Pesona Wuhan: Memadukan Tradisi Klasik dan Modernitas

Ali Murtado
Warga, tinggal di Doha.
Konten dari Pengguna
10 Maret 2019 9:10 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ali Murtado tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kota Wuhan, tampak dari Yellow Crane Tower. Foto: Wikimedia Commons
zoom-in-whitePerbesar
Kota Wuhan, tampak dari Yellow Crane Tower. Foto: Wikimedia Commons
Tahukah anda, jika selain Beijing, Shanghai, dan Guangzhou, ada kota lain yang sangat historis sekaligus metropolis di Republik Rakyat Tiongkok (RRT)? Ya, kota itu adalah Wuhan, Ibu Kota Provinsi Hubei, RRT Tengah.
ADVERTISEMENT
Pada masa revolusi, kota ini menjadi ibu kota pemerintahan nasionalis (Kuomintang) sayap kiri yang dipimpin oleh Wang Jingwei antara Desember 1926 sampai September 1927. Dari Wuhan, Wang Jingwei kemudian menjalin kontak intensif dengan tokoh-tokoh komunis seperti Mao Zedong, Chen Duxiu, dan Borodin. Dengan kata lain, nyaris tidak mungkin kita berbicara historiografi RRT tanpa menyebut Wuhan.
Jianghan Customs, Wuhan, RRT. Foto: Unsplash/Yuhao Zhai
Di luar romantisme kesejarahan, Wuhan merupakan kota yang sangat penting bahkan krusial bagi RRT. Disebut krusial bukan hanya karena Wuhan secara ekonomi memiliki potensi dan kontribusi yang sangat besar bagi RRT.
Di sisi lain, karena kota ini juga memiliki sistem transportasi yang sangat modern dan berperan besar dalam menghubungkan kota-kota besar lain di RRT. Saking canggihnya, para jurnalis asing sering menyebut Wuhan sebagai Chicago-nya RRT.
ADVERTISEMENT
Kunjungan Pertama
Saya pertama kali mengunjungi Wuhan pada awal musim dingin tahun 2017 (kelak saya kembali ke kota ini untuk kunjungan singkat pada pertengahan 2018). Saat itu, saya bersama perwakilan dari 14 negara lain mengikuti pelatihan di bidang pemetaan batas wilayah di Universitas Wuhan.
Sejujurnya, saya sudah terkesan sejak pertama kali menginjakan kaki di kota ini. Kota Wuhan seperti memadukan antara keanggunan RRT masa klasik dengan RRT masa kini yang serba modern.
Sepanjang perjalanan dari Wuhan Tianhe International Airport menuju penginapan, nyaris tidak terlihat wajah kota yang kumuh. Di kanan-kiri jalan, bangunan pencakar langit tertata rapi, seakan ingin memberikan penegasan bahwa modernitas bukan hanya milik bangsa-bangsa di dunia barat.
ADVERTISEMENT
Saya menikmati perjalanan 1,5 jam dari bandara ke hotel yang nyaris tanpa kemacetan. Di tengah perjalanan, rombongan kami sempat melewati Sungai Yangtze, yang merupakan sungai terpanjang di Asia dan ketiga terpanjang di dunia, setelah Sungai Nil dan Sungai Amazon. Dari kejauhan, sungai ini terlihat mengalir berliku indah seperti membelah Kota Wuhan.
Sungai Yangtze yang merupakan sungai terpanjang di Asia (6.357km) dan ketiga terpanjang di dunia setelah Sungai Nil di Afrika dan Sungai Amazon di Amerika Latin. Foto: hubei.gov.cn
Digoda oleh keindahannya, nyaris mustahil saya menghabiskan tiga minggu keberadaan saya di Wuhan hanya dengan berdiam di hotel. Saya pun menyusun rencana mengunjungi beberapa spot menarik di Wuhan.
Musim dingin yang mulai menyergap memang bukan kabar baik bagi laki-laki tropis seperti saya. Namun, hanya berdiam di hotel juga sama tidak menariknya.
Berikut adalah empat dari beberapa spot yang sempat saya kunjungi selama berada di Wuhan:
ADVERTISEMENT
Hubei Provincial Museum, salah satu museum paling populer di RRT dengan koleksi lebih dari 200.000 buah (sumber foto: instagram/armh31)
Sejak pertama tiba di Bandara Tianhe, saya memiliki feeling kuat jika Wuhan adalah kota yang kaya akan peninggalan masa lalu. Dan tentu saja, tidak ada yang lebih tepat untuk mengonfirmasi semua itu selain dengan berkunjung ke Museum Hubei.
Kunjungan ke Museum Hubei ini juga atas rekomendasi seorang kawan yang juga seorang kurator seni dari Brazil. Kebetulan, kami berkenalan dalam penerbangan dari Guangzhou ke Wuhan. Menurutnya, bertandang ke Museum Hubei harus ada dalam top list setiap orang ketika mereka pertama kali berkunjung ke Wuhan.
Museum Hubei didirikan pada tahun 1953, dan merupakan salah satu Museum terbesar di RRT, baik dari sisi luas maupun koleksi yang dimiliki. Tercatat, museum ini memiliki tidak kurang dari 200.000 koleksi yang menjadikannya sebagai museum terpopuler di seluruh RRT.
Jumlah pengunjung museum pada akhir pekan yang didominasi oleh anak-anak muda. Tahun 2017, tercatat 1,9 juta orang mengunjungi Museum Hubei. Foto: dok. pribadi
Yang paling ikonik dari koleksi di Museum ini adalah pedang Goujian yang diperkirakan dibuat antara abad 5-6 SM. Selain itu, ada perangkat alat musik yang sangat sakral, yakni Bianzhong of Marquis Yi of Zeng.
ADVERTISEMENT
Ketika memasukinya saya terkagum, bukan hanya karena kemegahan museum ini, tetapi juga karena banyak dan beragamnya pengunjung yang datang. Suasana lobby museum Hubei tidak ubahnya seperti mall di Indonesia di akhir pekan. Begitu ramai dengan anak-anak muda.
Menurut statistik, pada tahun 2017, tercatat kurang lebih 1,9 juta orang datang mengunjungi museum ini. Sebuah catatan fantastis untuk museum tingkat provinsi (sebagai perbandingan, jumlah pengunjung Museum Nasional Indonesia pada tahun 2016 hanya sekitar 399.618 orang).
Salah satu spot yang saya kunjungi selanjutnya adalah Yellow Crane Tower. Meskipun dalam bentuknya yang sekarang menara ini baru dibangun pada tahun 1981, namun sebenarnya Yellow Crane Tower telah ada dalam berbagai bentuk sejak abad ke-3 Masehi. Dari Menara ini kita dapat melihat pemandangan Wuhan, terutama Sungai Yangtze yang legendaris itu.
Pemandangan dari Yellow Crane Tower, sebagian kota wuhan terlihat dari sini (sumber foto: dok pribadi)
Menuju Yellow Crane Tower, saya melihat beberapa puisi yang ditulis dan diukir dalam batu-batu. Syair dan puisi yang begitu indah yang umumnya berbicara tentang keindahan dan kemegahan bangsa Tiongkok. Kecintaan bangsa Tiongkok pada tradisi menulis dan terutama menulis syair atau puisi memang dikenal sejak lama. Tapi baru kali ini saya berhasil mengonfirmasinya.
ADVERTISEMENT
The Three Gorges Dam (TGD) atau bendungan tiga ngarai sebenarnya bukan merupakan objek wisata dalam arti yang sebenarnya. Ia merupakan bendungan raksasa yang dibangun untuk mencegah banjir sekaligus memproduksi tenaga listrik dalam skala raksasa.
Namun mengingat pentingnya bendungan ini bagi RRT, saya merasa harus mengunjungi dam raksasa yang menjadi simbol kedigdayaan teknologi dan semangat juang rakyat RRT tersebut.
The Three Gorges Dam adalah proyek ambisius Pemerintah RRT untuk membendung aliran Sungai Yangtze. Dibangun pertama kali pada tahun 1932 dan dinyatakan beroperasi penuh pada tahun 2012 (Foto: Wikimedia Commons)
TGD dirancang pembangunannya oleh salah satu pendiri bangsa RRT, Dr. Sun Yat Sen, pada tahun 1926. Pembangunan TGD dilakukan secara bertahap dan dimulai pada tahun 1932 atau ketika RRT masih di bawah pemimpin nasionalis Chiang Kai Sek. Setelah itu, pembangunan TGD terkendala karena kondisi politik RRT yang belum stabil.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1954, Sungai Yangtze meluap dan menyebabkan banjir besar yang menenggelamkan hampir seluruh Kota Wuhan. Musibah tersebut menyadarkan Pemerintah RRT untuk segera menyelesaikan proyek TGD.
Pada tahun 1956, TGD kembali dibangun. TGD secara operasional baru selesai pada tahun 2012 atau setelah 80 tahun sejak bendungan tersebut pertama kali dibangun.
ADVERTISEMENT
Wuhan University adalah salah satu universitas paling tua dan bergengsi di RRT. Awalnya, dibangun dengan nama Institut Ziqiang sekitar tahun 1893 (Dinasti Qing).
Universitas Wuhan dikenal memiliki reputasi yang sangat baik untuk bidang studi hukum, khususnya hukum internasional. Oleh otoritas RRT, School of Law di Wuhan University dikategorikan sebagai the four famous law school di RRT, selain Peking University, Jilin University, dan Renmin University.
Gerbang Universitas Wuhan yang sangat legendaris. Universitas ini dikenal memiliki reputasi tinggi khususnya untuk disiplin ilmu hukum internasional (sumber photo: Wikipedia)
Yang menarik perhatian saya dari kunjungan ke Wuhan University adalah galeri seninya yang selalu penuh pengunjung. Antrian pengunjung, terutama pada akhir pekan, selalu mengular sampai ke luar area galeri.
ADVERTISEMENT
Bagi saya, ini fenomena menarik, bukan hanya karena ini terjadi di negeri komunis yang katanya sudah sangat materialistis, tetapi juga karena ini terjadi di galeri setingkat universitas di kota provinsi, bukan galeri nasional di Beijing atau Shanghai.
Sayangnya, meski memiliki peringkat dan tradisi keilmuan serta seni yang sangat baik, masih sedikit mahasiswa Indonesia yang menempuh studi di Wuhan University. Dari ASEAN, mahasiswa di Wuhan University rata-rata diisi oleh mahasiswa dari Myanmar dan Thailand.
Jadi, jika anda memiliki kesempatan untuk berkunjung ke RRT, sempatkanlah menginjakkan kaki di Kota Wuhan. Jika berniat menimba ilmu di sana, mungkin Wuhan University dapat menjadi pilihan terbaik.