Mengenal Tradisi Leka-Leka Wae Seruan Buka Puasa di Hila Maluku Tengah

Konten Media Partner
14 Juni 2018 18:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Masjid Rakyat (Foto: Reuters/Dylan Martinez)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Masjid Rakyat (Foto: Reuters/Dylan Martinez)
ADVERTISEMENT
Leka wae antuni magarib aholo tum puka e
Ambon,- Setiap sore jelang berbuka puasa selama bulan Ramadan sajak itu bergema di Masjid. Pelantunnya adalah anak-anak. Mereka akan berhenti melantunkan setelah sang imam menabuh beduk, pertanda buka puasa.
ADVERTISEMENT
Fragmen di atas, jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia, berbunyi “Cepat-cepat sudah pukul beduk tanda magrib, kita berbuka puasa”
Seruan leka-leka wae hanya dimiliki masyarakat di Negeri Hila. Salah satu negeri yang terletak di sebelah utara Pulau Ambon, Maluku. Hila, kampung yang sempat didiami ilmuwan Georg Everhard Rumphius.
Tokoh adat di Hila belum dapat menyimpulkan, tahun berapa seruan berbuka puasa itu muncul. Salah satu tradisi yang ditinggalkan para leluhur di Negeri Hila sejak zaman baheula. Jangan biarkan ia rebah rempah.
Abdul Rasyid (58), mengatakan, semua orang Hila mengetahui lagu leka-leka wae. Menurut tokoh adat Negeri Hila, Kabupaten Maluku Tengah ini, siapa tidak menghafal lagu itu, semasa kecilnya tidak tinggal di Hila.
ADVERTISEMENT
Uniknya, para punggawa leka-leka wae bukan dari anak-anak yang dipilih khusus. Tidak pula dari mereka pemilik suara merdu. Mereka datang ke masjid tanpa dipanggil. Tidak diharuskan bergamis. Kaus oblong pun jadi, asalkan bersih dan rapi.
Masjid Hasan Soleman jadi titik kumpul. Para punggawa berkumpul sejak pukul 18.00 WIT. Di depan masjid yang berada di tengah-tengah desa itu, para bocah serempak menyerukan leka-leka wae berkali-kali.
Usai leka-leka wae menggema sampai bunyi beduk, anak-anak itu lantas menanggalkan pelataran masjid disertai wajah gembira mereka berlari menuju rumah. Tak peduli ada yang terjatuh. Mereka memburu menu batal sambil berteriak, “Sudah puka” atau sudah buka puasa.
Sekalipun terjatuh, semangat mereka tak bergeming. Mereka akan melakukannya lagi selama sebulan penuh. Tradisi “Leka-leka Wae”, sudah mandarah daging di masyarakat Hila. Untuk itu, mereka tetap merawat tradisi titipan leluhurnya. Mereka percaya menjaga tradisi adalah dengan jalan melestarikannya.
ADVERTISEMENT
Menurut Rasyid, meski lagu dan cara pertunjukannya terlihat sederhana, tetapi tradisi itu tentu memiliki nilai tersendiri. Nilai itu yang dipikirkan para pendahulu jauh sebelumnya. Ia berharap generasi berikutnya harus melestarikan tradisi turun-temurun ini.
“Budaya adalah jati diri. Hilang budaya berarti hilang jati diri,” kata Rasyid. “Sebab ‘Leka-leka Wae’ adalah tradisi yang hanya dimiliki oleh masyarakat Negeri Hiala,” tuturnya.
(Jahra Ely)