oleh Jurgen Habermas, mungkin bisa menjadi solusi alternatif untuk menjawab persoalan demokrasi saat ini. Demokrasi deliberatif merupakan sebuah model yang secara politis diharapkan mampu menjelaskan dinamika komunikasi politis dalam negara demokratis. Habermas memandang bahwa komunikasi yang terdapat dalam negara demokratis selama ini belum dapat diwujudkan dengan baik. Demokrasi deliberatif yang ditawarkan Jurgen Habermas menjadi sumbangan pemikiran yang bisa dipertimbangkan untuk menyelesaikan persoalan demokrasi saat ini. Hal ini berdasarkan bahwa demokrasi deliberatif menyaratkan adanya komunikasi antara masyarakat dan negara yang diistilahkan dengan ruang publik (public sphere). Inilah yang dalam teori Jurgen Habermas disebut dengan Demokrasi Deliberatif. Teori ini berakar dalam teori tindakan komunikatif.
ADVERTISEMENT
Ruang publik dalam pemikiran Habermas bertujuan untuk membentuk opini dan kehendak (opinion and will formation) yang mengandung kemungkinan generalisasi, yaitu mewakili kepentingan umum. Dengan kata lain, legitimitasi suatu keputusan publik terutama peraturan perundangan-undangan diperoleh lewat pengujian publik dalam proses deliberasi yang menyambungkan aspirasi rakyat dalam ruang publik dan proses legislasi hukum oleh lembaga legislatif dalam sistem politik. Sehingga jurang pemisah yang selama menganga antara sistem politik (legislatif, eksekutif dan yudikatif) dengan para aktivis LSM, Pers, Peneliti, Akademisi gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil bisa terjembatani dengan baik melalui komunikasi politis dengan ruang publik. Semakin diskursif proses itu, yakni semakin rasional dan terbuka terhadap pengujian publik, semakin legitim hasilnya.
Demokrasi deliberatif menekankan pentingnya partisipasi publik yang sifatnya dialogis dan sintesis, dan secara bersama-sama berupaya mencari kebenaran yang berakar pada fakta, peduli pada kepentingan masyarakat, dan tidak doktriner. Dalam demokrasi deliberatif, kebijakan-kebijakan penting (perundang-undangan) dipengaruhi oleh diskursus-diskursus “liar” yang terjadi dalam masyarakat Di samping kekuasaan administratif (negara) dan kekuasaan ekonomis (kapital) terbentuk suatu kekuasaan komunikatif melalui jaring-jaring komunikasi publik masyarakat sipil. Ini yang menjadi inti demokrasi deliberatif yang sedang penulis harapkan dapat diterapkan dalam sistem politik atau pemerintahan Indonesia pasca-Orde Baru terutama dalam hal peraturan perundangan-undangan.
ADVERTISEMENT
Peran serta masyarakat dalam kehidupan bernegara sangat penting. Peran itu hanya bisa terwujud jika ada komunikasi yang baik antara masyarakat dan pemimpin. Negara harus bisa memberikan ruang bagi masyarakat untuk berkontribusi. Hukum yang baik adalah hukum yang lahir dari kehendak dan kebutuhan masyarakat. Hukum yang lahir dari kehendak dan kebutuhan masyarakat tersebut akan dipatuhi tanpa adanya paksaan dari negara. Adapun “kekhasan” dalam regulasi hukum di Indonesia seakan-akan menggambarkan bahwa hukum tersebut sah sebagai produk politik hukum yang diklaim lahir dari proses yang demokratis, tetapi secara substansial regulasi seperti itu justru mengabaikan kepentingan umum dan cenderung hanya mengedepankan kepentingan kelompok tertentu.
Memang pada dasarnya, setiap proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilakukan tentu tidak akan bisa memenuhi harapan semua orang. Negara hadir dalam rangka memberikan kesejahteraan yang sesuai dengan konsensus bersama melalui kebijakan peraturan perundang-undangan. Masyarakat memiliki kewajiban untuk mentaati setiap aturan yang sudah ditetapkan tersebut. Kehadiran negara tidak hanya sebatas memberikan aturan, tetapi juga memastikan bahwa hak segala masyarakat dapat terjamin dengan baik. Akan tetapi, jika masyarakat tidak sepakat dengan kebijakan yang dikeluarkan, Negara juga tidak berhak memaksakan kehendak untuk mengeluarkan kebijakan peraturan perundang-undangan tersebut.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, sudah saatnya Indonesia harus mampu mewujudkan suatu sistem politik dan pemerintahan yang memberi ruang kepada warga negara untuk beraspirasi dalam melahirkan suatu kebijakan pembentukan peraturan perundang-undangan. Harus ada ruang publik yang bersifat bebas, terbuka, mudah diakses oleh semua orang, transparan, dan otonom. Diskusi-diskusi publik harus segera mendapat tempat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga kebijakan kebijakan pembentukan peraturan perundang-undangan yang hadir adalah benar-benar berdasarkan keinginan dan kebutuhan masyarakat serta mencerminkan tujuan Negara seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.