Belajar dari COVID-19 (2)

Amanda Setiorini W.
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Krisnadwipayana, Mahasiswa S3 Ilmu Manajemen Universitas Negeri Jakarta
Konten dari Pengguna
19 Juni 2020 14:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Amanda Setiorini W. tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Work From Home (WFH)
Meskipun sudah lama kita tahu bahwa beberapa jenis pekerjaan dapat dilakukan dari rumah, kalau bukan karena COVID-19, kita tidak akan pernah melakukannya--dengan penuh kesadaran. Sejak WFH pertengahan Maret lalu, apa yang dirasakan?
ADVERTISEMENT
Bagi mereka yang melaju dari pinggiran Jakarta setiap hari, 2-3 jam sekali jalan--dua kali sehari, yang jelas adalah penghematan waktu. Dan, penghematan tenaga. Kok tenaga? Iya, dalam perjalanan selama 2 jam, entah itu mengemudi atau tidak, ternyata menguras tenaga kita. Buktinya, dengan menghemat waktu dan tenaga, selama WFH banyak yang punya waktu untuk memikirkan dan melakukan hal lain. Misalnya, jadi punya waktu untuk memikirkan menu masakan, untuk menata ulang dekorasi di rumah, untuk melakukan hobi, dan lain-lain.
WFH menimbulkan kesulitan tersendiri karena beberapa hal. Pertama, jenis pekerjaan. Harus diakui bahwa tidak semua pekerjaan dapat dilakukan dari rumah. Kedua, kondisi rumah. Tidak banyak yang siap dengan sebuah ruang di rumahnya yang khusus untuk bekerja atau belajar. Kita mengandalkan ruang-ruang yang ada: ruang tamu, ruang keluarga, atau paling tidak di kamar. Maka, tidak heran video conference dengan kantor atau dengan kampus kerap dihiasi dengan anak yang berjumpalitan atau dengan suara keributan sebagai latar belakangnya.
ADVERTISEMENT
Ketiga, jaringan internet. WFH selama beberapa bulan ini adalah indikator kuat mengenai kebutuhan jaringan internet yang terjangkau dan stabil. Karenanya, menurut saya ini adalah peluang yang cukup baik bagi penyedia internet di Indonesia.
Mengambil Manfaat Pandemi Ini
Cobalah berhitung bukan hanya apa yang tidak bisa kita lakukan selama WFH--main ke mal, rumpi dengan teman, arisan, dll--tetapi juga apa yang bisa kita lakukan selama WFH. Kalau saya, terhitung sejak 16 Maret, selain mengajar rutin saya juga bisa menyelesaikan buku travelling kedua, mulai mengerjakan proposal disertasi, menata ruang kerja, menghias rumah dengan bunga, berkebun, membaca buku, memasak--walaupun tidak bisa diharapkan setiap hari, dan olahraga. Nah, banyak bukan yang masih dapat dikerjakan?
ADVERTISEMENT
Saya justru merasa masih kurang waktu kalau melihat mahasiswa saya sempat mengunggah aneka cara make up dan mempromosikan aneka masker setiap beberapa hari sekali. Saya kok WFH 2 bulan lebih bahkan tidak sempat maskeran, ya? Saya tidak mengalami masalah dengan WFH dan bukannya kekurangan kegiatan selama ini. Tetapi memang, kebiasaan nongkrong dan bersosialisasi di mal yang tidak dapat dilakukan, dan karena sehari-harinya berada di rumah, bisa saja kemudian menjadi sedikit depresi dan lebih mudah emosi. Menurut ilmu saya, hal itu wajar terjadi, kok.
Supaya tidak cepat emosi, kita harus mencari cara cerdas untuk memanfaatkan waktu selama pandemi ini. Rebahan lebih dari satu bulan juga tidak baik bagi kondisi fisik kita. Seorang teman menyarankan untuk mengikuti berbagai seminar daring. Saya sangat setuju dan sudah mencoba berbagai cara untuk mengikuti kegiatan tersebut. Jika tergolong milenial yang akrab dengan berbagai aplikasi, cobalah Ngampooz, QuBisa, atau Great Course Plus. Kita bisa menemukan berbagai seminar menarik. Banyak yang gratis, pula.
ADVERTISEMENT
Tapi seandainya pun berbayar, menurut saya juga tidak masalah. Toh, kita memang mendapat ilmu atau wawasan baru. Menurut pengalaman saya, biayanya tidak akan terlalu mahal, kok. Tidak semuanya bisa gratis, bukan?
Yang penting, pada masa dimana kita menghentikan banyak kegiatan seperti sekarang, jangan sampai kita tidak berbuat apa-apa. Pada akhirnya, diri sendiri yang rugi. Ketika saatnya kembali beraktivitas--meskipun dengan kondisi new normal--kita tidak bertambah kemampuan sedikitpun sementara orang lain sudah mengembangkan diri melalui berbagai cara belajar selama pandemi.
Yakin, kita tidak mau menjadi lebih baik daripada sebelum pandemi?