Panic Buying Selama Pandemi: Paradigma Teori Motivasi Perlindungan

Alfonso Mario Utomo
Mahasiswa S1 Fakultas Hukum Universitas Airlangga
Konten dari Pengguna
3 Juni 2022 13:33 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alfonso Mario Utomo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Alfonso Mario Utomo - Mahasiswa Universitas Airlangga
Ilustrasi Panic Buying waktu masa pandemi pada tahun 2021. (Foto merupakan dokumen pribadi).
Pandemi Covid-19 telah menyita perhatian publik. Karena pandemi, situasi menjadi tidak terkendali yang menyebabkan orang bereaksi dengan tindakan perlindungan diri. Hal ini mengakibatkan meningkatnya tingkat panic buying oleh banyak orang dari seluruh dunia. Berdasarkan teori motivasi perlindungan, penelitian ini mengembangkan model analitis untuk menganalisis poin-poin penting di balik fenomena pembelian panik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa teori motivasi proteksi merupakan kerangka signifikan yang mempengaruhi fenomena ini. Ancaman "kelangkaan yang dirasakan" selama pandemi diatasi dengan menggunakan "ekspektasi hasil" yang mengarah pada niat "perilaku pembelian panik".
ADVERTISEMENT
Dunia harus menghadapi perubahan besar sejak kasus pertama Covid-19 (Coronavirus Disease 2019) dilaporkan pada Desember 2019. Dalam waktu singkat, Covid-19 telah menyebar dengan cepat ke seluruh dunia dan menyebabkan era kebingungan. Telah menginfeksi lebih dari 118.000 orang di banyak negara yang menyebabkan kematian lebih dari 4.200 orang, wabah Covid-19 ini akhirnya diumumkan sebagai pandemi global pada 11 Maret 2020 oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Dampak dari pandemi Covid-19 memaksa banyak orang untuk mau tidak mau menghadapi kondisi yang sangat tidak pasti. Ketidakpastian ini mengakibatkan terjadinya pergeseran perilaku konsumen yang sering diidentikkan dengan tindakan “panic buying”. Selain itu, korelasi antara perubahan permintaan konsumen dan ketersediaan pasokan akibat Covid-19 juga mempengaruhi fenomena ini. Produk tingkat tinggi sedang dibeli oleh orang-orang di seluruh dunia, baik melalui platform offline atau online. Kertas tisu, masker wajah, dan pembersih tangan hanyalah beberapa contoh bagaimana panic buying dapat terjadi karena pandemi Covid-19.
ADVERTISEMENT
Tingginya tingkat panic buying telah menimbulkan dampak serius baik dalam skala makro maupun mikro. Menyadari prinsip panic buying sangat penting untuk mencegah fenomena ini menyebabkan konsekuensi yang tidak terduga. Melihat kembali ke masa lalu, beberapa penelitian menunjukkan bahwa pembelian panik meningkat terutama pada saat krisis. Permintaan yang lebih tinggi dari konsumen yang tidak dibarengi dengan pasokan yang setara telah diindikasikan sebagai salah satu katalis dari panic buying. Oleh karena itu, masyarakat mempersiapkan diri dengan segala kebutuhan yang dibutuhkannya dengan harapan tindakan ini dapat menjamin keselamatan dan kesejahteraannya di masa yang akan datang. Pengaruh sosial mungkin juga merangsang tindakan pembelian panik sebagai manifestasi dari "dinamis kelompok".
Sejak pandemi Covid-19 menjadi fokus utama setiap negara, banyak penelitian telah dilakukan mengenai situasi tersebut. Setelah itu, fenomena panic buying juga mencuri perhatian masyarakat. Sampai saat ini, studi tentang panic buying terutama menganalisis penyebab dan dampak dari panic buying. Berdasarkan penelitian sebelumnya tentang penyebab panic buying, panic buying dipengaruhi oleh banyak faktor.
ADVERTISEMENT
Salah satu penyebab yang paling signifikan adalah karena pengaruh sosial, baik melalui media sosial maupun keluarga dan kerabat. Saling bertukar informasi dan kejadian masa lalu dengan keluarga atau kerabat juga memicu terjadinya tindakan panic buying. Pengaruh dari keluarga atau kerabat ternyata berpengaruh dalam mengarahkan pilihan individu untuk melakukan panic buying. Studi tentang dampak pembelian panik agak lebih menyeluruh.
Temuan inti dari terkait dengan hubungan yang signifikan antara dua konstruksi perilaku pembelian panik dalam paradigma motivasi perlindungan menegaskan kegunaan pendekatan penilaian ancaman dan penilaian koping untuk memahami perilaku konsumen dalam hal niat membeli panik. Protection Motivation Theory (PMT), yang dikembangkan oleh Roger pada tahun 1975, merupakan proses penilaian ancaman dan proses penilaian respons yang menghasilkan niat untuk melakukan respons adaptif (motivasi protektif). Menurut Roger, inti dari Teori Motivasi Perlindungan adalah ketika orang dihadapkan pada paparan informasi (sumber informasi), mereka akan mengevaluasi informasi yang diterima ini (proses mediasi kognitif), dan akhirnya bereaksi terhadap informasi yang diterima (perilaku motivasi perlindungan).
ADVERTISEMENT
Proses mediasi kognitif memiliki 2 jenis, yaitu proses penilaian ancaman dan proses penilaian koping. Threat appraisal dapat dikatakan sebagai persepsi risiko dimana terdapat konsep ketidakpastian dan konsekuensi, sedangkan coping appraisal berkaitan dengan keyakinan individu akan kemampuannya untuk mencegah atau mengurangi kejadian keamanan yang mengancam. Sejalan dengan penelitian ini, hasil penelitian menjelaskan bahwa ada dua konstruksi yang mendasari niat perilaku panic buying, yaitu persepsi kelangkaan sebagai bentuk penilaian ancaman dan ekspektasi hasil sebagai penilaian koping.
Hubungan antara persepsi kelangkaan dan perilaku panic buying sebenarnya memiliki hubungan psikologis tentang bagaimana orang mencerna risiko yang dirasakannya. Secara psikologis, konsumen akan mengolah dan mencerna resiko yang dirasakan melalui tiga tingkatan tahapan. Pertama, konsumen akan menghadapi fase “framing of a situation or problem” dimana pada tahap ini mereka akan mempersepsikan risiko melalui identifikasi situasi. Pada tahap kedua, yaitu “tahap penyaringan”, konsumen akan menentukan tingkat keseriusan masalah atau isu. Terakhir, konsumen akan menghadapi “tahap evaluasi”, dimana mereka menentukan strategi yang akan dilakukan atau perilaku hasil, yaitu perilaku panic buying, melalui proses evaluasi kognitif dan afektif.
ADVERTISEMENT
Groza menyatakan bahwa secara psikologis ada tiga jenis gaya berpikir, yaitu yudikatif (perilaku berbasis evaluasi), eksekutif (perilaku berbasis kepatuhan), dan legislatif (perilaku berbasis kreatif). Terkait dengan teori ini, variabel ekspektasi hasil dalam penelitian ini dapat didefinisikan sebagai bagian dari gaya berpikir yudikatif. Menurut Zhang dan Sternberg, gaya berpikir yudikatif ini erat kaitannya dengan keterlibatan aktivitas penyaringan yang berat, penilaian, dan evaluasi mendalam terhadap isu dan situasi sekitarnya sebagai dasar pengambilan keputusan atas suatu tindakan.
Sederhananya, karena pandemi Covid-19, masyarakat perlu lebih analitis dan kritis dalam menganalisis situasi, terutama terkait ketidakpastian ekonomi ini. Selain itu, gaya berpikir ini mendorong konsumen untuk menyelidiki isi, struktur, dan waktu dari suatu situasi dan mencocokkan karakteristik situasional ini dengan alat pemecahan masalah yang tersedia. Sejalan dengan konsep ini, ekspektasi hasil dapat dianggap sebagai manfaat yang dirasakan yang diharapkan konsumen dari tindakan pembelian panik dan apa potensi kerugian mereka jika mereka tidak melakukan pembelian panik.
ADVERTISEMENT
Sejak pandemi Covid-19 dimulai, fenomena panic buying telah terjadi pada level yang tak terbayangkan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Mengikuti fenomena ini, teori motivasi perlindungan digunakan untuk menyelidiki alasan utama perilaku pembelian panik. Penilaian ancaman dari fenomena ini adalah kelangkaan yang dirasakan, sedangkan penilaian koping adalah harapan hasil. Baik ancaman maupun penilaian koping menyebabkan berkembangnya niat untuk membeli secara panik.
Daftar Pustaka:
Hanaei, S., & Rezaei, N. (2020). COVID-19: Berkembang dari Wabah Menjadi Pandemi. Arsip Penelitian Medis, 51(6), 582-584.
Hall, MC, Prayag, G., Fieger, P., & Dyason, D. (2020). Di luar pembelian panik: perpindahan konsumsi dan COVID-19. Jurnal Manajemen Layanan, 32(1), 113-128.
Chua, G., Yuen, KF, Wang, X., & Wong, YD (2021). Faktor Penentu Panic buying selama COVID-19. Jurnal Internasional Penelitian Lingkungan dan Kesehatan Masyarakat, 18(6), 1-28.
ADVERTISEMENT
Prentice, C., Quach, S., & Thaichon, P. 2020. Anteseden dan konsekuensi pembelian panik: Kasus COVID-19. Jurnal Internasional Studi Konsumen, 1-15.
Groza, MD, Locander, DA, Howlett, CH (2016). Menghubungkan gaya berpikir dengan kinerja penjualan: pentingnya kreativitas dan pengetahuan subjektif. J. Bis. Res. 69, 4185–4193.
Zhang, LF, Sternberg, RJ (2002). Gaya berpikir dan karakteristik guru. Int. J. Psiko. 37 (1), 3–12.