Muzakir Sai Sohar Legacy

Konten dari Pengguna
26 Juni 2018 17:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alip D Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Upacara pelantikan Pejabat Bupati Muara Enim 2018 baru saja berakhir. Ini menandakan telah berakhir pula masa kepemimpinan Muzakir Sai Sohar sebagai Bupati Muara Enim yang telah berlangsung selama dua periode. Dimulai dari tahun 2008 sampai dengan 2018. Uniknya, Muzakir memimpin Muara Enim di periode pertama sebagai Wakil yang menggantikan Bupati terpilih, H Kalamuddin Djinab yang tidak dapat melanjutkan tugasnya dikarenakan meninggal dunia.
ADVERTISEMENT
Dalam era pasca reformasi ini, terpilih kembali untuk kali kedua sebagai kepala daerah bukanlah sebuah perkara yang mudah. Dibutuhkan lebih dari sekedar nyali yang besar. Sebab, untuk memenangi pertarungan politik hari ini, setidaknya Muzakkir harus memiliki modal pada tiga hal: basis finansial, basis sosial-politik, dan basis kompetensi. Tulisan ini hadir dalam rangka untuk menelisik lebih jauh, poin-poin tersebut sehingga membantu pembaca untuk memahami tentang alasan rasional kenapa Muzakir mampu bertahan selama dua periode sebagai Bupati Muara Enim.
Pertama basis finansial. Mendiskusikan masalah ‘berapa besar modal finansial yang dimiliki suatu kandidat kepala daerah’ dalam konteks Pilkada adalah suatu hal yang sangat wajar. Polemik mengenai pendanaan politik memang belum sepenuhnya selesai dibicarakan di Indonesia, apalagi jika kita melihat masih rendahnya kredibilitas parpol di mata publik.
ADVERTISEMENT
Namun, pendanaan politik adalah sebuah keniscayaan dalam konteks demokrasi. Sammuel Huntington dalam bukunya, “No Easy Choice: Political participation in developing countries” memperkuat argumen ini dengan mengatakan bahwa Negara mesti memberikan perhatian kepada tiap-tiap parpol sebagai bagian dari pilar demokrasi. Dan perhatian tersebut salah satunya berupa pendanaan kepada parpol (Sammuel Huntington, 1990). Secara riil politik, menjadi sesuatu yang lazim dalam kehidupan berpolitik di Indonesia bahwa setiap kandidat harus memiliki modal yang besar untuk mengongkosi semua kebutuhan pokok yang diperlukan selama proses pencalonan dia berlangsung, mulai dari tahapan penjaringan calon di internal parpol yang dipenuhi intrik, kemudian di tahapan ketika memasuki kampanye, hingga kebutuhan untuk menyelenggarakan saksi-saksi di tiap-tiap tempat pemilihan suara (TPS) untuk mengawal dan mengamankan suara dari kandidat tersebut dari potensi kecurangan. Ini semua adalah realitas yang harus dipahami oleh semua kandidat. Muzakir, dengan pengalamannya, tentu sangat mengerti hal-hal semacam ini.
ADVERTISEMENT
Kedua basis sosial dan politik. Sudah sewajarnya kandidat memiliki tingkat keterkenalan di kalangan masyarakat di wilayah tempat dia mencalonkan dirinya sebagai kepala daerah. Hal ini penting sebagai modal dasar. Makanya, disini kita akan berbicara tentang seberapa familiar sang kandidat di wilayah pemilihannya. Untuk membantu tingkat keterkenalan, kandidat bisa memanfaatkan sarana seperti jaringan kekeluargaan, jaringan media (baik cetak, elektronik, hingga sosial media), hingga jaringan mesin parpol pendukung dan pengusung. Logika sederhananya adalah, semakin terkenal seseorang dikalangan mata pilih, akan membuat dirinya semakin berpeluang untuk dipilih oleh rakyat nantinya.
Muzakir adalah seorang politisi dengan riwayat karier politik yang cukup panjang dalam konteks perpolitikan di Muara Enim. Pengalamannya sebagai fungsionaris DPD Partai Golkar Kabupaten Muara Enim, yang notabenenya adalah salah satu parpol yang memiliki basis terluas di Indonesia, termasuk di Muara Enim, dan kesempatan yang pernah dia rasakan sebagai Ketua DPRD Kabupaten Muara Enim, adalah rangkaian yang membentuk ketokohan Muzakir selama ini. Jadi, cukup wajar jika dari segi basis sosial-politik, beliau cukup mumpuni.
ADVERTISEMENT
Jika kita mengelaborasi figur Muzakir dalam konteks jenis kepemimpinan secara umum, maka Muzakir, meminjam istilah Eep Saefulloh Fattah, sebagai jenis pemimpin yang adaptif, yakni jenis kepemimpinan yang mengakomodasi semua unit dengan merepresentasikan kepentingan-kepentingan yang ada di Kabupaten Muara Enim. Mungkin inilah juga rahasia yang menjelaskan kenapa dia bisa bertahan di kursi kekuasaan selama dua termin. Alih-alih berkelahi dengan keras terhadap politisi, parpol ataupun kelompok kepentingan yang ada, dia justru nampak beradaptasi dengan mereka (Eep Saefulloh Fattah, 2014).
Ketiga basis kompetensi. Jika menilik dari trah keluarga, Muzakkir adalah anak dari eks pemimpin Muara Enim sebelumnya, H. Sai Sohar. Seorang purnawirawan militer yang juga pernah menjadi anggota MPR RI. Bila kita memadukan dua teori kepemimpinan, yakni berdasarkan teori kepemimpinan genetis dan teori kepemimpinan sosial (Sedarmayanti: 2019), maka Muzakir ini adalah jenis pemimpin yang mewakili kombinasi dari dua teori tersebut. Jika teori kepemimpinan genetis adalah jenis kepemimpinan yang didapatkan karena dia mewarisi bakat-bakat kepemimpinan dari orang tuanya, yang dalam hal ini Muzakir tentu saja secara genetis mewarisi bakat kepemimpinan dari Sang Ayah, maka kepemimpinan sosial adalah jenis kepemimpinan yang terbentuk karena faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi pribadi individual, bisa berupa faktor konflik, kompetisi, hingga ragam pengalaman di dalam dunia keorganisasian. Muzakir dengan reputasinya yang cukup lengkap dalam dunia politik, juga kepemimpinannya di Organisasi FKPPI (Forum Komunikasi Putra/I Purnawirawan Indonesia) di tingkat Sumsel, adalah faktor-faktor eksternal yang membentuk kepribadian dirinya dan mempengaruhi basis kompetensi Muzakir sendiri.
ADVERTISEMENT
Ketiga faktor tersebut, tentu saja memiliki pengaruh yang sangat signifikan bagi karier politik Muzakir, dan setidaknya menjadi sebab alasan logis terpilihnya dia selama dua periode ini. Tentu, tulisan ini adalah pembacaan pribadi penulis secara umum. masih banyak faktor-faktor lainnya yang belum terangkum dalam tulisan ini. Di samping karena faktor dari karakter dunia politik yang sangat dinamis, dan juga ditunjang oleh terlalu banyak variable yang saling berkaitan satu sama lain. []
Oleh: Alip D Pratama, SH., MH. (Pengajar di FH Universitas Taman Siswa, Palembang)