Legislasi Ugal-ugalan

Alfikri Lubis
Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada
Konten dari Pengguna
23 Oktober 2020 11:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alfikri Lubis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Memasuki periode kedua atau tahun ke 6 (enam) pemerintahan Jokowi, beragam permasalahan legislasi terus mendapatkan sorotan. Beberapa produk legislasi lahir dan muncul penuh dengan kontroversi. Beberapa produk hukum yang dipandang belum terlalu mendesak untuk dibutuhkan tetapi dengan cepat masuk dalam legislasi dan mendapatkan pengesahan. Beberapa Undang-undang tersebut antara lain perubahan Revisi Undang-Undang KPK, Revisi Undang-Undang Minerba, RKUHP, terpecahnya suara terkait dengan RUU P-KS serta beberapa peraturan lainnya. Dan yang terbaru adalah kontroversi Undang-Undang Ciptakerja. Hal tersebut mengindikasikan bahwa gagalnya Negara dalam memahami dan memenuhi kebutuhan hukum berbangsa dan bernegara. Melihat beberapa permasalahan produk legislasi tersebut, maka penting rasanya menelusuri lebih dalam kemampuan Pemerintah dalam menyusun dan mengontrol lahirnya peraturan perundang-undangan.
ADVERTISEMENT
Membentuk suatu peraturan perundang-undangan tentunya membutuhkan rencana atau politik hukum yang baik. Rencana tersebut tentu harus dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Prolegnas diartikan sebagai instrumen perencanaan program pembentukan Undang-Undang yang disusun secara berencana, terpadu, dan sistematis". Dengan demikian, Prolegnas merupakan satu proses yang sepenuhnya berlangsung sejak saat "pra-pembentukan peraturan perundang-undangan". Prolegnas memiliki kedudukan penting dalam pembangunan hukum nasional karena program ini secara sistematis menetapkan prioritas rancangan undang-undang yang akan dibahas oleh DPR bersama pemerintah. Proses pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia telah diatur dan berpedoman dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-undangan.
Menilik sejarah ketatanegaraan Indonesia, keterlibatan pemerintah dalam proses pembentukan UU di DPR sudah terjadi pada masa berlakunya UUDS 1950. Pasal 89 UUDS 1950 pada pokoknya menyebutkan bahwa kekuasaan perundang-undangan dilakukan oleh pemerintah bersama dengan DPR. Selanjutnya, pada masa sebelum reformasi, percampuran kekuasaan antara cabang kekuasaan legislatif dan cabang kekuasaan eksekutif juga dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 5 ayat (1) UUD 1945. Walaupun pasca amandemen UUD 1945, kewenangan melahirkan peraturan perundang-undangan ada pada DPR dan Pemerintah sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 20 UUD 1945.
ADVERTISEMENT
Sebagai Negara hukum, tentunya Indonesia dalam pembentukan peraturan perundang-undang tidak dapat terlepas dari politik hukum. Mengutip pendapat Satjipto Rahardjo dalam buku ilmu hukum yang menyatakan bahwa politik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat. Menurut M. Mahfud MD, politik hukum adalah kebijakan resmi (legal policy) negara tentang hukum yang akan diberlakukan atau tidak akan diberlakukan (pembuat aturan yang baru atau mencabut aturan yang lama) untuk mencapai tujuan negara. Yang ingin di sorot dalam tulisan ini adalah politik hukum pemerintah dalam menyusun peraturan perundang-undangan. Keputusan-keputusan dibidang legislasi lebih banyak diwarnai oleh visi politik pemerintah.
Pembentukan Undang-Undang selama ini menunjukkan bahwa Presiden memang tidak pernah terlibat langsung dalam proses pembahasan hingga pada tahap persetujuan bersama untuk ditetapkan menjadi Undang-Undang dalam persidangan di DPR. Dalam proses pembahasan RUU hingga pada tahap persetujuan bersama di DPR, Presiden di wakili oleh Menteri yang ditunjuk oleh Presiden. Dalam praktik selama ini, pembahasan RUU dilakukan pada tahap pembicaraan Tingkat I, sedangkan persetujuan bersama dilakukan pada tahap pembicaraan Tingkat II. Meskipun Presiden tidak terlibat langsung dalam proses pembahasan dan persetujuan bersama dalam proses pembentukan UU di DPR, namun kehadiran Menteri yang mewakili Presiden tidak mengurangi makna ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945.
ADVERTISEMENT
Pada praktik penyusunan peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh Pemerintah dan DPR RI sering menimbulkan banyak interpretasi sehingga muncul pro dan kontra pada masyarakat karena lebih mengedepankan kepentingan politik dari pada kepentingan masyarakat. Kepentingan politik tersebut sangat jelas terbaca. Bahkan antara Presiden dengan menteri terkadang berbeda pandangan terhadap Undang-Undang yang sedang dibahas. Materi muatan peraturan perundang-undangan tidak mencerminkan kebutuhan hukum masyarakat. Peraturan perundang-undangan yang bermasalah dan tidak aspiratif tersebut dikarenakan proses pembentukannya yang elitis. Seperti yang kita lihat dan amati pada sidang parlemen antara DPR bersama Pemerintah ketika membuat undang-undang sebagai produk bersama hanya sebagai adegan kontestasi dan panggung sandiwara agar kepentingan dan aspirasi semua kekuatan politik dapat diwadahi di dalam keputusan politik yang melahirkan undang-undang.
ADVERTISEMENT
Undang-undang Ciptakerja ini barangkali hanya menjadi salah satu dari sekian banyak Undang-undang yang lahir dan mendapatkan penolakan secara langsung. Revisi Undang-Undang Pertambangan Batu Bara dan Mineral (RUU Minerba) dengan cepat disahkan pada bulan Mei saat pandemi masih berlangsung dan mendapatkan kritik karena lebih kental kepentingan oligarki dan potensi ancaman yang ditimbulkannya terhadap lingkungan dan masyarakat setempat. Revisi Undang-Undang KPK juga mengalami nasih yang sama. Pasca revisi Undang-Undang KPK, KPK seakan-akan sudah tidak lagi seperti sebelumnya dalam melakukan semangat pemberantasan korupsi. Klaim pemerintah yang menyatakan bahwa Revisi Undang-Undang KPK merupakan penguatan terhadap KPK ternyata berbanding terbalik. Hal ini mengindikasikan bahwa proses legislasi yang dilakukan seakan-akan terkesan ugal-ugalan. Kegaduhan pada setiap lahirnya suatu Undang-Undang yang baru merupakan implikasi dari tidak adanya transparansi dan akuntabilitas dari proses pembuatan Undang-Undang tersebut. Proses legislasi ugal-ugalan akan melahirkan hasil yang prematur. Proses legislasi saat ini seakan-akan kehilangan orientasi. Undang-undang diatas tersebut terkesan mengabaikan suara dan aspirasi rakyat. Perencanaan legislasi harus bisa memfasilitasi dan mendialogkan urgensi atau alasan kenapa suatu rancangan undang-undang harus ada. Tidak bisa serta merta undang-undang itu dipaksakan untuk ada.
ADVERTISEMENT
Jika ditelusuri kehadiran beberapa undang-undang yang mendapatkan penolakan dari akamedisi, organisasi mahasiswa, serikat pekerja dan organisasi masyarakat sipil. Maka tidak baik untuk memaksakan keberlakuan suatu peraturan yang mendapatkan penolakan. Pembentukan undang-undang tersebut tidak mencerminkan produk hukum yang berkarakter responsif yang proses pembuatannya tidak melibatkan dan menyerap partisipasi masyarakat. Karena aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat merupakan salah alasan pembentukan suatu peraturan perundang-undangan. Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) huruf (e) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 bahwa materi muatan yang harus diatur melalui UU harus disesuaikan dengan pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
Barangkali jika kita kembali mengingat jejak digital bahwa Calon Presiden Joko Widodo pernah berjanji akan membentuk lembaga khusus yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan. Pembentukan lembaga khusus yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan ini juga merupakan janji politik Calon Presiden Joko Widodo, yang pada saat debat pemilihan presiden. Lembaga khusus tersebut sebagai corong utama agar mampu menyusun peraturan perundang-undangan dengan baik dan sesuai dengan pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Akan tetapi sampai sejauh ini, sampai dengan telah disahkan beberapa undang-undang, pembentukan lembaga khusus tersebut tidak kunjung direalisasikan. Padahal dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-undangan telah ada disebutkan.
ADVERTISEMENT
Kemampuan pemerintah dalam mengontrol kebutuhan hukum sangat dibutuhkan, peran pemerintah untuk ikut memberikan persetujuan bersama atas peraturan perundang-undangan agar tidak lahir begitu saja. Bisa saja peraturan perundang-undangan tersebut digagalkan jika salah satu pihak dalam hal ini pemerintah tegas menolak atau tidak menyetujui peraturan perundang-undangan tersebut sehingga tidak dilanjutkan pada tahap pengesahan. Atau jika peraturan perundang-undangan tersebut telah disahkan, kontrol pemerintah masih tetap bisa dilakukan dengan mengeluarkan Perppu penundaan atau pembatalan. Hal tersebut tidak akan mengurangi kewibawaan pemerintah.
Pada akhirnya, proses pembentukan peraturan perundang-undangan akan menentukan kualitas dari peraturan perundang-undangan itu sendiri. Proses legislasi yang ugal-ugalan akan melahirkan hasil yang prematur. Sehingga mengutip pernyataan Jean Jacques Rousseau bahwa “Hukum yang baik, akan menuntun ke pembuatan hukum yang lebih baik, sebaliknya hukum yang buruk akan menuntun ke pembuatan hukum yang lebih buruk.”
ADVERTISEMENT
"Hukum yang baik, akan menuntun ke pembuatan hukum yang lebih baik, sebaliknya hukum yang buruk akan menuntun ke pembuatan hukum yang lebih buruk"