Ibuku yang Bukan Ibuku

Ochi Amanaturrosyidah
Asisten Editor di kumparan
Konten dari Pengguna
14 September 2017 11:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ochi Amanaturrosyidah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dari sekian banyak pengalaman mistis, mungkin yang paling berkesan adalah pertemuanku dengan 'ibuku'. Kisah ini terjadi saat aku masih SD, di sebuah desa kecil dekat Pantai Parangtritis bernama Jogodayoh, Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
Rumahku sebenarnya merupakan --entah bakal atau bekas-- kelas di sebuah pondok pesantren putra. Dua 'kelas' yang menyambung menjadi satu dirombak bagian dalamnya, satu untuk rumah ayahku yang merupakan kepala sekolah, satu lagi ruang tidur bagi para santri yang seluruhnya pria.
Bangunan ini berdiri kokoh di tengah hutan. Ya, tidak salah baca. Hutan. Di belakang sejauh radius 300 meter terbentang hutan bambu, sebelah kanan hamparan sawah yang luasnya lebih dari 1 hektar yang dipisahkan dengan sungai kecil, bagian depannya merupakan hutan melinjo dengan samar-samar terlihat area kelas nun jauh di sana.
Yang paling seru, bagian kanan bangunan terhampar kuburan kuno yang konon merupakan kuburan terbesar di Jogja. Percayalah, jika kuburan ini diratakan menjadi stadion, mungkin besarnya lebih dari 4 lapangan bola. Kuburan, hutan, sungai dan sawah inilah yang menjadi area bermainku saat kecil selama tinggal di Jogodayoh, tak heran stok cerita mistisku tentu menumpuk.
ADVERTISEMENT
Cukup dengan deskripsi rumahku, kini kita beralih ke cerita inti. Bagian dalam rumahku hanya terdiri dari satu kamar mandi di ujung kiri, dan dua kamar yang dibuat dengan sekat bambu seadanya tanpa pintu. Malam itu, aku tengah bermain dengan salah seorang santri putri yang 'diekspor' --ingat, ini wilayah santri putra dimana radius 1km wanita hidup hanya ada aku dan ibuku-- untuk menemaniku. Adikku yang masih bayi sudah tidur, ayahku belum pulang, dan ibuku tengah melakukan hobinya: mandi.
"Umi, coba lihat gambarku!" pekikku saat melihat ibuku, yang mengenakan daster merah, berjalan keluar dari arah kamar mandi.
Biasanya, paling tidak ia akan bereaksi. Namun dia diam saja, hanya berhenti sejenak di depan pintu kamar --yang tanpa daun pintu--. Ia berhenti cukup lama hingga membuatku kesal karena merasa dihiraukan. Ketika kuhampiri, ia kembali berjalan lurus.
ADVERTISEMENT
Aku terus mengoceh di belakangnya, namun tak sekalipun ia menengok atau menjawab. Langkahku kemudian terhenti saat ibuku menembus tembok.
Ya, menembus tembok! Tembok ini adalah satu-satunya pembatas antara rumahku dengan area kuburan.
"Lah, kamu ngapain nempel di tembok gitu?" tanya suara yang sangat ku kenal dari arah belakang.
Ibuku, yang asli, baru keluar dari kamar mandi. Rambutnya basah, dan dasternya berwarna ungu. Wajahnya lebih 'hidup' menatapku dengan heran.
"Lah, tadi bukannya...."
Ah, sudahlah. Aku paham, 'ibuku' yang tadi sepertinya hanya satu dari ribuan penghuni 'komplek' sebelah yang mungkin numpang lewat.
Penampakan-penampakan seperti ini sebenarnya hal yang lumrah. Apalagi, aku (dan warga sekitar lainnya) sering mendengar atau sekilas merasakan aura 'pesta' yang di gelar di area rumahku meski pada kenyataannya, tidak ada manusia di sekitar situ. Tak jarang, para seniman, biduan atau catering lokal juga dipesan untuk dibawa ke alam mereka untuk ikut membantu hajatan.
ADVERTISEMENT
Tapi dari sekian banyak yang kutemui, hanya satu sih yang kurang ajar menjelma menjadi ibuku.