Konten dari Pengguna

Pembangunan Berwawasan Gender

Almira Febriana
Mahasiswi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang
24 Januari 2022 13:38 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Almira Febriana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi perempuan bekerja di industri teknologi. Foto: dok. Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perempuan bekerja di industri teknologi. Foto: dok. Unsplash
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Salam sejahtera untuk kita semua, perkenalkan saya Almira Febriana salah satu mahasiswi di Universitas Muhammadiyah Malang dengan program studi Sosiologi, disini saya ingin menyampaikan opini saya tentang pembangunan berwawasan gender yang sedang ramai terjadi di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Dalam kacamata masyarakat Indonesia perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan sangat berbeda dan itu terlihat nyata sebagaimana mestinya. Masyarakat sangat membedakan antara laki-laki dan perempuan, menurut mereka laki-laki lebih kuat dari pada perempuan dan pandangan tersebut menjadi dasar ketidaksetaraan gender di masyarakat.
Pandangan tentang laki-laki yang boleh kerja sedangkan perempuan hanya diam saja di rumah dan mengurus keperluan rumah seperti memasak, mencuci baju, mengurus anak dan keperluan rumah lainnya tetapi nyatanya tidak harus seperti itu perempuan pun bisa bekerja jika mereka memiliki pendidikan yang mempuni.
Saat ini juga sudah banyak independent women tetapi pandangan masyarakat banyak yang belum berkembang dan menjudge tentang independent women. Sejujurnya untuk urusan rumah itu bukan hanya pekerjaan perempuan tetapi lelaki juga harus ikut andil dalam pekerjaan rumah karena mereka hidup di satu atap yang sama maka mereka harus membangun kerja sama yang apik untuk rumah mereka.
ADVERTISEMENT
Sesuai dengan GBHN 1993 bahwa Wanita mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan pria dalam pembangunan. Selain itu, pengambilan keputusan juga telah mengesahkan konvensi penghapusan segala bentuk deskriminasi terhadap perempuan dalam UU No.7 Tahun 1984.
Tetapi dalam realitanya perempuan masih mengalami ketertinggalan dari laki-laki baik di bidang pendidikan, Kesehatan, ketenagakerjaan dan lain-lain. Sebenarnya dalam hal persamaan kedudukan baik laki-laki maupun perempuan mereka memiliki persamaan yaitu sebagai subjek atau pelaku pembangunan, laki-laki dan perempuan memiliki peranan yang sama dalam merencanakan, melaksanakan, memantau dan menikmati hasil pembangunan.
Hak yang sama antara laki-laki dan perempuan contohnya di bidang pendidikan adalah antara laki-laki dan perempuan bisa mengemban pendidikan yang sama sampai ke jenjang yang paling akhir. Terasa tidak adil bila hanya laki-laki saja yang bisa mengemban pendidikan hingga jenjang paling akhir (kuliah).
ADVERTISEMENT
Gender yang dimaksud disini bukan gender secara biologis melainkan gender menurut sosial budaya dan psikologis. Oleh karena itu pembagian peran antara laki-laki dan perempuan dapat berbeda di antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lainnya sesuai dengan lingkungan tersebut. Peran gender juga berubah ubah dari waktu ke waktu karena pengaruh kemajuan dari beberapa aspek seperti: pendidikan, teknologi, ekonomi dan lain-lain.
Menurut saya pribadi kesetaraan gender itu yang paling utama agar tidak ada yang lebih dominan di antara laki-laki dan perempuan, karena pada dasarnya antara laki-laki dan perempuan itu sama tetapi mereka memang memiliki kelebihan masing-masing. Perempuan juga memiliki hak untuk menjunjung tinggi harkat dan martabatnya seperti apa yang sudah di perjuangkan oleh ibu RA Kartini.
ADVERTISEMENT
Untuk saat ini sudah banyak perempuan yang mulai memainkan perannya dalam pembangunan dengan cara menduduki jabatan-jabatan strategis dalam pemerintahan, perusahaan dan lain-lain, tetapi jabatan-jaatan yang di pegang oleh kaum perempuan tidak sebanding dengan laki-laki.
Menurut sebuah data hanya 5% perempuan menjadi pimpinan perusahaan dan 17,3% menjadi anggota legislative, presentase tersebut bisa dibilang cukup kecil mengingat populasi perempuan lebih banyak dari laki-laki. Berikut adalah beberapa faktor yang minimnya partisipasi perempuan:
1. Adanya dikotomi maskulin atau feminim peran manusia secara biologis yang memarginalkan perempuan.
2. Adanya dikotomi peran public dan budaya yang menunjukkan bahwa ‘perempuan seharusnya dirumah’
3. Adanya konsep ‘beban kerja ganda’ yang mengharuskan perempuan sebagai ibu rumah tangga yang seutuhnya walaupun memiliki karir
ADVERTISEMENT
4. Adanya wawasan pemikiran yang memarginalkan perempuan dalam masyarkat.
Untuk mengatasi ketidaksetaraan gender adalah dengan kesetaraan pendidikan untuk laki-laki dan perempuan, banyak dari masyarakat desa yang lebih mengutamakan pendidikan untuk laki-laki saja sedangkan perempuan banyak yang putus sekolah dengan dalih kelak perempuan hanya akan berakhir di dapur, pemikiran seperti ini harus di hapuskan karena setiap warga negara Indonesia berhak mendapatkan pendidikan yang setara, baik perempuan maupun laki-laki.
Faktor utama yang membantu kesetaraan gender dalam segala aspek adalah pemerintah, pemerintah bisa memberikan penyuluhan tentang pendidikan yang sama rata antara laki-laki dan perempuan setelah itu pemerintah bisa memberikan seminar tentang kesetaraan gender agar tidak ada lagi deskriminasi antara laki-laki dan perempuan dalam dunia pekerjaan.
ADVERTISEMENT
Pemerintah harus memberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk kaum perempuan untuk mengaktualisasikan diri di segala aspek karena perempuan sangat berpotensi dan perempuan juga merupakan aset bangsa. Pembangunan berwawasan gender benar-benar harus di aktualisasikan secara baik dan tegas agar tidak terjadi kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dalam hal kontribusi dalam pembangunan.
Pemerintah dan masyarakat harus saling merangkul satu sama lain untuk mewujudkan pembangunan berwawasan gender ini. Disini peran pemerintah dan masyarakat dibutuhkan dengan tujuan mewujudkan kesetaraan gender dan mengeskplor potensi perempuan melalui kegiatan-kegiatan pemberdayaan perempuan.