'Bisa Cakap Melayu?'

Lia Riyadi
Random stories and else about interesting things in a life of silly girl who happen to be a K Pop enthusiast
Konten dari Pengguna
4 Juli 2018 22:34 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lia Riyadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Apakah kalian tahu Yangon? Atau mendengar nama Aung San Suu Kyi? Atau mungkin pernah berkunjung ke Burma? Wah, kalau semua jawabannya tidak atau belum, bolehlah saya kasih bocoran. Yangon adalah nama ibukota Myanmar.
ADVERTISEMENT
Aung San Suu Kyi adalah penerima hadiah Nobel Perdamaian dari Myanmar. Sementara Burma, adalah nama negara yang pada tanggal 18 Juni 1989 berubah menjadi Myanmar.
Jadi, apa kesamaan dari ketiga hal tersebut? Yap, semuanya terkait dengan Myanmar, salah satu negara anggota ASEAN yang berada di semenanjung Asia.
Suasana pusat kota Yangon, ibu kota Myanmar. Foto dari sini.
Satu fakta unik yang dapat diceritakan dari Myanmar adalah meskipun orang Myanmar umumnya berkomunikasi dengan bahasa nasionalnya, Bahasa Burma, dalam keseharian ternyata tidak sulit menemui orang Myanmar yang dapat berkomunikasi dalam Bahasa Melayu.
Mereka yang dapat mengerti Bahasa Melayu utamanya adalah para pekerja di sektor jasa dan pariwisata; seperti pelayan restoran cepat saji, penjual cinderamata, dan para supir taksi.
Suasana Bogyoke Aung San Market, pusat belanja cinderamata di Yangon, Myanmar. Foto dari sini
ADVERTISEMENT
Cukup sering kami yang tengah ngobrol dalam Bahasa Indonesia di pusat perbelanjaan di Yangon disapa oleh pelayan dengan pertanyaan, “Saya bisa cakap Melayu, asal dari mana? Malaysia? Indonesia?” Kalau sudah begini, rasa khawatir karena persoalan komunikasi langsung lenyap.
Hal ini tentu saja menimbulkan pertanyaan bagi kami penutur Bahasa Indonesia, mengapa begitu mudah menemui warga Myanmar yang mampu berbicara dalam Bahasa Melayu? Padahal jika ditilik secara geografis, posisi Myanmar tidak berbatasan langsung dengan Indonesia atau Malaysia, sebagai bangsa pengguna Bahasa Melayu.
Tentu saja lain halnya jika berbicara mengenai sekelompok masyarakat yang berbahasa Melayu di wilayah Thailand bagian selatan atau Filipina bagian selatan yang memang berbatasan langsung dengan Malaysia dan Indonesia.
Shwedagon Temple, Yangon. (Foto: Flickr/Stefan H)
Jawaban kami temukan ketika kami bertanya kepada mereka yang bisa berbahasa Melayu. Jawabannya ternyata adalah karena begitu banyak warga Myanmar pernah mengenyam kehidupan di tanah rantau sebagai pekerja migran di Malaysia dan Singapura.
ADVERTISEMENT
Seperti juga dengan pekerja migran asal Indonesia, para TKM (Tenaga Kerja Myanmar) tersebut juga mencoba mengadu nasib memperbaiki kondisi ekonomi keluarga dengan mencari pekerjaan ke negara-negara sekitarnya.
Memperhatikan fenomena ini, maka tidak terlalu ambisius apabila Indonesia terus mendorong upaya untuk mewujudkan Bahasa Indonesia menjadi bahasa pengantar resmi di ASEAN, di samping Bahasa Inggris.
Apalagi bila dibandingkan Bahasa Melayu, Bahasa Indonesia memiliki beberapa keunggulan yang menjadikannya lebih berpotensi sebagai bahasa pengantar di kawasan Asia Tenggara. Keunggulan tersebut seperti:
Bahasa Indonesia sudah dipelajari di banyak negara
Berdasarkan perhitungan kasar, setidaknya ada 300 juta lebih penutur Bahasa Indonesia di seluruh dunia. Mereka tidak hanya para pekerja migran Indonesia, pelajar, dan wisatawan Indonesia yang sedang berada di luar negeri, tetapi juga warga asing yang secara khusus mempelajari Bahasa Indonesia, baik secara formal akademis di sekolah dan universitas maupun secara informal di Pusat Kebudayaan Indonesia yang dikelola Perwakilan Indonesia di luar negeri.
ADVERTISEMENT
Tercatat ada 7 universitas terkemuka di luar negeri yang menawarkan program studi Bahasa Indonesia, yakni: Yale University (Amerika Serikat), University of Hawaii at Manoa (Hawaii, Amerika Serikat), University of Melbourne (Australia), Tokyo University for Foreign Studies (Jepang), Leiden University (Belanda), Hankook University of Foreign Studies (Korea), dan School of Oriental and African Studies (SOAS) University of London (Inggris).
Satu contoh menarik dari penggunaan bahasa Indonesia di luar negeri adalah peristiwa pelantikan Wali kota Somersworth, New York, di Amerika Serikat, Dana S. Hilliard, yang melakukan pembacaan Ikrar Setia (Pledge of Allegiance) dengan menggunakan Bahasa Indonesia pada 7 Januari 2016 lalu.
Bahasa Indonesia mudah dikuasai
Bahasa Indonesia dinilai oleh banyak penutur asing sebagai bahasa yang relatif mudah untuk dipelajari. Bahasa Indonesia dikenal sebagai bahasa dengan struktur tata bahasa yang sederhana dan memiliki daya serap kosa kata asing yang sangat kuat.
ADVERTISEMENT
Misalnya, singkatan ATM yang diambil dari Bahasa Inggris, Automatic Teller Machine, dialih bahasa menjadi Anjungan Tunai Mandiri dan tetap disingkat ATM.
Di samping itu, sebagian kosa kata bahasa Indonesia ternyata juga dapat ditemukan di dalam bahasa negara anggota ASEAN lainnya seperti kosa kata sakit, mahal, mata, langit, anak, dan payung yang juga dapat ditemui dalam bahasa Tagalog.
Sementara dengan Bahasa Thailand juga dapat ditemui kata kunci, kerbau, jambu, cakrawala, dewata, bayu, abang, aneka, dan bumi.
Laju perkembangan Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia mempunyai penyebaran geografis yang luas. Bahasa Melayu sebagai cikal bakal Bahasa Indonesia telah dituturkan sebagai bahasa nasional di empat negara anggota ASEAN, yakni Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, Bahasa Indonesia juga dipelajari di berbagai negara karena berbagai alasan dan kepentingan seperti pendidikan, peluang kerja, dan potensi hubungan bidang usaha.
Hal tersebut semestinya menggelitik rasa nasionalisme kita selaku Bangsa Indonesia. Bagaimana tidak, Bahasa Indonesia sebagai salah satu identitas bangsa, yang penggunaannya mulai tergerus oleh bahasa asing lain di kalangan generasi muda diperkotaan, ternyata dipakai secara luas di luar Indonesia. Ayo bangga berbahasa Indonesia!