COVID-19 dan Manajemen Perubahan (2)

Amanda Setiorini W.
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Krisnadwipayana, Mahasiswa S3 Ilmu Manajemen Universitas Negeri Jakarta
Konten dari Pengguna
29 Mei 2020 18:35 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Amanda Setiorini W. tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Masalah Layanan Kesehatan
Masalah kedua adalah pengobatan terhadap yang sakit. Sebelumnya perlu dipahami dahulu bahwa tidak semua orang yang kena virus akan sakit. Beberapa orang yang daya tahan tubuhnya bagus, mungkin tidak sakit meskipun ada virus dalam tubuhnya. Beberapa sudah dikategorikan sakit, tetapi tidak menunjukkan gejala--yang dikenal sebagai OTG, orang tanpa gejala. Lalu yang sakit, dibedakan pula atas sakit parah dan tidak. Nah, sebenarnya yang harus dirawat adalah mereka yang sakit parah. Yang sakitnya tidak parah, cukup isolasi mandiri di rumah.
ADVERTISEMENT
Lalu, apa masalahnya di sini? Pertama, alat tes sangat terbatas, kalaupun ada harganya sering kali tidak terjangkau bagi kebanyakan orang. Hal ini membuat tes sulit dilakukan dan kita tidak tahu, siapa diantara kita yang sakit. Padahal, identifikasi orang sakit dan tidak akan sangat mempermudah perawatan yang diberikan, lho.
Masalah berikut adalah pada orang yang sakit tetapi tidak parah. Seharusnya tidak perlu dirawat, isolasi mandiri di rumah sudah cukup. Tapi itu berarti orang tersebut tidak boleh kemana-mana. Jangan pula pergi ke warung untuk membeli makan. Itu berarti orang-orang di sekitarnya perlu membantu menyediakan makanan bagi si sakit di rumahnya. Jangan kemudian dibiarkan saja atau malah ditakuti, sehingga si sakit malah menjadi kelaparan.
ADVERTISEMENT
Lalu, perlu ada juga pantauan medis ke rumah si sakit. Dokter atau unit kesehatan setempat perlu memeriksakan keadaan si sakit secara berkala. Isolasi bukan berarti si sakit dianggap tidak ada, tetapi dibatasi ruang geraknya agar tidak menyebarkan virus. Tetapi sebagai manusia, tentu saja si sakit harus mendapatkan haknya, yaitu perawatan kesehatan.
Yang ada saat ini, orang yang sakitnya tidak parah juga dikumpulkan di rumah sakit karena lingkungan di sekitar rumahnya tidak mampu menyediakan dukungan seperti dijelaskan di atas. Padahal, dengan memasukkan orang yang sakitnya tidak parah ke rumah sakit, berarti kita memberi beban tambahan kepada rumah sakit yang seharusnya fokus pada orang-orang yang sakitnya parah. Ini yang membuat tenaga kesehatan kita keteteran.
ADVERTISEMENT
Belum lagi, yang sakit parah pun rewel. Termasuk yang ngotot ingin pulang karena kesepian dan alasan-alasan lain. Betul, sakit apa pun tidak ada yang enak. Oleh karena itu, pepatah lama masih berlaku: lebih baik mencegah daripada mengobati. Jadi, kalau sudah sakit, ya harus terima risikonya. Lakukan perawatan sampai sembuh, supaya tidak menyebarkan penyakit kepada orang lain. Jangan egois, orang sakit tidak punya pilihan kecuali untuk sembuh.
COVID-19, Driver of Change
Pembelajaran di atas adalah yang setidaknya saya dapati selama hampir 3 bulan ini. Orang lain bisa saja mendapatkan pembelajaran yang lebih banyak maupun lebih sedikit. Tetapi yang jelas, pembelajaran ini membuka wawasan kita. Segala hal yang tadinya kita anggap tidak dapat dilakukan, ternyata bisa.
ADVERTISEMENT
Bekerja dari rumah, sudah lama bisa dilakukan, terutama pada beberapa jenis pekerjaan. Tetapi, selama ini kita selalu saja mencari alasan untuk tidak melakukannya. Tidak dapat mengontrol kinerja karyawan atau kecemasan akan target yang tidak tercapai, adalah sedikit alasan mengapa kita dulu tidak membolehkan karyawan bekerja dari rumah. Maka, setiap jam berangkat dan pulang kerja, lalu lintas dijejali oleh berbagai jenis moda transportasi yang membawa pekerja dari rumah ke kantor, bertemu klien, hingga nanti kembali ke rumah. Waktu dan energi yang terbuang amat banyak.
Sekarang, tanpa banyak alasan, pekerjaan dilakukan dari rumah. Ada yang secara langsung dengan menggunakan jaringan internet, ada yang belum langsung. Artinya, dalam jangka waktu tertentu, si karyawan tetap harus ke kantor untuk mengambil dan menyerahkan hasil kerjanya. Apapun itu, ternyata bekerja dari rumah sangat mungkin dilakukan.
ADVERTISEMENT
Belajar jarak jauh juga dahulu terkesan meragukan. Benarkah kualitasnya sama dengan mereka yang belajar secara langsung di kelas. Universitas Terbuka harus menjamin bahwa lulusannya siap bekerja, bukan hanya sekadar memiliki ijazah. Program pendidikan jarak jauh dengan luar negeri tidak dianggap serius. Semuanya karena kekhawatiran kualitasnya tidak sebaik mereka yang belajar secara offline di kelas.
Sekarang, tanpa banyak pertimbangan lagi, semua kegiatan pendidikan tinggi dilakukan jarak jauh--bahkan langsung turun hingga pendidikan atas, menengah, dan dasar. Seorang teman yang memiliki anak yang belajar di PAUD pun tak kalah hebohnya dalam menyiapkan alat dan bahan untuk kegiatan belajar dari rumah seperti yang disarankan oleh pihak PAUD-nya.
Pengajian, arisan, reuni, atau apapun kegiatan yang tadinya harus dilakukan secara fisik, sekarang dilakukan secara daring. Dan, ternyata bisa. Pengajian bisa sama-sama daring, arisan juga demikian. Silaturahmi saat Idul Fitri tahun ini dilakukan lewat aplikasi video conference. Bahkan pertunjukan orkestra pun dapat dilakukan secara daring. Ini sangat hebat, bukan? Artinya, ritme dan temponya bisa disamakan pada seluruh alat yang digunakan, dan hal ini berarti jaringan internet terkoneksi dengan stabil.
ADVERTISEMENT
Jadi, ternyata COVID-19 adalah pemicu perubahan yang berhasil memaksa kita berpikir out of tradition--di luar kebiasaan. Segala perubahan yang kita rasakan sekarang, sudah coba dilakukan sejak setidaknya satu dekade lalu. Dan, gagal. Tapi hanya dalam beberapa bulan, COVID-19 berhasil memaksa kita berubah. Kita sekarang memiliki standar hidup baru.
Next:
COVID-19 dan Manajemen Perubahan (3): The New Normal https://s.id/iClSw