Inspirasi dari Irlandia: Menggagas RUU Boikot Produk Israel versi Indonesia

Konten dari Pengguna
13 Juli 2018 14:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ali Salmande tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Lolos! Terima kasih atas semua dukungan. Ini adalah langkah pertama, tetapi langkah yang penting. Hari ini kami menyatakan dengan tegas: Irlandia akan selalu berpegang pada hukum humaniter, keadilan dan hak asasi manusia.”
Kutipan di atas merupakan twit dari Frances Black, perempuan senator asal Irlandia. Black men-twit-nya sore hari waktu Dublin, Irlandia pada 11 Juli 2018 (atau tengah malam waktu Indonesia Barat), sesaat setelah Rancangan Undang-Undang (RUU) larangan mengimpor barang, jasa, dan sumber daya alam yang berasal dari wilayah pendudukan ilegal Israel disetujui oleh Senate Irlandia (semacam Dewan Perwakilan Daerah).
ADVERTISEMENT
Irlandia telah sejak lama menyatakan bahwa tindakan Israel yang membangun pemukiman ilegal di wilayah pendudukan (seperti di Tepi Barat) merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum internasional dan hak asasi manusia. Oleh karena itu, sudah sepantasnya apabila barang, jasa dan hasil sumber daya alam yang berasal dari tindakan ilegal tersebut dilarang masuk ke Irlandia. Demikian argumentasi yang dibangun oleh Black ketika menginisiasi RUU ini.
Setelah disetujui di Senate, RUU yang resminya berjudul “Control of Economic Activity (Occupied Territories) Bill 2018” ini akan segera dikirim ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)-nya Irlandia untuk dibahas dan kemudian – apabila disetujui – disahkan menjadi undang-undang. Perjalanan agar RUU ini disahkan menjadi undang-undang memang masih panjang, tetapi langkah Black yang mengusulkan RUU ini di awal 2018 setidaknya sudah setengah jalan.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, sebagian kalangan pesimis RUU ini benar-benar disahkan, mengingat komposisi DPR Irlandia yang banyak anggotanya cenderung menolak RUU ini. Namun, Black dan rekan-rekannya di Senate yang ikut voting ‘setuju’ telah memberi contoh bagaimana langkah untuk menekan Israel agar mematuhi hukum internasional dan hak asasi manusia (HAM) bisa dilakukan dengan berbagai cara, termasuk menciptakan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negaranya. Walau, perjalanan yang dilalui tentu juga tidak mudah, terbuktinya dengan intensnya upaya lobby pemerintah Israel kepada pemerintah Irlandia yang sempat membuat pembahasan dan pengambilan keputusan RUU ini di Senate tertunda.
Langkah Black dan kawan-kawan sudah sepatutnya menjadi contoh bagi Presiden Republik Indonesia Joko Widodo dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dua lembaga negara yang memiliki peran bersama dalam membuat undang-undang, untuk merancang RUU sejenis. Apalagi mengingat posisi sejarah Indonesia yang selalu mendorong kemerdekaan Palestina atas penjajahan Israel, RUU Boikot Produk Israel versi Indonesia seharusnya bisa lebih ‘keras’ dibanding yang dimiliki oleh Irlandia.
ADVERTISEMENT
Sejak awal kampanye, Presiden Joko Widodo telah berkomitmen kuat terhadap isu kemerdekaan Palestina. Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi, dalam berbagai kesempatan, sering mengutarakan betapa pentingnya isu kemerdekaan bangsa Palestina bagi Indonesia. Bahkan, Retno berungkali mengatakan, “Bahwa perjuangan Palestina ada di dalam jantung politik luar negeri Indonesia, dan Palestina selalu ada di setiap helaan nafas diplomasi Indonesia.”
Selain itu, Presiden Joko Widodo juga pernah menyerukan boikot produk Israel dalam Konferensi Tingkat Tinggi Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Negara Islam (KTT LB OKI) pada 2016. Yang diperlukan oleh Presiden Jokowi hanya satu, yakni segera meng-konkret-kan seruan heroiknya untuk memboikot produk Palestina. Salah satu caranya adalah dengan menggagas RUU Boikot Produk Israel versi Indonesia agar bisa menjadi contoh bagi negara-negara OKI lainnya.
ADVERTISEMENT
Secara hitungan politik, langkah yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo tidak akan seberat Black dan kawan-kawan yang harus bertarung dengan kubu far right yang tidak terlalu peduli pelanggaran HAM di Palestina. Presiden Joko Widodo tidak akan mengalami hambatan yang signifikan dalam peta politik dalam negari, karena kubu oposisi juga menaruh perhatian serius mengenai isu Palestina. Bahkan, salah satu komponen oposisi, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bisa hampir dipastikan akan menerima RUU ini apabila melihat rekam jejaknya selama ini yang memang sangat concern dengan isu-isu kemerdekaan Palestina.
Lalu, apa yang perlu diatur dalam RUU Boikot Produk Israel versi Indonesia? Sebelumnya, perlu dipahami bahwa meski Indonesia – Israel tidak memiliki hubungan diplomatik, hubungan dagang antar pengusaha dari kedua negara sudah berlangsung lama. Salah satu alasan Israel melakukan perdagangan dengan Indonesia adalah pangsa pasar yang besar. Jadi, larangan tegas impor produk Israel – bukan hanya dari wilayah Tepi Barat – ke Indonesia tentu akan menjadi tamparan besar bagi Israel.
ADVERTISEMENT
Selain itu, RUU Boikot Produk Israel versi Indonesia juga bisa mengambil inspirasi dari gerakan Boycott Divestment Sanction (BDS) yang digulirkan oleh para aktivis hak asasi manusia di banyak negara. Gerakan ini tidak hanya melakukan boikot secara ekonomi, tetapi juga secara akademik maupun kultural. Ilmuwan dunia (mendiang) Stephen Hawking pernah mencontohkan boikot secara akademik dengan menolak ikut dalam sebuah konferensi akademik di Israel (Guardian, 2013). Jadi, apabila hal ini diatur dalam suatu undang-undang, tidak ada lagi pejabat negara (walau mengaku hadir sebagai pribadi) yang menghadiri konferensi di Israel dengan alasan akademik atau kebudayaan.
Memang, memformulasikan gerakan BDS ini ke dalam suatu undang-undang bukan hal yang mudah. Apalagi, upaya-upaya untuk mem-black campaign gerakan BDS ini sudah mulai marak di negara-negara sekutu Israel. Sejumlah negara berulangkali di-lobby oleh Israel untuk segera mengkriminalisasi gerakan BDS tersebut. Padahal, gerakan ini sama sekali tidak menggunakan cara-cara kekerasan. Di Amerika Serikat, setidaknya sudah ada 23 negara bagian yang telah mengesahkan aturan yang melarang kampanye BDS (Al Jazeera, 2017). Namun, di sisi lain, fakta tersebut juga menunjukkan betapa terpukulnya perekonomian Israel terhadap gerakan tersebut.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, dari sudut pandang hukum positif, RUU ini juga memiliki cantelan yang tidak main-main dalam UUD 1945, yakni Pembukaan UUD 1945, terutama frasa (1) “Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan”; dan (2) “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang [......] ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang Undang Dasar Negara Indonesia.”
Apalagi, UU No. 12 Nomor 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan juga mendukung hal tersebut. Pasal 10 ayat (1) huruf a UU No. 12/2011 menyebutkan bahwa, “Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi: pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Jadi, dengan RUU ini, setidaknya para generasi muda bisa memahami implementasi konkret dari dua frasa di atas yang sering diulang-ulang ketika upacara bendera dilakukan di sekolah.
ADVERTISEMENT