Saham Pemprov DKI pada Perusahaan Bir: Dilepas Sayang, Ditahan Mencekam

Ali Riza Fahlevi
Professional Accountant dan Saat ini sedang menempuh pendidikan doktoral dalam bidang Akuntansi di Universitas Indonesia
Konten dari Pengguna
5 Maret 2021 19:36 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ali Riza Fahlevi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tepat 2 Maret 2021, Presiden Joko Widodo telah memutuskan untuk mencabut lampiran III atas Peraturan Presiden (Perpres) No.10 tahun 2021. Di mana Perpres tersebut hanya berumur 1 bulan sebelum Presiden kembali menarik peraturan yang telah diputuskan sebelumnya. Setidaknya, dibatalkannya Perpres tersebut memberikan angin segar bagi sebagian besar masyarakat yang menolak investasi minuman keras ini.
ADVERTISEMENT
Namun, dibatalkannya Perpres tersebut menjadikan kembali mencuatnya isu kepemilikan saham Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta pada PT Delta Djakarta Tbk (kode saham; DLTA). Di mana DLTA merupakan perusahaan yang memproduksi bir, dengan Anker Bir sebagai produk kenamaan perusahaan tersebut.
Meskipun Anies Baswedan beberapa kali berupaya untuk melepas kepemilikan saham DLTA yang dikuasai oleh Pemprov DKI, tetapi para anggota dewan DKI jakarta, yang mayoritas dikuasai oleh die hard partai pendukung Joko Widodo, seakan belum merestui keinginan Anies Baswedan tersebut.
Mengacu dari informasi yang tersaji dalam situs dan juga laporan keuangan perusahaan, DLTA sendiri pada awalnya hanya berupa pabrik “Anker Bir” yang bernama Archipel Brouwerij yang didirikan pada tahun 1932, atau jauh sebelum Indonesia meraih kemerdekannya dari para penjajah. Selanjutnya, perusahaan berganti nama menjadi NV De Oranje Brouwerij, ketika perusahaan di bawah kendali perusahan Belanda. PT Delta Djakarta sendiri mulai digunakan sebagai nama komersil perusahaan pada tahun 1970.
ADVERTISEMENT
Kepemilikan saham Pemprov DKI Jakarta terhadap DLTA, pada dasarnya memiliki sejarah panjang. Meskipun, sulit untuk menemukan bukti akan kepastian kapan sejatinya Pemprov DKI pertama kali melakukan investasi terhadap perusahaan “panas” ini, tetapi diperkirakan investasi itu dimulai pada tahun 1970, di bawah kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin pada waktu itu.
Selanjutnya, Pemprov DKI Jakarta terus mempertahankan kendalinya pada perusahaan tersebut, setidaknya sampai tulisan ini dimuat.

Dari Bang Yos hingga Anies Baswedan

Dalam masa kepemimpinan Sutiyoso, atau yang biasa dikenal sebagai Bang Yos, kendali yang dimiliki oleh Pemprov DKI Jakarta terhadap DLTA cenderung stagnan selama 10 tahun masa kepemimpinan mantan gubernur DKI yang memiliki pangkat terakhir sebagai Letjen TNI (Purn) tersebut, yaitu 26,3% atau dengan menguasai 4.204.014 lembar saham, dari total seluruh saham yang dijual di pasar modal. Atas kendali yang dimiliki Pemprov DKI Jakarta terhadap DLTA, pada tahun 2007, Pemprov DKI Jakarta memperoleh keuntungan investasi atas DLTA melalui dividen yang dibagikan perusahaan sebesar Rp.5,3 miliar, di mana keuntungan atas investasi tersebut setidaknya berkontribusi bagi pembangunan Taman Semanggi, dan juga beberapa projek lain yang dibangun dalam masa kepemimpinan Bang Yos ini.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, dalam kepemimpinan Fauzi Bowo pada periode 7 Oktober 2007 hingga 7 Oktober 2012, kendali yang dimiliki oleh Pemprov DKI Jakarta atas DLTA cenderung tidak banyak berubah dari kendali yang dimiliki pada periode kepemimpinan Gubernur yang sebelumnya, di mana Pemprov DKI Jakarta menguasai 26,3% saham atas DLTA. Menariknya, sebelum Fauzi Bowo mengakhiri masa jabatannya pada tahun 2012, Pemprov DKI Jakarta melepas 3% kepemilikan perusahaan kepada publik, yang menjadikan kepemilikan saham Pemprov DKI Jakarta pada DLTA pada waktu itu mencapai 23,34% atau 3.736.920 lembar. Pada tahun 2012 sendiri, Pemprov DKI Jakarta mendapatkan sekitar Rp 46,7 miliar atas dividen yang dibagikan perusahaan kala itu, di mana angka ini meningkat 9 kali lipat dibandingkan pada akhir kepemimpinan Bang Yos. Penerimaan atas dividen dari DLTA, menyumbang dari keseluruhan pendapatan yang diterima oleh Pemprov DKI Jakarta pada waktu itu, dan memiliki kontribusi bagi kemajuan Jakarta, seperti terealisasinya jalur Sepeda dari Taman Ayodya hingga Blok M yang memiliki panjang 1,5 kilometer.
ADVERTISEMENT
Silih berganti kursi kepemimpinan DKI Jakarta, dimulai dari Joko Widodo, yang kini menjabat sebagai Presiden Indonesia, Basuki Tjahaja Kusuma alias Ahok, Djarot Saiful Hidayat (Jarot), hingga Anies Baswedan, kendali yang dimiliki oleh Pemprov DKI Jakarta terhadap DLTA tidak banyak mengalami perubahan, setidaknya sampai tahun 2018. Di mana sejak tahun 2012 hingga tahun 2018, Pemprov DKI Jakarta memiliki “kuasa” atas DLTA sebesar 23,34% atau 3.736.920 lembar saham. Banyaknya lembar saham yang dikuasai oleh Pemprov DKI Jakarta meningkat menjadi 186.846.000 lembar saham sejak tahun 2015 hingga 2018. Hal ini dikarenakan perusahaan pada tahun 2015 atau tepatnya pada 9 Juli 2015, memutuskan untuk melakukan stock split atau pemecahan nilai nominal saham, dari Rp.1000 per lembar menjadi Rp.20 per lembar (rasio 1:50).
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, pada tahun 2019, atau dua tahun pasca terpilihnya Anies Baswedan menjabat sebagai orang nomor 1 di DKI Jakarta, Pemprov DKI Jakarta di bawah kepemimpinannya telah meningkatkan investasinya terhadap DLTA, di mana Pemprov DKI Jakarta menguasai 26,25% saham atas DLTA, atau tidak kurang dari 210 juta lembar saham perusahaan. Terlepas dari adanya friksi politik yang terjadi dalam Pemprov DKI Jakarta, setidaknya masih adanya kepemilikan saham Pemprov pada DLTA merupakan salah satu bukti ingkarnya sang Gubernur, terhadap janji politiknya sendiri.
Uang dan Alkohol. Foto: Shutterstock

Investasi dan Risiko

Meskipun tidak diketahui secara pasti bagaimana sampai pada akhirnya Pemprov DKI Jakarta pada kala itu memutuskan untuk pertama kali melakukan investasi pada perusahaan yang kini dipimpin oleh Jose Daniel Abellon Javie, tetapi dalam dunia bisnis, terlepas pro-dan kontra akan halal dan haram, hingga surga dan neraka akan investasi ini, tetapi dapat dikatakan bahwa investasi yang dilakukan oleh Pemprov terhadap DLTA merupakan investasi yang menguntungkan.
ADVERTISEMENT
Bagaimana tidak, perusahaan yang sebagian besar sahamnya dikuasai oleh San Miguel Malaysia tersebut selalu menorehkan keuntungan selama 5 tahun terakhir. Hal ini juga terlihat dari rutinnya perusahaan membagikan dividen kepada para pemegang saham setiap tahunnya. Bahkan, dari dividen yang dibagikan oleh perusahaan, pada tahun 2019 sendiri Pemprov DKI Jakarta mendapatkan Rp 100 miliar, di mana angka ini meningkat 100% dibandingkan dengan tahun sebelumnya (2018), atau hampir 5x lipat dari dividen yang didapatkan pada tahun 2016 yang lalu. Sehingga, mengacu terhadap tingginya “keuntungan” yang didapat oleh Pemprov atas investasi terhadap DLTA, maka dapat dipahami alasan sebagian besar anggota DPRD DKI yang menolak rencana Anies Baswedan untuk melepas kepemilikan saham Pemprov terhadap DLTA.
ADVERTISEMENT
Namun, perlu diketahui, bahwa hubungan antara investasi dan risiko merupakan keniscayaan. Meskipun investasi yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta terhadap DLTA secara financial sangat menguntungkan, tetapi investasi tersebut sejatinya memiliki risiko, baik itu risiko secara politik (political risk) dan juga risiko kepercayaan (trust risk).
Risiko secara politik dalam hal ini berkaitan dengan (kemungkinan) berkurang atau hilangnya wibawa Anies Baswedan, setidaknya dimata salah satu partai pendukungnya, Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Seperti kita ketahui, PKS sendiri merupakan partai berideologi Islam, dan secara getol mendukung Anies Baswedan pada pemilihan Gubernur silam melawan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Ahok. Di mana setidaknya, (diharapkan) terpilihnya Anies Baswedan pada waktu itu sebagai Gubernur DKI Jakarta, mampu menghilangkan kendali Pemprov DKI Jakarta atas DLTA.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, risiko trust sendiri yang dimiliki akan menjadikan berkurang hingga hilangnya kepercayaan publik atas keseriusan Anies untuk memenuhi janjinya. Dan, apabila pada akhirnya Anies Baswedan mencalonkan dirinya sebagai Presiden pada Pemilu tahun 2024 yang akan datang, maka ini dapat menjadi senjata pamungkas untuk digunakan oleh lawan politiknya untuk “menyerang” kepemimpinan yang dimiliki oleh saudara dari Novel Baswedan ini.
Investasi bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Maka bagi Pemprov DKI Jakarta, investasi yang dilakukan perlu dilihat secara bijak, bukan sekadar untung atau rugi, suka atau tidak suka, dan juga halal dan haram. Dalam masa pandemi COVID-19 sekarang ini, mungkin melepas kepemilikan saham yang dikuasai oleh Pemprov DKI Jakarta terhadap DLTA dapat menjadi keputusan yang bijak. Di mana dari hasil penjualan saham tersebut dapat digunakan untuk lebih menopang kehidupan sebagian warga DKI yang terimbas pandemi ini.
ADVERTISEMENT
Namun, perlu dipahami, bahwa keuntungan investasi yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta, sejatinya tidak hanya digunakan bagi suku, golongan, dan agama tertentu saja. Sehingga, ketika pada akhirnya Pemprov DKI Jakarta melepas kendalinya di DLTA, setidaknya Pemprov DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Anies Baswedan harus mampu menyiapkan opsi ataupun bentuk lain dari investasi yang kini dilakukan terhadap DLTA, dengan mampu memberikan keuntungan yang minimal sama dengan apa yang telah didapat atas investasi yang dilakukan pada DLTA.
Ali Riza Fahlevi – Professional Accountant & Consultant - Saat ini juga sedang menempuh Pendidikan doktoral dalam bidang akuntansi di Univesitas Indonesia