Turki Baru: Supremasi Sipil Atas Militer

Konten dari Pengguna
25 Juni 2018 17:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alip D Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
(Foto dari www.macleans.ca)
Turki kemarin (24/6) baru saja menyelenggarakan Pemilihan Presiden dan Anggota Parlemen yang terlaksana cukup kondusif. Ada beberapa hal yang membuat pemilu kali ini menjadi menarik untuk diperhatikan.
ADVERTISEMENT
Pertama, Presiden yang terpilih nantinya, adalah presiden yang akan memiliki kekuasaan yang sangat besar, bahkan memiliki potensi melampaui besarnya kekuasaan yang pernah dimiliki oleh Pemimpin Turki sebelumnya, Mustafa Kamal Attaturk, disebabkan telah disepakatinya perubahan sistem pemerintahan dari sebelumnya Parlementer menuju sistem Presidensial. Perubahan sistem ini terjadi setelah sebelumnya hasil referendum yang melibatkan seluruh rakyat Turki secara mayoritas menginginkan adanya perubahan sistem tersebut.
Kedua, jika petahana kembali terpilih, yakni Recep Tayip Erdogan, maka ini adalah kepemimpinannya kali kedua sebagai Presiden Turki, setelah sebelumnya Erdogan telah menjabat sebagai Perdana Menteri Turki selama tiga periode lamanya.
Ketiga, sebagaimana yang telah kita tahu bersama, Erdogan adalah sedikit dari pemimpin sipil di dunia yang mampu menanggulangi permasalahan pemerintahannya dengan Militer. Sejarah Turki menunjukkan kepada kita bahwa negeri ini dikenal sebagai Negara yang sering mengalami rangkaian intervensi militer secara sangat agresif. Kalau dihitung, Turki telah mengalami kudeta militer sebanyak empat kali (sebelum Erdogan berkuasa). Maka menjadi menarik, akankah kemenangan Erdogan pada pemilu kali ini semakin mengukuhkan dominasi sipil atas militer?
ADVERTISEMENT
Jalan Terjal Menuju Kekuasaan
Tahun 2002 adalah jejak langkah pertama Erdogan menapaki kariernya sebagai seorang politisi arus utama di belantika dunia perpolitikan Turki. Pada waktu itu, partai yang baru di dirikannya, Adelet ve Kalkinma Partisi (AKP) Berhasil merebut suara mayoritas di parlemen sehingga memiliki hak untuk membentuk pemerintahan sendiri. Namun, kemenangan AKP pada waktu itu tidaklah terjadi dengan mudah. Semua elit politik di Turki tahu bahwa AKP adalah partai yang membawa ideology yang sama persis dengan Necmettin Erbakan, seorang politisi senior sekaligus mentor politiknya Erdogan, eks Perdana Menteri Turki di tahun 1998, dan tokoh politisi muslim yang mempunyai reputasi di dunia islam.
Sebagai informasi, Turki adalah Negara yang menganut ideologi sekuler (kemalisme) dalam kehidupan bernegaranya, yang artinya Turki memisahkan betul antara urusan Publik dan Private, serta urusan Agama dan Negara. Militer Turki, adalah institusi yang secara historis dan genetis memiliki tugas kehormatan untuk menjaga ideology sekuler tersebut dari upaya-upaya yang mencoba untuk menanggalkannya. Makanya dikenal istilah “military as a guardian of kemalism”. Berbagai macam kudeta yang terjadi selama Republik Turki berdiri, menunjukkan komitmen Militer yang sangat besar dalam menjaga ideology tersebut, sebab, militer hanya akan melakukan intervensi terhadap kekuasaan sipil jika menurut timbangan moral dan politik militer, kekuasaan sipil tersebut mengancam ideologi Negara yang merupakan warisan pemikiran dari pendiri sekaligus pemimpin Turki yang pertama; Mustafa Kemal Attaturk, yang notabenenya adalah seorang perwira tinggi militer pada waktu Kerajaan Ottoman masih eksis.
ADVERTISEMENT
Kemenangan AKP dan naiknya Erdogan ke tampuk kepemimpinan nasional Turki membuat musuh-musuh politik Erdogan yang berasal dari kaum nasionalist-sekuler, bahu-membahu dengan kelompok Elit Militer di Turki untuk mendongkel AKP dan Erdogan dari kursi kekuasaan. Maka dicarilah kesalahan dan kesilapan Erdogan. Kalangan nasionalist-sekular dan Militer yakin bahwa tak lama setelah berkuasa, Erdogan tentu akan tampil ke permukaan dengan membawa retorika keislamannya, sama seperti yang dilakukan oleh Erbakan dahulu ketika berkuasa di tahun 1998. Namun rupanya diluar ekspektasi, Erdogan justru sama sekali tidak pernah menggunakan retorika islam dalam setiap pidato politik dan kenegaraannya. Bahkan, Erdogan beserta para politisi AKP secara konsisten dan terang-terangan mengatakan kepada publik bahwa mereka bukanlah partai politik yang menganut ideology islam, dan mereka bukanlah politisi islam. Hal ini tentu membuat kelompok nasionalist-sekuler dan MIliter sangat kecele.
ADVERTISEMENT
Sama sekali tidak ada retorika islam dalam kampanye, platform, dan program-program pemerintahan Erdogan untuk Turki. Hal ini dinilai pengamat sebagai langkah taktis Erdogan dalam rangka menghindari potensi intervensi militer turki terhadap kekuasaan mereka yang baru seumur jagung. Namun erdogan bukan tidak memiliki langkah strategis untuk membelenggu taring militer dalam kehidupan perpolitikan Turki. Maka Erdogan secara sistematis melakukan pelemahan terhadap militer melalui beberapa cara, seperti pertama, mengedepankan performa ekonomi. Terbukti, selama tiga kali Erdogan menjadi Perdana Menteri dan sekali menjadi Presiden, dari tahun 2002 sampai dengan 2018, angka pertumbuhan ekonomi Turki pernah mencapai 9%, dan kini di angka 7,4%. Mengurangi inflasi dengan sangat signifikan, melancarkan agenda pembangunan nasional berupa jembatan-jembatan, penambahan jalan tol, pembangunan Bandara Internasional yang kesemuanya itu mampu mengkoneksikan kota-kota strategis di Turki.
ADVERTISEMENT
Kedua, Erdogan juga secara intens melakukan lobi-lobi terhadap Uni Eropa dalam rangka mengajukan Turki sebagai salah satu anggota tetap Uni Eropa. Hal ini penting sebab, Uni Eropa menghendaki setiap anggotanya mampu mengendalikan militer di atas kendali kelompok sipil sebagai cirri dari Negara modern dan demokratis, yang merupakan asas fundamental Negara-negara eropa. Dan ini menjadi dalil utama pemerintahan Erdogan untuk memangkas kekuasaan Militer yang begitu dominan dalam percaturan politik Turki. Salah satunya yakni Erdogan mewacanakan amandemen konstitusi.
Ketiga, amandemen konstitusi menjadi pintu masuk utama bagi kelompok Erdogan untuk membonsai hegemoni militer selama ini. Sebab, militer juga selama ini merasa melakukan suatu tindakan yang konstitusional ketika mengkudeta pemerintahan sipil, dikarenakan itu adalah mandat langsung dari konstitusi mereka. Maka jembatan untuk melakukan amandemen tersebut adalah dengan menyelenggarakan referendum terhadap seluruh rakyat Turki yang substansinya adalah apakah rakyat Turki setuju adanya amandemen konstitusi tersebut atau tidak, sementara proses referendum berlangsung, AKP sudah menyiapkan draft rancangan konstitusi versi mereka yang tinggal di sahkan di parlemen.
ADVERTISEMENT
Jika performa ekonomi adalah cara Erdogan untuk merebut simpati dan dukungan publik, sebab, dengan menghadirkan kesejahteraan dan keberdayaan secara ekonomi kepada rakyat, tentu itu adalah resep yang sangat manjur untuk mendapatkan dukungan publik secara massif, maka kerja-kerja diplomasi terhadap Uni Eropa dan maneuver politik berupa amandemen konstitusi, adalah langkah strategis Erdogan dan AKP untuk mengakhiri hegemoni Militer Turki. Sehingga, di bawah kepemimpinan Erdogan, Militer secara formal dan substansial, benar-benar kembali ke barak.
Hegemoni Sipil Turki Atas Militer
Dalam teori yang diajukan oleh Samuel Huntington lewat bukunya, “The Soldier and The State”, dijelaskan bahwa dalam era demokrasi seperti hari ini, sudah tidak lagi relevan bagi suatu Negara jika kekuatan sipilnya masih memiliki ketergantungan yang besar terhadap Militer. Makanya Huntington mendorong Negara-negara demokrasi agar bertransformasi dari kelompok Negara demokrasi prosedural menuju kelompok demokrasi substansial, yang salah satu variable utamanya adalah kontrol sipil terhadap militer secara obyektif (Samuel Huntington: 1957).
ADVERTISEMENT
Lebih jauh, dalam buku “Pergulatan Militer dan Sipil di Indonesia dan Turki” yang ditulis oleh Alip Dian Pratama, Kontrol sipil terhadap militer itu jalan utamanya adalah adanya mandate yang bersumber langsung dari sumber hukum tertinggi suatu Negara, yakni Konstitusi Negara. Dengan bersumber langsung dari konstitusi Negara, maka kelompok sipil diharapkan mampu mengkontrol aktifitas Militer sebatas pada tugas-tugas pertahanan dan keamanan, seperti yang telah dimandatkan dalam Konstitusi tersebut. hal inilah yang dinamakan sebagai sebuah control yang obyektif, yaitu kontrol yang berbasiskan konstitusi (Alip Dian: 2017).
Namun memang di samping adanya pengaturan secara hukum, diperlukan juga kesadaran yang muncul dari kalangan elit militer tentang peran dari militer itu sendiri dalam konteks profesionalisme militer. Bahwa, suatu militer yang professional adalah suatu kelompok militer yang sadar akan tugas-tugasnya sebagaimana yang telah dimandatkan oleh Konstitusi Negara, dan mau menjadikan Pimpinan sipil dalam jajaran eksekutif sebagai komando tertinggi pada hierarki rantai komando di tubuh militer.
ADVERTISEMENT
Apa yang dilakukan oleh Erdogan adalah upaya-upaya yang nyata untuk menjinakkan Militer Turki yang terkenal sangat agresif dalam merongrong kekuasaan sipil. Selain sejarah kudeta yang terjadi sebanyak empat kali sebelum Erdogan berkuasa, (kudeta militer di Turki pernah terjadi pada tahun 1960, 1971, 1980, dan 1998) Militer Turki juga pernah menyasar kursi kekuasaan Erdogan dengan melancarkan plot kudeta di tahun 2016, namun sayangnya, kudeta ini berhasil digagalkan dengan sangat telak oleh Erdogan, sebab kudeta tersebut hanya disepakati dan dilaksanakan oleh sebagian kecil (minoritas) dari faksi yang ada dalam tubuh Militer, dan kudeta ini sama sekali tidak mendapatkan dukungan dari rakyat Turki. Bahkan Rakyat Turki ikut membantu Pemerintahan Erdogan untuk menggagalkan plot kudeta tersebut dengan cara mengeroyok militer Turki yang hendak merongrong kekuasaan sah tersebut.
ADVERTISEMENT
Setelah kemenangan Erdogan dan AKP pada Pemilu kemarin (24/6), maka Erdogan akan bertransformasi menjadi Pemimpin Turki yang memiliki otoritas yang paling besar sepanjang sejarah Turki Modern (bbc.com, 22 juni 2018). Sebab, dalam sistem presidensial yang baru ini, Erdogan akan menikmati otoritas-otoritas seperti kewenangan untuk membuat cabinet dan memilih berapapun wakil presiden yang dia inginkan, membuat dekrit untuk mengatur kementerian-kementerian yang baru, mencopot PNS Senior tanpa mesti mendapatkan persetujuan dari parlemen, bisa juga membubarkan parlemen (syarat dan ketentuan berlaku), serta bisa mengajukan rancangan anggaran Negara. Kuasa yang besar itu semakin membuat Erdogan menjadi Nampak sangat superior dihadapan kelompok Militer yang semakin hari semakin lemah pengaruhnya dalam perpolitikan Turki.