Mengenang Cak Nur: Antara Dialog Antariman dan Diplomasi Kita

Ali Murtado
Warga, tinggal di Doha.
Konten dari Pengguna
15 Maret 2019 8:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ali Murtado tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Tidak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian agama-agama- (sumber photo: Academy for Cultural Diplomacy)
zoom-in-whitePerbesar
Tidak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian agama-agama- (sumber photo: Academy for Cultural Diplomacy)
ADVERTISEMENT
Saya mengenang tanggal 17 Maret, bukan sebagai tanggal yang biasa. Di tanggal itu, 80 tahun yang lalu, lahir seorang bayi yang kelak akan menjadi cendekiawan besar. Seorang yang luhur ilmunya, namun selalu disalahpahami seumur hidupnya. Seorang intelektual yang kecintaanya pada Islam, Indonesia, dan Kemanusiaan melampaui segalanya. Namun, bagi para pencelanya ia dianggap tidak lebih dari seorang cendekiawan salon. Ya, saya ingin bercerita tentang Nurcholish Madjid atau yang sering kita kenal dengan nama Cak Nur.
ADVERTISEMENT

Siapa Cak Nur?

Cak Nur (1939-2004) adalah intelektual sekaligus aktivis Islam. Beliau pernah memimpin organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) selama dua periode berturut-turut (sumber photo: paramadina).
Cak Nur lahir di Jombang pada tanggal 17 Maret 1939. Ia menyelesaikan pendidikan dasar di kota kelahirannya, kemudian melanjutkan pendidikan menengah di Pondok Pesantren Darussalam Gontor. Di masa belianya, Cak Nur adalah orang yang menggandrungi pemikiran Muhammad Natsir, seorang negarawan, ulama besar, dan mantan Perdana Menteri di era Orde Lama. Kekagumannya pada Natsir serta kemampuan intelektualnya yang memang ‘pinilih’ membuat Cak Nur (di masa muda-nya) dijuluki sebagai Natsir muda.
Selain cemerlang secara intelektual, bakat kepemimpinan Cak Nur juga menonjol. Ia menjadi ketua Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dua periode berturut-turut (1966-1969, 1969-1971). Ia memimpin organisasi mahasiswa Islam tersebut bukan pada masa yang biasa-biasa saja, tetapi pada masa yang genting, yaitu masa transisi dari Orde Lama ke Orde Baru.
ADVERTISEMENT

Kontroversi

Di tahun 1978, Cak Nur mendapat beasiswa untuk kuliah di Universitas Chicago, Amerika Serikat. Ia mendapat gelar doktor pada tahun 1984 dalam bidang filsafat dengan predikat cum laude. Sepulang dari Amerika Serikat, Cak Nur makin percaya diri dalam menggulirkan ide-idenya. Kali ini ia berbicara tentang perlunya umat Islam melakukan sekularisasi untuk mengejar ketertinggalannya.
Meskipun belakangan ia mengklarifikasi bahwa sekularisasi yang ia maksud bukan sekularisasi a la barat, melainkan upaya melakukan rasionalisasi di tubuh umat. Namun ide tersebut terlanjur membuat gaduh. Ia bahkan harus bersitegang dengan para aktivis Islam, termasuk dengan Prof Rasjidi, seorang Professor Filsafat dari Sorbonne sekaligus mantan Menteri Agama. Rasyidi menyebut Cak Nur sebagai ‘semau gue’ dan kebarat-baratan.
ADVERTISEMENT
Namun, tidak ada yang lebih kontroversial dari Cak Nur melebihi ketika ia menggulirkan jargon Islam 'Yes, Partai Islam No?'. Seperti yang diduga, gagasan ini menimbulkan keributan intelektual dan sempat membuahkan tuduhan bahwa Cak Nur adalah ilmuwan pesanan pemerintah yang bekerja hanya untuk men-justifikasi kepentingan rezim yang saat itu takut akan kebangkitan partai Islam.
Menjelang akhir hidupnya, Cak Nur bersama para intelektual muda di Paramadina menggagas perlunya fiqh kontemporer bagi umat Islam di Indonesia. Ia menganjurkan umat Islam agar berfikir lebih pada level konteks bukan pada teks termasuk ketika menghadapi persoalan-persoalan kontemporer seperti dalam isu waris dan hak-hak perempuan.
Gus Dur, Cak Nur dan KH Ahmad Siddiq. Meski seorang intelektual lulusan barat, Cak Nur kerap kali berdiskusi dengan kyai-kyai tradisional teutama dari Nahdlatul Ulama (sumber photo: muhali74/twitter)

Cak Nur dan Dialog Antariman

Bagi saya, sumbangan terbesar Cak Nur bagi toleransi umat beragama adalah idenya untuk memurnikan tawhid. Menurut Cak Nur, tawhid adalah fondasi ajaran Islam yang harus dijaga kesakralannya. Ia adalah penegasan bahwa kebenaran mutlak hanya milik Tuhan. Oleh karena itu, setiap usaha dari seseorang atau golongan untuk memaksakan ‘kebenaran’-nya kepada orang atau golongan lain, pada hakikatnya adalah pengingkaran atas konsep tawhid itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Hanya dalam ruang pemahaman seperti itu, bibit toleransi atau dialog antariman akan dapat tumbuh subur.
Dialog antariman, apapun bentuknya, baru akan efektif mencegah intoleransi dan radikalisme jika ia diawali dengan kesadaran bahwa kebenaran mutlak hanya milik Tuhan, dan manusia adalah makhluk yang serba terbatas sehingga tidak dapat mengklaim sebagai pemilik kebenaran. Dengan konsep tawhid yang murni seperti itu, maka umat beragama tidak boleh menjadi komunitas yang tertutup yang intoleran terhadap sesamanya.
Warisan lain Cak Nur yang menurut saya penting kita gunakan dalam mengarusutamakan dialog antariman, adalah anjuran Cak Nur untuk melakukan rasionalisasi di setiap tingkatan. Bagi Cak Nur, agama masa depan adalah agama yang dapat membawa umatnya untuk berpikir rasional dan mencintai ilmu pengetahuan. Kebiasaan berpikir rasional yang ditanamkan sejak dini dengan sendirinya akan menumbuhkan sikap inklusif dan toleran yang menjadi dasar bagi dialog antariman.
ADVERTISEMENT

Dialog Antariman dan Diplomasi Kita

The 1st Indonesia-Australia Interfaith Dialogue, Bandung, 13-14 Maret 2019 (sumber photo: twitter/kemlu RI)
Meski agama bukan sumber konflik, namun sukar dibantah jika keragaman agama menyimpan potensi konflik yang laten jika tidak dikelola dengan baik. Hasil penelitian tahun 2012 dari PEW Research Center, lembaga nirlaba yang aktif melakukan riset di bidang keagamaan menyatakan bahwa kekerasan atas nama agama meningkat di seluruh dunia. Islam dan Kristen adalah agama yang paling banyak mengalami kekerasan, masing-masing di 109 negara dan 110 negara.
Indonesia yang hingga kini masih memegang status sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia perlu terus mengambil inisiatif untuk mengakhiri kekerasan tersebut. Privilege sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia harus dimanfaatkan sebaik mungkin karena status tersebut bukan sebuah keistimewaan absolut yang tidak dapat berubah. Sebuah survey yang dilakukan oleh PEW Research Center menyebut bahwa status Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia akan segera digeser oleh India dan Pakistan pada tahun 2050.
ADVERTISEMENT
Tabel tentang kemungkinan India dan Pakistan menjadi negara berpenduduk muslim pertama dan kedua terbesar di dunia pada tahun 2050 (PEW Research Center)
Terlepas dari kemungkinan perubahan status tersebut, Indonesia perlu terus mengambil peran lebih besar dalam membangun kesepahaman dan perdamaian di antara umat beragama. Kesepahaman tersebut penting, karena mustahil kita membangun toleransi tanpa adanya kesepahaman, sementara kesepahaman hanya dapat dibangun melalui dialog.
Sejauh ini, Indonesia telah aktif mempelopori penyelenggaraan interfaith dialogue baik di level nasional maupun internasional. Interfaith Dialogue misalnya diselenggarakan dengan India, Rusia dan Australia. Di luar itu, Pemerintah Indonesia juga telah menginisiasi penyelenggaraan Musyawarah Besar Pemuka Agama (nasional), dan terlibat aktif dalam High Level Consultations of World Muslim Scholars dan World Peace Forum. Diplomasi Indonesia di bidang dialog antariman tersebut telah berlangsug lama dan diakui oleh dunia internasional antara lain dengan diraihnya penghargaan World Interfaith Harmony 2018.
ADVERTISEMENT

Epilog

Common platform atau yang oleh Cak Nur sering disebut dengan kalimatun sawa adalah sandaran bagi umat Islam dan umat agama lain dalam melakukan dialog antariman. Usaha Cak Nur dalam meletakan common platform bagi dialog antariman adalah pengabdian yang terbesar kepada bangsa dan agama Islam yang ia yakini memiliki nilai-nilai kemanusiaan yang luhur. Gus Dur benar ketika ia menyebut dalam kolom in memoriam untuk mengenang kepergian Cak Nur bahwa sahabatnya itu “pergi setelah mengabdi”.
Tentu Cak Nur bukan sosok yang sempurna. Gagasannya akan terus diuji oleh zaman. Namun, dengan segala kekurangannya itu, wibawa intelektual dan integritas Cak Nur di mata saya sama sekali tidak surut. Ada kata-kata dari Eep Saefullah Fattah di hari pemakaman Cak Nur yang saya ingat, bahwa “ada banyak bintang di langit intelektual Indonesia, namun boleh jadi bintang Cak Nur adalah yang paling terang”.
ADVERTISEMENT