Pulang ke Indonesia, Aku Langsung Kena 'Body Shaming'

Aliyya Bunga Kiranasti
There you found me! I pursued my study in Russia. Currently working as a reporter at kumparan. I have twisted mind, but I adore deep talks and vulnerability.
Konten dari Pengguna
3 September 2021 11:06 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aliyya Bunga Kiranasti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Credit: Getty Images/iStockphoto
zoom-in-whitePerbesar
Credit: Getty Images/iStockphoto
ADVERTISEMENT
Hai. Sebelumnya terima kasih sudah menghampiri tulisan perdanaku di kumparan ini. Tulisan ini murni adalah opini dan pengalaman pribadiku, tidak ada intensi untuk menyindir suatu kaum atau orang-orang yang memiliki pendapat berlawanan, oke?
ADVERTISEMENT
Karena minat baca kebanyakan orang Indonesia masih rendah, jadi aku memutuskan untuk membagi tulisan bertema serupa (tapi ada yang beda pastinya) menjadi dua bagian, anggaplah biar kalian enggak bosan bacanya. Ya semoga saja bisa menghibur, mengetuk pintu hati, dan menginspirasi juga.
Kalau begitu kita langsung ke situasi dan tempat di mana pengalaman "culture shock" di negara sendiri ini terjadi ya...

Body shaming sebagai tujuan untuk 'basa-basi'

"Eh, itu muka kamu kenapa? Kok jadi jerawatan gitu..." "Ya ampun, udah lama ya kita enggak ketemu. Kamu gendutan deh..." "Kamu makan yang banyak dong, kurus banget kayak korek api..." "Wah, cantik sih, tapi coba aja kulitnya lebih putih..."
Jujur, seumur hidup pasti seenggaknya kalian pernah mendengar salah satu dari kalimat di atas, kan?
ADVERTISEMENT
Aku duluan, deh. Jujur, aku pernah. Aku mengalami body shaming itu pertama kali di Indonesia. Sebelumnya selama lima tahun aku hidup di Rusia, aku enggak pernah terlalu peduli dengan berat badanku karena aku masih menjaga pola makan (tanpa diet, makan apa saja yang penting bikin bahagia), olahraga seenggaknya seminggu dua kali, enggak pernah terlalu peduli terhadap berapa kalori yang masuk ke dalam mulutku dan aku enggak pernah terlalu peduli sama apa kata orang tentang badanku. Ya karena memang enggak ada orang di Rusia yang pernah komentar macam-macam tentang badanku, sih. Hingga pada akhirnya, di bulan Oktober 2020, aku tiba untuk pertama kalinya di Indonesia setelah lebih dari empat tahun aku enggak pulang dan bertemu dengan orang-orang terdekatku. Sewajarnya, aku mengharapkan sebuah kalimat sambutan yang hangat, tapi yang terdengar untuk pertama kalinya adalah... "Lho, kok kamu jadi gendut begini?" ujar seseorang di depanku, menatapku dari atas ke bawah. Menganalisis. Sepertinya dia kaget banget.
ADVERTISEMENT
DUARRR. Apakah ini namanya "culture shock"? Tapi kenapa ini terjadinya di negara kelahiranku sendiri, ya?
Aku terdiam, speechless. Karena kalimat itu bahkan keluar dari mulut salah satu anggota keluargaku sendiri. Ini enggak mendramatisir, tapi memang itu kalimat pertama yang aku dengar setelah empat tahun lebih enggak bertemu dengannya. Refleks menyelamatkan keadaan, sahabatku yang seumuran dan ikut menjemput di bandara hari itu buru-buru memberikan validasi, "Ah, masa sih? Enggak kok..." Aku cuma bisa tersenyum canggung, tapi ketahuilah, di situ aku enggak bohong, aku kena mental, saudara-saudara.
Pada suatu hari, aku menyampaikan rasa tidak nyamanku terhadap komentar tersebut ke orang yang bersangkutan. Lalu begini dia bilang, "Kamu itu lupa sama orang sini seperti apa? Ya itu basa-basi saja, enggak usah diambil ke hati... Gitu aja kamu baperan".
ADVERTISEMENT
Ah... sungguh momen yang tidak terlupakan, aku masih ingat gimana kagetnya aku mendengar respons seperti itu.
Mirisnya, kaum yang paling sering melontarkan kalimat body shaming selain diri kita sendiri adalah orang-orang terdekat kita juga. Orang tua pun termasuk menjadi pencetus kalimat body shaming yang andal. Sebenarnya kalaupun itu komentar dari orang lain yang aku enggak kenal, aku bisa lebih legawa menerimanya karena itu orang lain. Tapi ini... ini kan dari keluarga sendiri yang bahkan bisa melakukan hal tidak menyenangkan tersebut di depan orang-orang banyak. Tanpa enggak merasa salah. Ya beda ya, damage-nya.
Sejujurnya, sebelum istilah "body shaming" muncul dan mulai diberikan atensi lebih oleh publik, aku enggak menyadari bahwa itu semua tergolong ke dalam kategori "bullying". Benar, mengutip dari alodokter.com, body shaming itu adalah salah satu bentuk tindakan bullying yang jika dilakukan bisa berpengaruh ke kondisi mental seseorang. Orang yang cenderung memiliki low self-esteem dan terlalu memikirkan pendapat orang lain mungkin bisa mengalami dampak yang lebih buruk ke kesehatan mentalnya dan bahkan bisa memicu penyakit mental lain, seperti anoreksia, bulimia, dan bahkan suicidal.
ADVERTISEMENT
Sedihnya, semua hal yang dapat berujung fatal ini masih dianggap kebanyakan orang di Indonesia sebagai "basa-basi". Bahkan untuk kebanyakan orang pun, kesehatan mental masih dianggap tabu dan stigma semata.
Dan lagi, masih banyak orang di luar sana yang merasa enggak bersalah setelah melakukan body shaming terhadap orang lain dan sering kali malah menyalahkan orang lain itu atas tindakannya, menganggap orang lain itulah yang terlalu "baperan" dan "lebay". Maksud hati mungkin ingin bercanda, memang, tapi bukan bercanda namanya kalau sampai menyinggung orang lain dan tidak bertanggung jawab atas tindakannya sendiri.

Kesimpulan

Jadi sebenarnya tujuan dari tulisan ini bukan ingin curhat, tapi ingin mengingatkan bahwa kondisi fisik orang lain bukanlah urusan kita. Menurutku enggak perlu berkomentar apabila wajah teman kita jadi jerawatan gara-gara salah skincare, ya karena memang sebenarnya tanpa dikomentari pun dia sudah tahu, kan dia sendiri yang melihat wajahnya setiap hari.
ADVERTISEMENT
Basa-basi dan bercanda enggak perlu bawa-bawa kondisi fisik orang, masih banyak topik receh lain yang bisa dibikin bercandaan. Aku menekankan bahwa enggak perlu juga berkomentar apa-apa terhadap perubahan fisik orang lain karena setiap orang memiliki hak untuk melakukan apapun terhadap dirinya sendiri selama nggak merugikan orang lain dan dirinya juga. Namun tentunya, selama kita bisa menyampaikan kekhawatiran atau kritik terhadap perubahan kondisi fisik orang lain dengan cara yang sopan dan suportif, tentu saja itu diperbolehkan.
Karena niat bercanda dan basa-basi kita bisa saja bikin orang lain merasa enggak percaya diri lagi selama bertahun-tahun dampaknya, bahkan diam-diam sakit hati, lho, sama kita. Atau yang terburuk ketika saking sakit hatinya, seseorang bisa depresi berat sehingga memilih untuk mengakhiri hidupnya karena alasan awal mulanya bisa disebabkan oleh bercandaan dan basa-basi itu juga.
ADVERTISEMENT
Jadi, sekian opini dan ceritaku kali ini. Aku harap bisa diterima tanpa ada rasa seakan-akan menggurui, terima kasih sudah meluangkan waktu sampai di sini. Pesanku adalah, mulutmu harimaumu dan hidup itu terlalu pendek untuk enggak berbuat baik sama orang lain.
(to be continued)
-A