Romo Mangun, Pendamping Pendidikan Indonesia

Almas Rifqi
Domisili di Jogja. Baru menekuni bidang kepenulisan belum lama ini.
Konten dari Pengguna
6 Januari 2018 22:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Almas Rifqi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Y. B. Mangunwijaya dikenal sebagai rohaniwan, budayawan, arsitek, penulis, aktivis dan pembela wong cilik. Kerap dijuluki bapak arsitektur Indonesia. Pengetahuan dan kepiawaian beliau seputar dunia bangun membangun ini diakui dunia melalui rancangan pemukiman di tepi Kali Code masa itu. Namun bukan ini bukan soal bagaimana beliau menjadi bagian dari 10 Arsitek terbaik se-Indonesia. Tulisan ini tentang Romo Mangun (Sebutan popular) yang sangat peduli dengan pendidikan Indonesia yang ia rasa sudah salah secara penerapan. Konsep pendidikan Romo Mangun adalah belajar sejati yang memerdekakan manusia. Tujuannya mengembangkan seluruh kemampuan peserta didik untuk berekspolarasi, berkreatifitas, dan integral.
ADVERTISEMENT
Kalau kita menilik salah satu karyanya yaitu Impian Dari Yogyakarta, kumpulan esai masalah pendidikan, di dalam esai berjudul Cah Bodo Sangsaya Akeh/Arang (Anak Bodoh Semakin Banyak/Jarang) beliau menguak ide tentang hubungan tradisional antara generasi tua dan generasi tunas yang memiliki pola dimana yang tua maunya hanya menasehati dan menatar, memberi pedoman, mengarahkan, mengintruksi, mengomando, mengidoktrinasi, menyuruh menghapalkan, mengarahkan sembarang apa yang dianggap harus dilakukan anak/murid/siswa agar berhasil kelak. Iya, metode itu berhasil memang, menurut generasi tua. Sebetulnya itu bukanlah pendidikan melainkan bentuk sosialisasi. Mengarahkan anak untuk tunduk kepada sosial (si tua) yang dianggap satu-satunya hal wajib untuk kebahagiaan (si tua).
Romo Mangun tidak menegasikan adanya peran si tua dalam pendidikan anak, perlu adanya yang bimbingan dan hukuman displiner bila diperlukan, walau nanti akhirnya akan membuat semangat belajar yang berbeda. Di dalam esai ini, Romo Mangun juga memiliki ramalan pendidikan yang menarik dan memang sangat dibutuhkan untuk pendidikan, khususnya zaman canggih ini. Ide ramalan itu meminta, dan mungkin lebih mengharuskan, pendidik bukan lagi hanya sebagai guru belaka, suhu dalam arti klasik, apalagi tukang dikte. Melainkan wujud abang, kakak, bahkan kadang adik. Yang jelas: sahabat atau pendamping. Mereka yang sadar bahwa yang bisa menggurui si anak adalah anak itu sendiri. Walau sudah kodratnya si anak ini memang meminta atau menuntut pendampingan, bimbingan, pengajar, dan pendidik yang penuh perhatian terhadap si anak. Beliau merangkum kebutuhan ini dalam membangun kemauan bertanya dan mencari, menganggap belajar adalah sarana eksplorasi, dan membangun keberanian bertanya.
ADVERTISEMENT
Sungguh ide menarik, beliau bisa meramalkan apa yang sebenarnya dibutuhkan generasi tunas saat ini. Esai-esai beliau ini sudah berumur, namun masih sangat relevan dengan kondisi sekarang. Lagi, ramalan soal kebutuhan pendidikan ini juga rasanya memukul hati. Sebegitu pedihkah pendidikan Indonesia dari waktu ke waktu. Padahal orang barat seringkali bilang pendidikan Indonesia itu sudah bagus, tinggal melanjutkan apa yang Ki Hajar Dewantara cetuskan dan ajarkan dalam membangun dan menyempurnakan pendidikan Indonesia. Sebuah kebanggaan dalam ironi yang terjadi di lapangan.
Pendidikan yang Klise
Lari ke implementasi pendidikan sekarang, banyak fenomena yang tidak enak didengar lagi dipandang sering kita temui di media sosial meyoal anak-anak dengan kata-kata kasar, tawuran, bahkan anak SD yang mengumbar kemesraan. Menjadi sebuah pertanyaan apakah ini bentuk dari pendidikan Indonesia atau hanya ulah televisi dan penggunaan gawai yang tak bisa tersaring dengan baik. Menurut saya, ini memang soal pendidikan. Yang saya yakini, pendidikan tidak melulu dilakukan di sekolah dan menjadi tanggung jawab guru saja. Di dalam rumah, orang tua memiliki peran lebih penting dalam membimbing anak-anaknya untuk menghadapi perputaran zaman yang luar biasa cepat ini.
ADVERTISEMENT
Ide Romo Mangun dalam mempertanyakan dan menjawab pertanyaan kita, si penasaran tentang pendidikan, sangatlah lugas. Walau konteks contoh tidak begitu relevan karena beda ordo, pemikiran-pemikiran beliau masihlah harus dikaji dan dievaluasi hingga tidak akan ada lagi yang mempertanyakan hal serupa kelak. Tidak ada lagi yang berfikiran serupa Romo kelak. Karena pendidikan yang sudah sangat pas porsi dan pengaplikasiannya di masyarakat. Yang kita lakukan sekarang adalah membenahi evaluasi itu. Tidak harus terpaku pada pemikiran Romo saja sebenarnya. Banyak fenomena-fenomena yang juga bisa diambil sebagai bahan evaluasi.
Pendidikan Indonesia memang sebatas ini, sangat klise, simpel, dan tidak ribet. Hanya implementasi dari evaluasi dan aksi nyata dalam mendidiklah yang kurang di soroti. Kurikulum pendidikan adalah melulu soal materi yang disampaikan. Bagaimana dengan cara mendidik? Apakah para guru dan si tua lainnya harus mencari sendiri? Atau tiap lembaga pendidikan harus menggunakan metode yang bebeda? Nanti beda harga bagaimana? Sekolah swasta dan sekolah negeri beda metode, beda hasil dan beda biaya, bagaimana ini? Belum perguruan tingginya, nilai A sekarang tidak menjamin dia pendidik yang baik.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan demi pertanyaan muncul, bagai tanah yang habis dicangkul, pendidikan Indonesia terlihat amburadul. Banyak biaya yang dikeluarkan untuk pendidikan. Hasilnya belum signifikan. Tidak sebentar dalam mengubah patokan nasional ini. Sulit bukanlah kata yang tepat untuk itu semua. Lagi, mendidik tidak sesulit itu. Ingat kata Romo, mari mulai dari mendampingi dan menghargai apapun kemampuan dan bakat si tunas generasi ini. Si tua harus tau.