Sragentina ke Senoparty

Sepanjang tinggal di perbatasan Solo-Boyolali, saya masih merasa keki jika ditanya, “Dari mana?” Biasanya, saya menjawab singkat “Solo” dengan pertimbangan penanya lebih karib mendengar “Solo” daripada “Boyolali”. Saya selalu berharap pertanyaan singkat tadi tidak berbuntut pertanyaan berkelanjutan, “Solo-nya mana?” Nah kan! Saya tidak diselimuti ilusi bahwa menjadi warga “kota” lebih bergengsi daripada menjadi warga “kabupaten”. Bahwa Boyolali baru saja punya gerai es krim Mixue pertamanya di Pandanaran dan Solo punya es krim legendaris Es Krim Tentrem sejak 1952 adalah dua hal yang tidak etis dibandingkan.

Mobilitas sehari-hari saya—berjalan di mal, mendatangi toko buku, terkadang bekerja, makan krim sup keiefci, dan bertemu teman—memang nyaris selalu terjadi di Solo. Meski secara administratif sah menjadi warga Kabupaten Boyolali, saya sering berkelakar dengan serius bahwa saya menyambangi pusat Kota Boyolali dan sekitarnya hanya sekali dalam lima tahun, yaitu ketika memperpanjang Surat Izin Mengemudi (SIM). Sekarang perpanjangan SIM bisa dilakukan secara daring (saya harus menciptakan kelakar geografis pengganti mulai sekarang).

“Boyolali” adalah istilah dalam kertas; kartu keluarga, KTP, SIM. Meski sewaktu kecil ketika diajak bapak ke sana untuk membayar pajak atau mengurus surat-surat penting, saya selalu menyukai trotoar dan pohon-pohon besar di dua sisi jalan yang membentuk seolah lorong. Inilah “Boyolali” yang menetap dalam ingatan masa kecil saya—jelmaan mutlak dari empat suku kata yang selalu saya hadapi dalam kertas-kertas administratif.