Di Pulau Ay, Toleransi Tak Pernah Mati

Konten Media Partner
6 Desember 2018 18:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Di Pulau Ay, Toleransi Tak Pernah Mati
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Umat Islam dan Kristen hidup berdampingan dengan damai di Pulau Ay, Maluku Tengah. Ketika konflik komunal mencabik Ambon, warga pulau kecil itu saling melindungi.
ADVERTISEMENT
Ambon - Orang-orang berdiri melingkari sebilah bambu yang tertancap di tengah hamparan pasir putih Pantai Pulau Ay, Maluku Tengah pada Selasa (13/11) lalu. Sembari menunduk, di tengah suara deburan ombak, mereka mengamini doa penutupan ritual Sasi Laut yang dipimpin tokoh Kristen setempat, Malok Gimsel.
Beberapa jam sebelumnya, warga Pulau Ay juga memanjatkan doa memohon keselamatan sebagai pembukaan ritual yang dipimpin Ustaz Abu Bakar. Gubernur Maluku, Said Assagaf, dan beberapa pejabat pemerintahan di Banda berada di barisan depan lingkaran orang yang mendaras doa.
Di belakang pejabat dan para tokoh masyarakat itu, tampak perempuan berkerudung, lelaki berpeci hitam, dan orang-orang dengan kain putih di kepala. Siang itu, warga yang beragama Islam ataupun Kristen berbaur tanpa sekat satu sama lain. Mereka juga sama-sama mengamini doa yang dipimpin dua tokoh agama yang berbeda.
ADVERTISEMENT
“Kami terbiasa hidup berdampingan secara damai,” kata Misran Ali, salah satu warga Pulau Ay ketika berbincang dengan Ambonnesia.
Sasi Laut merupakan upacara adat warga Ay untuk meneguhkan larangan mengambil ikan dan tumbuhan laut tertentu, demi melestarikan dan menjaga populasinya. Kearifan lokal itu telah dijaga secara turun-temurun. Warga Pulau Ay selalu menyambut tradisi empat tahunan di desanya itu dengan sukacita.
Semua persiapan upacara Sasi Laut dikerjakan secara bergotong royong. Laki-laki Kristen umumnya mendapat tugas mengambil kayu di hutan. Sementara ibu-ibu Muslim biasanya bertugas menyiapkan makanan di kampung-kampung.
“Kemarin, warga ramai-ramai pikul kayu bawa turun ke situ,” kata Misran sambil menunjuk salah satu rumah milik warga yang dijadikan tempat memasak.
ADVERTISEMENT
Bagi warga Ay, merawat persaudaraan antar umat Kristen dan Muslim sama pentingnya dengan menjaga negeri atau desa. Tak hanya urusan upacara adat, dalam membangun tempat ibadah, baik masjid ataupun gereja, warga Ay kompak saling membantu secara sukarela.
“Waktu renovasi bangunan masjid, beberapa orang Kristen ikut. Dulu, waktu gereja terbakar, kami yang bantu membangunnya kembali,” ungkapnya.
Persaudaraan antar umat berbeda agama di Pulau Ay tak lekang termakan waktu. Bahkan, konflik komunal berkepanjangan yang meletup pada 1999 pun tak menggerus persaudaraan itu. Padahal, konflik antar umat beragama yang semula meledak di Kota Ambon kala itu sempat merambat ke wilayah lain, termasuk Kepulauan Banda.
Kepulauan Banda merupakan gugusan lima pulau kecil di sebelah timur Kota Ambon, dengan jarak perjalanan laut sekitar delapan jam menggunakan kapal cepat. Di wilayah Kepulauan Banda ada Pulau Run, Banda Besar, Hatta, Syahrir, dan Ay.
ADVERTISEMENT
Dari Neira, ibu kota Kecamatan Banda, perjalanan menuju Pulau Ay memakan waktu 1 jam 30 menit dengan menggunakan speed boat. Orang Banda menyebutnya 'Pok-pok'.
Di Kota Ambon, warga Muslim dan Kristen hingga kini masih terbelah. Sejak konflik meledak, mereka tinggal di permukiman yang terpisah. Namun, lain lagi ceritanya dengan warga Pulau Ay. Di pulau ini, warga Muslim yang mayoritas masih membaur dengan warga Kristen yang minoritas.
Ketika konflik dan provokasi merembet ke Pulau Ay, warga Muslim di sana kompak melindungi warga Kristen. Yusuf Madja, yang kala itu menjadi Raja di Pulau Ay, masih mengingat dengan jelas peristiwa konflik itu. Dia menceritakan, ketika orang-orang Kristen mulai keluar dari Neira, provokasi pun mulai masuk ke Pulau Ay.
ADVERTISEMENT
“Waktu itu, saya perintahkan warga untuk mengamankan orang Kristen,” kata Yusuf.
Selama beberapa jam, sekitar 50 keluarga Kristen sempat berlindung di rumah Yusuf Madja. Namun, rumah berukuran 13 x 26 itu meter tak cukup menampung orang sebanyak itu. Yusuf dan warga Ay lain mengungsikan mereka ke dalam hutan melalui jalan belakang desa.
“Warga mengantar orang-orang Kristen ke hutan supaya mereka tetap aman,” kata mantan Raja Pulau Ay itu.
Satu jam sebelum orang Kristen masuk ke dalam hutan, api melalap satu-satunya gereja di Pulau Ay. Gereja hangus ketika listrik padam. Kini, yang tersisa hanya gapura bergaya Portugis di pintu jalan masuk gereja itu yang masih berdiri. “Di situ dulu ada Gereja. Ini sisa gapuranya saja,” tutur Yusuf.
ADVERTISEMENT
Sampai kini, Yusuf tak tahu siapa dalang di balik pembakaran gereja itu. “Kami tidak mau ingat masa lalu itu,” kata dia.
Di tengah pemukiman warga, sekitar 500 meter dari dermaga, kini berdiri kokoh Gereja Imanuel. Sebelum menjadi gereja, bangunan di atas tanah seluas 19 x 7 meter itu kerap digunakan sebagai tempat bimbingan umat Kristen.
Warga Ay kemudian bersepakat membangun gereja definitif. “Ini warga yang bersepakat untuk bangun,” kata Pendeta Arthuro Seiteraya.
Di Pulau Ay, Toleransi Tak Pernah Mati (1)
zoom-in-whitePerbesar
Pendeta Arthuro Seiteraya juga bercerita bagaimana warga Pulau Ay, baik yang Muslim maupun yang Kristen, menyambut dengan hangat ketika dia pertama kali menginjakkan kaki di Pulau Ay dua tahun lalu.
“Penerimaan warga kepada saya begitu baik. Saya sempat bingung juga,” kata Koordinator Pendeta Banda itu.
ADVERTISEMENT
Pendeta Arthuro belum menetap di Pulau Ay. Sebab, bangunan Pastori belum lama mulai dikerjakan. Lokasinya tepat bersebelahan dengan Gereja Imanuel.
“Pastori baru dibangun, makanya saya bolak-balik Neira setiap minggu,” katanya.
Meski begitu, di desa Ay dengan mayoritas penduduk beragama Islam, Pendeta Arthuro Seiteraya telah sering diundang menghadiri acara sunatan dan akikah keluarga Muslim.
Menurut Arthuro, atmosfer kerukunan di Pulau Ay lebih terasa pada waktu perayaan Natal dan Idul Fitri. Menjelang hari Natal, Arthuro dan warga Kristen lainnya selalu mendapat kiriman kue dari warga Muslim. Begitu pula ketika perayaan Idul Fitri.
“Pemberian kecil, tapi bermakna besar,” kata dia.
Tradisi berbagi kue pada hari raya rupanya sudah berlangsung cukup lama. Tradisi itu dipelihara untuk memupuk toleransi dan menjaga persaudaraan. “Dari sejak nene dan tete dolo-dolo (kakek dan nenek dulu-dulu), kami sudah saling jaga,” katanya
ADVERTISEMENT
(Khairiyah Fitri)