Mengukur Pembatasan Media Sosial dengan Tes Proporsionalitas

Konten dari Pengguna
14 Juni 2019 3:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ali Salmande tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber Foto: https://hukumunieropa.wordpress.com/
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Foto: https://hukumunieropa.wordpress.com/
ADVERTISEMENT
Pemerintah, melalui Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), kembali mengeluarkan ultimatum. Kebijakan pembatasan sosial media dan Whatsapp akan kembali dilakukan menjelang sidang sengketa Pemilihan Presiden (Pilpres) di Mahkamah Konstitusi (MK).
ADVERTISEMENT
Apabila penyebaran hoaks dan unggahan bernada hasutan semakin marak, pembatasan sosmed dan Whatsapp jilid II ini akan dilakukan seperti kebijakan serupa yang telah diterapkan saat demonstrasi 22 Mei 2019. Kebijakan tersebut sebenarnya sempat menuai kritik dari kalangan masyarakat sipil.
Pasca pembatasan sosmed dan Whatsapp ketika demonstrasi 22 Mei, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) - melalui siaran persnya - mendesak agar pemerintah segera mencabut kebijakan pembatasan akses media sosial. AJI berargumen bahwa kebijakan tersebut bertentangan dengan Pasal 28F Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 19 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (HAM) yang memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi.
com-Aplikasi media sosial. Foto: Shutterstock
Namun, pemerintah sebenarnya juga memiliki dasar hukum yang cukup kuat, yakni Pasal 40 ayat (2a) dan (2b) UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Ketentuan tersebut mewajibkan pemerintah mencegah penyebarluasan dan penggunaan informasi elektronik yang memiliki muatan yang dilarang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
ADVERTISEMENT
Pencegahan tersebut diringi dengan pemberian kewenangan kepada pemerintah untuk memutus akses dan/atau memerintahkan kepada penyelenggara sistem elektronik untuk melakukan pemutusan akses.
Hal tersebut juga sejalan dengan salah satu syarat pembatasan hak asasi yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945, yakni pembatasan harus dilakukan melalui undang-undang.
Lalu, apakah kebijakan pemerintah ini sudah tepat?
Dalam khazanah hak asasi manusia (HAM) dikenal sebuah prinsip yang kerap menjadi tolok ukur untuk menyeimbangkan jaminan dan pembatasan hak asasi manusia, yakni prinsip proporsionalitas. Di beberapa negara, terutama negara-negara Eropa, tolok ukur ini sering disebut sebagai proportionality test atau tes proporsionalitas. Ukurannya adalah apakah kebijakan pemerintah untuk melakukan pembatasan hak asasi tersebut proporsional?
ADVERTISEMENT
Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) Eropa yang sangat sering melakukan tes proporsionalitas ini kerap menggunakan cara beragam di setiap kasus yang ditanganinya. Namun, setidaknya ada beberapa elemen yang kerap digunakan, yakni efektifitas atau kecocokan untuk mencapai tujuan yang diinginkan (effectiveness/suitability), apakah tindakan tersebut benar-benar diperlukan untuk mencapai tujuan yang diinginkan (necessity), atau adakah cara lain yang lebih tidak merusak untuk mencapai tujuan yang diinginkan tersebut (subsidiarity).
Dalam konteks Indonesia, tujuan pembatasan HAM seseorang – sebagaimana diatur Pasal 28J UUD 1945- adalah “semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
ADVERTISEMENT
Secara sederhana, analogi yang sering digunakan terkait tes proporsionalitas adalah untuk membunuh lalat, anda cukup menggunakan raket anti serangga. Apabila alat seperti bazoka yang digunakan untuk membunuh lalat tentu tidak proporsional. Tujuan tercapai, tetapi kerusakan yang didapat justru lebih besar.
Atau analogi populer bahwa untuk memburu tikus di lumbung padi, Anda tidak perlu membakar lumbung padi seluruhnya. Contoh lain, apabila di suatu jalan ada banyak kasus begal motor, tentu solusi yang dilakukan bukan menutup jalan tersebut untuk umum secara permanen, tetapi menangkap pelaku begal motor.
Bayangkan ada berapa banyak warga negara– yang tidak ada urusannya lagi dengan persoalan 'copras capres' – yang mengandalkan sosial media atau Whatsapp untuk urusan mencari nafkah (berdagang online atau bekerja) akhirnya terdampak atas kebijakan tersebut. Atau mereka yang akhirnya terhambat berkomunikasi untuk urusan pribadi atau keluarga yang sangat penting.
ADVERTISEMENT
Lalu, kembali ke pertanyaan awal, apakah pemerintah sudah proporsional dalam melakukan pembatasan hak setiap warga untuk menggunakan media dan memperoleh informasi melalui pembatasan sosial media dan Whatsapp? Anda dapat menilainya sendiri.