Eufimisme: Sebutan Berprinsip Kesantunan Bagi Disabilitas

Alvina Sahri
Mahasiswa UIN Jakarta
Konten dari Pengguna
17 Desember 2020 11:28 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alvina Sahri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ilustrasi disabilitas (Shutterstock)
Bahasa bagaikan sepasang kekasih sedang dilanda rasa bucin, selalu mengikuti keinginan dan jejak pasangan ke manapun pergi. Bahasa bersifat dinamis, mengikuti arah perkembangan zaman yang kian berubah-ubah tiap eranya. Pada pemanfaatannya, bahasa digunakan sebagai alat komunikasi yang paling vital dalam menjalin hubungan sosial. Bahasa digunakan sebagai pengungkapan ekspresi yang dapat berbentuk lisan maupun tulisan. Di dalam sebuah bahasa terdapat makna yang mengikat, makna tersebut lah yang akan berkembang menyesuaikan kebutuhan suatu masyarakat tertentu.
ADVERTISEMENT
Tidak jarang manusia mencoba untuk menutupi kenyataan dengan tidak segan demi menjaga kenyamanan orang lain, baik yang sudah dekat maupun baru kenal. Di dalam Pragmatik terdapat prinsip kesantunan yang dipopulerkan oleh Leech yang dibuat atas dasar untuk mematuhi norma kesantunan atau norma interaktif. Prinsip tersebut memiliki bidal-bidal yang berupa, bidal kebijaksanaan, kedermawanan, penerima, kerendah hatian, kesetujuan, dan kesimpatian. Berdasarkan keenam bidal tersebut, Leech meyakini dalam sebuah komunikasi tidak mesti semuanya termaktub di dalamnya. Selain pada komunikasi yang diatur dalam mematuhi norma tersebut, terdapat hal-hal lain yang dibuat sengaja untuk memperhalus atau mempersantun agar terkesan lebih nyaman untuk diucap dan didengar, seperti pada penyebutan 'penyandang disabilitas' yang diubah dari panggilan 'cacat'.
ADVERTISEMENT
Secara penampilan, penyandang disabilitas memiliki ‘ciri khas’ yang berbeda dari manusia pada umumnya. Banyak penelitian yang mengungkapkan anggapan masyarakat terhadap penyandang disabilitas dengan istilah ‘buruk’ yang diakibatkan pemahaman negative awareness tentang disabilitas dan siapa itu penyandang disabilitas (Widinarsih, 2019: 128). Masyarakat normatif melahirkan pelabelan negatif yang menimbulkan momok bagi penyandang disabilitas untuk berekspresi karena dianggap ‘berbeda’, hal tersebut yang pada akhirnya menimbulkan tindakan diskriminasi dan stigma. Sudah banyak di antaranya punya kesadaran atas hak yang sama pada penyandang disabilitas, oleh sebab itu banyak lahir gerakan-gerakan inklusi untuk membangun kesadaran terhadap mereka yang memiliki ‘ciri khas’.
Sejarah Terbentuknya Istilah Disabilitas di Indonesia
Indonesia memiliki perkembangannya sendiri dengan istilah bagi penyandang disabilitas, data menyebutkan sejak awal kemerdekaan Indonesia hingga 2011 sudah ada kurang lebih sepuluh istilah resmi yang digunakan untuk merujuk atau menyebut penyandang disabilitas dalam interaksi sehari-hari (Widinarsih, 2019: 129). Beberapa di antaranya, yakni (ber) cacat dengan kategori sebagai kata kerja yang bermakna memiliki kekurangan dan tidak sempurna. Istilah tersebut juga masih memiliki pandangan yang negatif dari masyarakat, khususnya bagi penyandang. Lalu, beberapa kali dirombak dan tercetus sebutan ‘tuna’ yang pernah dipergunakan sebagai istilah dalam dokumen resmi negera. Kata ‘tuna’ diambil dari bahasa Jawa yang memiliki arti rusak atau rugi, sehingga istilah tersebut berujung memiliki nasib yang sama dengan istilah pertama, yaitu ‘(ber) cacat’.
ADVERTISEMENT
Setelah mengalami perombakan hampir empat kali sesaat istilah ‘tuna’ digunakan, pemerintah menetapkan istilah ‘penyandang disabilitas’ setelah meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas (UNCRPD). Istilah tersebut diperkenalkan secara umum dalam rangka mendorong ratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Penyandang Cacat yang diadakan tahun 2009 (Widinarsih, 2019: 130). Umumnya, istilah tersebut dianggap lebih menghargai dan bersifat positif. Banyak pemerhati, penyandang, dan LSM yang sepakat akan istilah cacat memiliki arti yang mengandung negatif dari segi bahasa. Istilah ‘cacat’ juga hadir di antara masyarakat akibat suatu kekuasaan yang semena-mena memberikan pelabelan pada kelompok manusia yang dianggap cacat.
Melihat dari bagaimana antusias para masyarakat serta penyandang dalam istilah yang baru membuat kita dapat menilai usaha pemerintah untuk memperbaiki anggapan serta stigma yang berkembang di masyarakat. Penyandang disabilitas bukanlah individu yang cacat, mereka hanya memiliki perbedaan dengan ‘ciri khas’ yang diberikan lebih oleh Tuhan.
ADVERTISEMENT
Secara resmi pemerintah menuliskan istilah ‘penyandang disabilitas’ dalam UU No. 8 Tahun 2016 sekaligus menetapkan definisi dan pengkategorian ragam penyandang disabilitas, yakni penyandang disabilitas fisik, penyandang disabilitas intelektual, penyandang disabilitas mental, dan penyandang disabilitas sensorik.
Perbedaan Disabilitas dan Difabel
Masih banyak di antara kita yang menganggap istilah disabilitas dan difabel merujuk pada hal yang sama, nyatanya keduanya memiliki perbedaan yang tipis walaupun sama-sama menggantikan panggilan ‘penyandang cacat’ yang dinilai tidak bagus. Perbedaan penempatan istilah antara disabilitas dan difabel menjadi fatal apabila diungkapkan dengan salah. Umumnya, penyandang disabilitas adalah ketidakmampuan seseorang untuk melakukan suatu aktivitas tertentu dengan empat ragam disabilitas seperti fisik, sensorik, intelektual, dan mental. Sedangkan difabel adalah istilah yang dianggap lebih halus untuk mengungkapkan kondisi individu yang mengalami disabilitas, mengacu pada keterbatasan penyandang dalam melakukan aktivitas akibat ketidakmampuan yang dimiliki.
ADVERTISEMENT
Alasan ‘Disabilitas’ Berubah Arti dalam Semantik
Semantik sebagai kajian yang menyelidiki makna, mempelajari tentang perubahan arti dari sebuah bahasa, baik berupa kata atau kalimat. Ada dua alasan mengapa terjadi perubahan arti, yakni sebab kebahasaan dan sebab non-kebahasaan. Sebab kebahasaan terjadi perubahan arti dalam bahasa yang berasal dari bahasa itu sendiri (Subuki, 2011; 105). Sedangkan sebab non-kebahasaan terjadi akibat masalah di luar bahasa tersebut, misal sebab perkembangan ilmu dan teknologi, perubahan sosial, perluasan bidang makna, pengaruh asing, kebutuhan istilah baru, dan tabu.
Berdasarkan pembagian alasan non-kebahasaan, alasan istilah ‘disabilitas’ berubah sebab tabu. Sebab tabu adalah suatu konsep yang menggambarkan larangan tertentu dalam dunia sosial (Subuki, 2011; 110). Terdapat penyebab mengapa suatu bahasa mengalami perubahan tabu, Ullman mengklasifikasikan tiga alasan tabu menyebabkan perubahan arti; pertama, tabu karena ketakutan (taboo of fear) yang masih ada sangkut pautnya dengan hal mistis; kedua, tabu karena kenyamanan (taboo of delicacy); ketiga, tabu karena kesopanan (taboo of propiety). Mancanegara mengenal Indonesia sebagai negara yang ramah dan sopan, hal tersebut terbukti dari alasan terakhir mengapa tabu dapat menyebabkan perubahan arti. Bentuk eufimistik sangat sering terjadi dalam pembendaharaan kata bahasa Indonesia, misal saja pada tema yang sedang diangkat pada tulisan ini.
ADVERTISEMENT
Perubahan arti yang disebabkan oleh tabu biasanya melahirkan istilah eufimisme, sebentuk ungkapan pengganti yang dipergunakan untuk memperhalus efek dari ungkapan lain yang dirasa lebih kasar (Subuki, 2011; 110). Dapat dikaitkan pada istilah ‘disabilitas’ yang berubah dari kata ‘cacat’ yang dianggap berdenotasi negatif. Istilah ‘disabilitas’ menjadi bentuk eufimisme untuk memberikan kenyamanan bagi yang mengungkapkan dan mendengar, terutama bagi penyandang disabilitas yang lebih nyaman dengan kondisinya.
Hakikat Istilah ‘Disabilitas’
Secara Semantik, selain terdapat sebab perubahan arti ada pula konsekuensi perubahan arti pada kata ‘disabilitas’. Konsekuensi perubahan arti disebabkan oleh perubahan arti pada dua macam, yaitu evaluasi denotatif yang terkait evaluasi wilayah arti berupa arti yang dapat meluas atau menyempit dan evaluasi konotatif yang terkait dengan nilai emotif yang dapat bermakna buruk atau membaik (Subuki, 2011; 115). Berdasarkan kata ‘disabilitas’ yang mengalami perubahan dari kata ‘cacat’, evaluasi denotatif pada kata tersebut termasuk generalisasi (meluas) yang tidak hanya mengacu pada seseorang yang memiliki ketidakmampuan dalam fisik tetapi juga pada mental. Sedangkan evaluasi nilai emotif pada kata ‘disabilitas’ memiliki makna ameliorasi (membaik) akibat pemilihan kata yang dianggap lebih menghormati dan keberterimaan atas kehadiran penyandang disabilitas di antara masyarakat.
ADVERTISEMENT
Sumber Referensi
Subuki, Makyun. Semantik: Pengantar Memahami Makna Bahasa. Jakarta: TransPustaka. 2011
Widinarsih, Dini. Oktober 2019. “Penyandang Disabilitas Di Indonesia: Perkembangan Istilah dan Definisi”. Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial. Vol. 20(2): 127-142.
Nareza, Meva. 2020. “Mengenal Perbedaan Disabilitas dan Difabel” (Mengenal Perbedaan Disabilitas dan Difabel - Alodokter diakses pada 16 Desember 2020)