Belajar dari PLN (3)

Amanda Setiorini W.
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Krisnadwipayana, Mahasiswa S3 Ilmu Manajemen Universitas Negeri Jakarta
Konten dari Pengguna
7 Agustus 2019 23:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Amanda Setiorini W. tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Layanan Profesional
Sampai hari ini masih banyak yang membicarakan soal betapa tidak berempatinya respons PLN terhadap kejadian itu. Respons pertama yang beredar adalah PLN meminta masyarakat mengikhlaskan. Membaca judul yang diangkat oleh salah satu portal berita itu segera membuat orang bertanya-tanya, "Apa maksudnya, nih?" Sudah merugikan banyak orang, lalu orang-orang tersebut diminta untuk mengikhlaskan kerugian yang mereka alami. Kesan hendak melempar tanggung jawab segera mencuat.
ADVERTISEMENT
Setelah itu beredar kabar mengenai ketidakmampuan PLT Direktur Utama PLN dalam memberikan keterangan di hadapan Presiden. Sehari kemudian, beredar lagi informasi dari PLN bahwa gangguan yang terjadi diakibatkan oleh pohon sengon--entah bagaimana bisa mengakibatkan gangguan pada menara SUTET yang tingginya mencapai puluhan meter. Masyarakat dibuat geleng-geleng kepala dengan penjelasan yang tidak masuk akal ini. Sungguh tidak profesional.
Tampaknya PLN masih belum bisa menyikapi perkembangan teknologi informasi. Informasi yang beredar tidak disusun dan disiapkan dengan baik, kemudian dibiarkan menjadi bola liar yang merugikan PLN itu sendiri. Bagaimana ketidaksiapan ini dijelaskan?
Pertama, sekarang adalah era informasi dimana masyarakat sudah terbiasa dengan transparansi. Jika ada masalah, apalagi seperti listrik padam massal kemarin, jelaskan saja secara gamblang. Maksudnya, dengan bahasa yang mudah dimengerti orang awam. Tidak perlu penjelasan teknis yang berbelit-belit, toh tidak semua orang paham bedanya SUTET, SUTT, SUTM, dan SUTR. Istilahnya mungkin paham. Tetapi cara kerja, dampak, dan pengaturannya kan tidak mungkin dipahami setiap orang. Jadi, buatlah informasi yang mudah dicerna.
ADVERTISEMENT
Karenanya informasi harus disiapkan dengan benar. Bukan asal bicara, apalagi jika disampaikan oleh orang-orang yang secara fisik dan emosi sudah lelah mengurusi kekacauan ini. Kehumasan PLN juga tampaknya tidak memiliki manajemen krisis yang baik. Siapa, apa, dan bagaimana harus bicara, tidak disiapkan sehingga informasinya berantakan.
Kedua, informasi digital bisa menjadi viral dengan cepat, bahkan dalam kondisi mati listrik sekalipun. PLN tidak menyadari bahwa informasi yang bergerak cepat ini harus dikelola. Jika ada pernyataan yang keliru, harus segera disikapi, jangan sampai merusak nama PLN sendiri.
Selain itu, di era teknologi informasi ini masyarakat perlu diinformasikan mengenai perkembangan kondisi yang terjadi. Misalnya, gardu mana saja yang sedang diperbaiki dan apa hasilnya. Bayangkan saja ketika kita membeli barang secara online. Bukankah kita bisa melihat prosesnya? Misalnya, pembayaran diproses pukul 10, pembayaran diverifikasi pukul 11, pesanan diteruskan ke penjual pukul 12, dan seterusnya. Jadi masyarakat tidak bertanya-tanya dan mendapatkan informasi yang keliru.
ADVERTISEMENT
Sumber informasi harus dijaga, karena memang beginilah cara kerja di zaman ini. Untuk dapat melakukan hal ini, kita harus bekerja secara profesional. Harus tahu betul mengenai bagiannya masing-masing. Memang, listrik adalah urusan teknis, maka orang teknis PLN harus menyampaikan dengan jelas apa masalahnya. Kalau untuk menghadapi masyarakat awam, orang humas PLN-lah yang harus mengatur informasinya.
Sumber Energi Terbarukan
Mengapa kita semua masih sangat tergantung dengan PLN? Jawabannya karena kita terlambat mengembangkan sumber energi terbarukan. Bayangkan jika kemarin kita sudah punya alternatif lain. Atau, begini saja. Bayangkan jika pengguna energi yang besar, seperti MRT, commuter line, pusat perbelanjaan, dan fasilitas penerangan jalan telah menggunakan--misalnya--panel surya. Listrik dari PLN mengalami masalah tentu bukan hambatan untuk tetap beraktivitas.
ADVERTISEMENT
Terutama untuk layanan publik, bergantung pada listrik dari PLN saja adalah tindakan yang mengabaikan keberlanjutan. Sudah jelas bahwa PLN masih tidak mampu memenuhi kebutuhan listrik Indonesia. Masih ditargetkan untuk mampu menyediakan puluhan ribu kilowatt yang entah sampai dimana pengembangannya. Mengapa masih bergantung pada PLN?
Indonesia adalah negara yang kaya sumber energi dari alam, termasuk angin dan panas matahari. Tetapi bertahun-tahun kita mengabaikan hal itu dan tetap bergantung pada batubara yang didatangkan dari pulau lain dengan biaya materil dan non-materil yang tidak sedikit. Bukankah kita punya banyak orang pandai untuk mengembangkan sumber energi itu?
Secara sentralisasi, artinya dari pusat, pemerintah sudah membangun pembangkit listrik tenaga angin di Sulawesi Selatan. Seharusnya dibangun lagi pembangkit listrik dari sumber daya alam lainnya di pulau-pulau lain. Tetapi, Indonesia kan memang negara besar. Membangun seluruh Indonesia hanya mengandalkan pemerintah pusat, ibarat mengantre dokter spesialis yang terkenal: antreannya panjang dan harus menunggu lama.
ADVERTISEMENT
Akan lebih baik jika setiap daerah, setiap pulau, dan setiap lembaga memberdayakan diri sendiri. Misalnya, setiap pusat perbelanjaan memasang panel surya sendiri. Dengan demikian ia akan lebih mandiri dan turut serta membantu penyaluran listrik kepada pihak-pihak yang lebih membutuhkan. Bagaimana supaya mereka mau memasang panel surya? Salah satunya melalui aturan pemerintah pusat atau daerah. Misalnya, pusat perbelanjaan yang mulai dibangun pada tahun ini sudah harus menyediakan sendiri listriknya melalui panel surya. Lalu, pusat perbelanjaan yang berusia X tahun (atau beromset X miliar, atau dengan beban listrik X kilowatt, atau standar apapun yang dapat diterapkan) harus memiliki panel surya sendiri dalam 5 tahun.
Terutama, yang harus mandiri adalah layanan publik. Tidak ada lagi MRT berhenti di tengah terowongan dan penumpangnya berjalan menyusuri rel bawah tanah. Tidak ada lagi penumpang KRL yang tertidur di dalam gerbong karena keretanya berhenti di tengah hutan. Bagaimana Indonesia mau menggunakan mobil listrik kalau pasokan listriknya tidak terjamin?
ADVERTISEMENT
TAMAT