Menilik Kebijakan Nadiem Makarim, Sekolah Dibuka Januari 2021?

Alrdi Samsa
Penulis Lepas Pascasarjana Politik Pemerintahan Universitas Gadjah Mada
Konten dari Pengguna
3 Desember 2020 12:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alrdi Samsa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan Republik Indonesia
zoom-in-whitePerbesar
Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan Republik Indonesia
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tulisan ini menimbang efek positif dan negatif terkait dengan Keputusan Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim, berkaitan dengan pemberlakuan kembali sekolah dengan sistem ajar tatap muka kembali di bulan Januari 2021.
ADVERTISEMENT
Serta membedah efek negatif pembelajaran online yang dilakukan di masa pandemi. Rangkaian impact tersebut, akan diuraikan dengan menganalisis fakta-fakta sosial yang terjadi dan melihat dari perspektif guru serta alat penunjnag pembelajaran di era pandemi. Sehingga pada akhirnya, dapat ditarik sebuah pertimbangan apakah sekolah siap dibuka kembali Januari 2021 dan apakah sistem pembelajaran online harus diperbaiki?
Tidak dipungkiri, meningkatnya COVID-19 merupakan alasan utama mengapa sampai bulan Desember awal, pembelajaran online masih terus dilakukan di Indonesia. Pembelajaran secara konvensional pun masih tetap dominan dilakukan oleh guru dalam kegiatan belajar dari rumah, hal itu menyebabkan proses belajar siswa tidak efektif. Mengapa demikian?
Merujuk pada hasil survei Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, pemberian tugas melalui soal-soal masih sangat dominan dipakai oleh guru di jenjang dasar sampai menengah pada semester gasal 2020/2021. Sebanyak 92,3% responden guru yang telah disurvei menyatakan hal yang selaras.
ADVERTISEMENT
Kompas (Edisi 27 November 2020), mengulas balik semester sebelumnya, yang pada intinya di semester sebelumnya pun pemberian soal sangatlah dominan. Sebanyak 80,7% responden guru jenjang dasar hingga menengah menyampaikan hal tersebut saat disurvei.
Tentunya data tersebut menunjukan satu fakta konkret, dimana sistem pembelajaran konvensional, dan guru –sebagian besar– mengandalkan pemberian soal untuk memberikan bimbingan secara online kepada siswanya.
Hal ini tentunya sangat menyulut polemik. Menyikapi hal ini seharusnya kita merujuk pada Hak Siswa yang seharusnya tidak hanya mendapatkan soal dan materi secara online saja, namun bagaimana pun Siswa harus mendapatkan fasilitas belajar yang efektif, diantaranya adalah pendampingan.
Ketimpangan Pemberian Soal dan Proses Bimbingan Guru
Sorotan utama yang hadir ketika pembelajaran dilakukan online adalah ketika kita berbicara mengenai interaksi guru dan hak siswa. Kebanyakan guru, masih memanfaatkan media sosial yang menjadi media populer guru untuk berinteraksi dengan siswanya.
ADVERTISEMENT
Namun, hal tersebut tidak merata. Beberapa guru yang tinggal di daerah tertinggal, berkomunikasi langsung dengan siswanya dan melakukan bimbingan dengan cara melakukan kunjungan ke rumah dan tatap muka secara langsung di sekolah.
Sementara, guru-guru yang tinggal di daearh Non-Tertinggal, memanfaatkan media sosial sebagai saluran utama untuk berkomunikasi dengan siswa. Tentunya dua kondisi ini cukup menggambarkan ketimpangan kondisi guru yang juga seharusnya memiliki hak yang sama.
Permasalahan yang muncul adalah, ketika siswa tingkat dasar yang harus mendapatkan bimbingan extra tidak mendapatkannya. Hanya justru mendapatkan soal dengan bahan dasar acuan buku, yang terkadang jika tidak di arahkan siswa juga kurang untuk memahaminya. Akhirnya yang kemudian terjadi adalah ketika siswa mendapatkan arahan jawaban langsung dari orang tuanya.
ADVERTISEMENT
Alfanya guru dalam proses bimbingan inilah yang kemudian meyulut polemik, ketika guru hanya bertugas untuk menyiapkan soal dan memberikan bahan materi untuk jawaban yang ada dalam soal tersebut. Akhirnya untuk pemetaan potensi siswa sangat sulit dijabarkan.
Pemetaan potensi yang dimaksud adalah ketika berbicara mengenai dengan kreativitas dan juga pemetaan psikis siswa. Tidak dipungkiri sosial media menjadi shortcut, untuk para guru menilai. Acuannya hanya berdasarkan pada hasil nilai yang dikerjakan dalam soal yang telah diberikan.
Hal ini kemudian menjadi efek negatif, dan hal serius untuk tumbuh kembang siswa ditingkat dasar, karena guru alfa dalam memetakan potensi siswa secara psikis. Pemetaan guru akhirnya, berdasrkan tumpuan data-data nilai, tidak dibarengi dengan penilaian empirik, dan sikap keseharian siswa. Akhirnya yang terjadi adalah ketimpangan beban siswa dan guru, dimana guru kurang memberikan bimbingan secara langsung, dan siswa juga kurang mendapatkan asupan materi secara visual dari guru.
ADVERTISEMENT
Sosial Media sebagai Katalisator Terbaik
Namun yang juga seharusnya tidak luput adalah ketika kita berbicara mengenai media sosial, maka kita berbicara teknologi. Kepadatan masyarakat menggunakan internet, menunjukan bahwa Indonesia sangat aktif untuk menggunakan sosial media.
Sosial media juga sangat bermanfaat untuk menunjang segala aktivitas, penghubung bagi setiap orang untuk melakukan semua perbincangan yang dapat dilakukan dengan satu waktu.
Hasil survei di atas yang telah ditunjukan oleh Kemendikbud pun, menunjukan bahwa media populer yang banyak digunakan oleh guru adalah media sosial. Cara belajar dengan media sosial kebanyakan guru –berdasarkan pengalaman empirik– adalah menyuruh siswa untuk menggunakan sumber elektronik –google, dll– lantas setelahnya ada pemberian dan pembekalan materi dan terakhir adalah meminta siswa untuk membuat kerajinan produktif, entah itu kerajinan tangan atau pun hal lainnya. Tentunya hal tersebut sangat memudahkan guru untuk memberikan bimbingan, agar siswa mandiri untuk melakukannya sendiri.
ADVERTISEMENT
Hadirnya media sosial di lingkup para guru sebenarnya tidak melunturkan entitas guru itu sendiri. Teknologi digital tidak mengubah peran guru, justru memfasilitasi pembelajaran yang bersifat kritis, dan juga berpikir cepat serta mampu mengembangkan insiatif siswa.
Walaupun kondisi guru juga berbeda-beda (tertinggal dan non-tertinggal). Tetap guru memiliki kesempatan menggunakan media sosial sebagai alat penunjang pembantu utama dalam pembelajaran. Tinggal yang menjadi catatan adalah, bagaimana kemudian para guru juga memastikan proses pembelajaran yang dilakukan secara online tersebut berjalan dengan baik atau tidak.
Sebuah Kesimpulan
Pada hakikatnya, indikator efektivitas pembelajaran yang dilihat dari aspek pembelajaran online atau tatap muka. Itu tidak bisa menjadikan sebuah kebijakan dapat berjalan dengan baik atau tidak. Namun dengan melihat dan mengukur tingkat kesiapan serta tingginya angka COVID-19 yang terus meningkat, sebaiknya dipertimbangkan kembali berkaitan dengan keputusan Meneteri Pendidikan tersebut.
ADVERTISEMENT
Di atas telah disuguhkan beberapa pertimbangan mendasar ketika guru dan siswa melakukan pembelajaran secara online, baik dari perspektif guru dan medium penghubung alat pembelajarannya. Maka dari itu yang harus dilakukan adalah bukan untuk membuka kembali sekolah secara tatap muka, namun lebih ditingkatkan kembali berkaitan dengan pengawasan guru pada siswa dalam pembelajaran secara online.
Tentunya kesiapan perangkat sekolah juga menjadi aspek penunjang yang patut untuk dilihat bagamana kesiapannya. Sementara data yang didapat adalah 83, 68% sekolah belum siap untuk mengadakan sistem pembelajaran tatap muka secara langsung.
Inti dari tulisan ini diakhiri dengan sebuah pertimbangan, bahwa Januari 2021, kondisi Indonesia tidak sedang baik-baik saja untuk melakukan kegatan belajar mengajar secara normal kembali. Yang harus dilakukan adalah mengatur kembali tata cara pembelajaran online disetiap daerah melalui keputusan Menteri dengan mempertimbangkan keputusan masing-masing pemerintah daerah
ADVERTISEMENT