Mengenang Sjahrir, Pahlawan yang Berjuang dengan Diplomasi

Ali Murtado
Warga, tinggal di Doha.
Konten dari Pengguna
12 April 2019 6:54 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ali Murtado tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sjahrir memimpin Delegasi RI di PBB guna memperoleh dukungan atas kemerdekaan Indonesia (sumber: www.pinterest.com)
zoom-in-whitePerbesar
Sjahrir memimpin Delegasi RI di PBB guna memperoleh dukungan atas kemerdekaan Indonesia (sumber: www.pinterest.com)
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Pekan ini, kita memperingati kepergian seorang diplomat, pemikir, dan negarawan besar, Sutan Sjahrir, yang wafat 53 tahun lalu di Zurich, Swiss. Membaca kisah tentang tokoh ini, kita seperti disuguhi tumpukan ironi yang berlapis-lapis.

Akal Sehat dan Pamflet Perdjoeangan Kita

Dalam kata-kata esai Zen RS, Sjahrir adalah seorang yang tegak berdiri ‘di tengah pentas’ dengan sikap yang tenang dan sabar di tengah arus zaman yang justru sedang tergesa-gesa dan tak sabar. Ia pendukung Indonesia merdeka yang militan, tapi menolak ''dininabobokan' oleh romantisme revolusi seperti yang sering dinyanyikan oleh para pemimpin saat itu.
Selama pendudukan Jepang yang hanya seumur jagung, Sjahrir memilih menghabiskan waktunya untuk mendengarkan radio dan menulis pamflet politik. Dari aktivitasnya tersebut, tidak heran jika Sjahrir menjadi orang yang pertama-tama mengetahui berita menyerahnya Jepang kepada sekutu.
ADVERTISEMENT
Tidak lama setelah Soekarno-Hatta mengumumkan kemerdekaan Indonesia, Sjahrir segera mengeluarkan pamflet dan manifesto politiknya yang paling legendaris, Perdjoeangan Kita.
Saya membaca Perdjoeangan Kita dengan takjub. Bagi saya, inilah salah satu manifesto politik putra bangsa paling jernih yang pernah saya baca.
Ketika Indonesia sedang dipenuhi dengan slogan dan agitasi revolusi yang meledak-ledak, pamflet Sjahrir justru datang menawarkan oase rasionalitas (akal sehat) tapi tetap artikulatif dan tegas. Ia dengan jernih memaparkan modal, cita-cita, arah tujuan dan peran republik setelah merdeka, tidak hanya di tingkat nasional tapi juga dalam percaturan politik mondial.
Zen RS, mengutip Ben Anderson, menyebut Perdjoeangan Kita sebagai ‘usaha paling sistematik dalam menganalisa kekuatan domestik dan internasional yang mempengaruhi Indonesia dan memberikan perspektif yang masuk akal bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia ke depan.’ (1972:195). Dengan rekam jejak seperti itu, nyaris dapat dipastikan jika Sjahrir akan cepat bersimpang jalan dengan tokoh generasi tua yang lebih menyukai retorika untuk membakar massa.
ADVERTISEMENT
Pada tanggal 14 November 1945, Sjahrir ditunjuk sebagai Perdana Menteri Indonesia yang pertama. Menariknya, Sjahrir ditunjuk sebagai Perdana Menteri bukan hanya ketika usianya masih sangat belia, yaitu 36 tahun, tetapi juga ketika Konstitusi Indonesia saat itu sebenarnya tidak atau belum mengenal adanya jabatan Perdana Menteri.

Diplomasi Beras Sjahrir

Di balik sikapnya yang tegas dan tak mau berkompromi, Sjahrir adalah orang yang lincah dan luwes. Ketika dia ditunjuk sebagai Perdana Menteri, selain melakukan reorganisasi pemerintahan ke dalam, Sjahrir juga aktif melakukan diplomasi dengan pihak asing dengan tujuan untuk mendapatkan pengakuan atas kemerdekaan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dalam masa jabatannya yang sangat singkat sebagai Perdana Menteri (14 November 1945-3 Juli 1947), Sjahrir, misalnya, pernah mengirimkan 500.000 ton beras ke India yang saat itu sedang dilanda kelaparan.
Sjahrir meminta kain dan obat-obatan sebagai imbal baliknya. Namun sebenarnya, bukan hanya imbal balik barang seperti itu yang ada dalam pikiran Sjahrir. Bagi Sjahrir, dukungan dan pengakuan India atas eksistensi Indonesia jauh lebih penting dari sekadar kain dan obat-obatan.
Harapan Sjahrir berbuah manis. Tidak lama setelah ‘diplomasi beras’ tersebut, Perdana Menteri Nehru mengirimkan surat ucapan terima kasih sekaligus dukungan atas perjuangan rakyat Indonesia melawan kolonialisme dan imperialisme. Lebih konkret lagi, Nehru kemudian menyelenggarakan Asian Relations Conference pada Maret 1947, di mana Sjahrir diundang sebagai wakil dan pembicara dari Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pada 14 Agustus 1947, atau beberapa minggu setelah Agresi Militer I, Sjahrir yang saat itu sudah bukan Perdana Menteri terbang untuk berpidato di Lake Success, Amerika Serikat. Pidato di PBB tersebut memiliki arti penting, karena dalam forum itu, Sjahrir bukan hanya memperkenalkan Indonesia dan perjuangan pergerakan kemerdekaannya kepada dunia, tetapi juga 'menelanjangi' ketiadaan niat baik dari Belanda dalam berunding.
Para pendiri bangsa terbiasa berbeda pendapat, namun mereka tetap dalam satu tujuan yang sama, yaitu kemerdekaan dan kemajuan Indonesia (sumber: pinterest.com).

Linggarjati dan Kejatuhan Kabinet Sjahrir

Linggarjati (atau ada yang menyebutnya Linggajati) bukan perundingan biasa dalam sejarah Indonesia. Itu bukan hanya merupakan perundingan bilateral tingkat tinggi pertama pasca-Indonesia merdeka, tetapi juga dari sisi substansi, inilah perundingan pertama Indonesia dengan Belanda, guna membahas agenda yang sensitif, yaitu kedaulatan. Disebut sensitif, karena Indonesia saat itu sedang dalam gelora revolusi dan siap melakukan apa saja untuk mempertahankan kemerdekaannya.
Sutan Sjahrir Foto: kemdikbud.go.id
Bagi para pemikir rasional seperti Sjahrir, modal semangat dan retorika saja tidak cukup untuk mempertahankan kemerdekaan. Apalagi, Belanda saat itu telah menyiapkan persenjataan modern dan siap untuk menggempur Indonesia kapanpun.
ADVERTISEMENT
Jika perang yang tidak seimbang tersebut meletus, tentu korban jiwa yang berjatuhan tidak sedikit. Oleh karena itu, bagi Sjahrir tidak ada pilihan lain yang lebih realistis bagi Indonesia selain berunding.
Dengan latar belakang seperti itulah, perundingan digelar di Linggarjati pada tanggal 11-14 November 1946. Terdapat 17 Pasal yang disepakati dalam perundingan tersebut dan salah satu yang dianggap paling fatal, dan kelak menjadi sebab kejatuhan kabinet Sjahrir, adalah diterimanya kesepakatan bahwa secara de jure wilayah Indonesia saat itu hanya terdiri dari Sumatera, Jawa, dan Madura. Perundingan tersebut ditandatangani pada tanggal 15 November 1946 atau tepat setahun setelah Sjahrir menjadi Perdana Menteri.
Segera setelah perjanjian Linggarjati ditandatangani, suara-suara untuk meminta Sjahrir turun dari jabatannya semakin keras terdengar. Tan Malaka yang tergabung dalam Persatuan Perjuangan mengejek kabinet Sjahrir dengan mengatakan ‘hanya orang bodoh yang mau berunding dengan maling yang akan mencuri di rumah kita’. Demikian juga militer saat itu, yang menyatakan kekecewaannya terhadap hasil perundingan yang sangat merugikan Pemerintah Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pada tanggal 3 Juli 1947, Sjahrir akhirnya meletakkan jabatannya. Tiga minggu setelah Sjahrir mundur, Belanda melancarkan Agresi Militer I di wilayah-wilayah seperti Sumatera, Jawa, dan Madura.
Agresi Militer Belanda tersebut seperti sudah dapat diduga sebelumnya, ketika pada 15 Maret 1947, Belanda menarik diri dan menyatakan tidak terikat dengan perjanjian Linggarjati.
Sejarawan Roesdy Hossein mengatakan, perundingan Linggarjati sebenarnya telah gagal sejak awal. Perundingan ini hanya akal-akalan Belanda untuk mengulur waktu, karena niat awal Belanda sebenarnya adalah merebut kembali Indonesia dengan cara apa pun, termasuk kekuatan militer.

Epilog

Jenazah Sjahrir didampingi oleh Poppy Sjahrir dan dua anaknya, Buyung dan Upik (Sumber: Buku Manusia dalam Kemelut, penerbit LP3ES, 1994)
Sjahrir bukan seorang orator yang gegap gempita. Ia adalah penjaga akal sehat yang tekun. Harapannya hanya satu, agar 'bayi' Indonesia yang baru lahir tetap dapat tumbuh dengan sehat dan waras di tengah dinamika dan gemerlap revolusi yang kadang tidak masuk akal.
ADVERTISEMENT
Pada titik ini, ia sering disalahpahami sebagai orang yang hanya pandai berkata-kata dan tidak pernah melakukan aksi nyata. Soekarno menyindir Sjahrir sebagai orang yang kurang melakukan tindakan dan hanya sibuk dengan urusan ‘bersoal-jawab’.
Namun, ia tetaplah Bung Kecil (konon tingginya tidak lebih dari 160 sentimeter) yang dicintai rakyatnya. Tanpa Sjahrir, mungkin revolusi Indonesia akan lebih banyak memakan korban. Sayangnya, sebagaimana peristiwa-peristiwa lain dalam sejarah umat manusia, kita kerap baru merasa kehilangan akan seseorang ketika seseorang itu pergi untuk selamanya.
Pada tanggal 9 April 1966, Sjahrir wafat. Di hari pemakamannya, rakyat berduyun-duyun mengantar kepergian Bung Kecil untuk selama-lamanya.
Sebagaimana dikutip dari Majalah Tempo, para pengantar jenazah Sjahrir saat itu demikian panjang, sampai-sampai, ketika keranda telah sampai di Kalibata, para pengiring keranda yang paling belakang masih berada di bundaran Hotel Indonesia.
ADVERTISEMENT