Dedi Mulyadi Seorang Pemimpin Bermental “Inlander”?, Serius Loh?

Konten dari Pengguna
17 Agustus 2017 15:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aming Soedrajat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saya tidak sependapat saat Dedi Mulyadi disebut sebagai orang yang memihak kepada Belanda dan memiliki mentalitas “inlander” sebagaimana analisis yang dikemukakan oleh DR Syahganda Nainggolan dalam artikel yang diterbitkan pagi ini.
ADVERTISEMENT
Dalam darah pria yang kini menjabat sebagai Bupati Purwakarta untuk periode yang kedua tersebut. Bahkan, ia digadang sebagai pengganti kuat Gubernur Jawa Barat saat ini, Ahmad Heryawan karena diusung oleh dua partai besar berbasis Nasionalis yakni Golkar dan PDIP, mengalir darah pejuang karena ayahnya pernah menjadi korban mata-mata Belanda dan Jepang.
Salah satu media, memang pernah menerbitkan sebuah berita yang boleh jadi dipandang sebagai usulan dari Dedi Mulyadi untuk berterima kasih kepada Belanda. Tetapi, haruslah kita arif saat kutipan media itu dibuat, berada dalam konteks dan situasi seperti apa.
Sepanjang yang saya tahu, sebab saya hadir saat Dedi Mulyadi membandingkan situasi kekinian dan masa lalu dalam pidato pengukuhan Paskibra 2017 di Purwakarta.
ADVERTISEMENT
Secara tegas, saya memandang hal tersebut sebagai otokritik dalam konteks dirinya pemimpin juga konteks para penyelenggara negara yang hari ini mengemban tanggung jawab besar untuk menjaga dan merawat aset bangsa baik berupa sumber daya alam maupun sumber daya yang lain.
Asas Sosialisme Sunda Milik Dedi Mulyadi
Sebagai orang yang memahami Peradaban Kesundaan, karena dirinya memang terlahir dari lingkungan yang “ngagem” (memegang teguh) nilai-nilai kesundaan itu dalam hidupnya. Saya memandang Dedi Mulyadi sebenarnya seorang sosialis. Dibandingkan dengan tuduhan pemimpin bermental “Inlander” sebagaimana yang dituduhkan. Tegas saya berada dalam posisi menggolongkannya ke dalam “Pemimpin Rakyat Jelata”.
Soal pengolahan sumber daya alam misalnya. Pada kesempatan yang lain, Dedi Mulyadi pernah menyampaikan bahwa “Leuweung Kudu Diawian” (Hutan harus ditanami bambu, pohon), “Lengkob Kudu Dibalongan” (Lembah harus diisi kolam atau danau) dan “Lebak Kudu Disawahan” (Daerah landai harus dijadikan area pertanian)
ADVERTISEMENT
Pengelolaan Hutan, Lembah dan Daerah landai ini seharusnya diserahkan kepada masyarakat adat setempat dengan melalui advokasi dari pemerintah. Ini dimaksudkan agar kepentingan profit yang berlebihan tidak memasuki ranah kerakyatan. Sehingga orientasi pemeliharaan tiga daerah ini menjadi pemeliharaan, bukan penggalian profit.
Trilogi pembangunan sebagai buah pikir orang Sunda inilah yang mendasari Dedi Mulyadi melakukan kritik terhadap kondisi hari ini. Saat hutan dibabat seenaknya tanpa memperhatikan upaya penghijauan kembali, saat sawah dan kebun hari ini bergeser menjadi “pohon beton” yang tidak memperhatikan asas pemerilaharaan lingkungan. Kondisi ini, menjadikan suasana kebatinan dirinya sebagai orang Jawa Barat kian resah.
Hari ini, orang Jawa Barat dihadapkan pada kenyataan, terkepung dari potensi bencana yang bisa terjadi kapan saja. Daerah-daerah yang seharusnya menjadi resapan air seperti Garut, Tasikmalaya, Ciamis dan daerah selatan lainnya, malah dijadikan area perkebunan komersial. Akibatnya, hutan-hutan kini berubah menjadi daerah lapang yang tidak lagi menjadi rumah bagi air.
ADVERTISEMENT
Implikasi selanjutnya adalah, Sungai Citarum yang bantarannya kian hari kian mengalami penyempitan, ditambah tumpukan sampah yang sudah tidak lagi terkendali menjadikan sungai terpanjang di Jawa Barat ini “lelah” menahan debit air. Maka, Daerah Aliran Sungai Citarum menjadi tidak ramah dan mengakibatkan bagian utara Jawa Barat turut mengalami musibah banjir.
Lemahnya Pemimpin Sebagai Regulator
Idealnya, Trilogi Pembangunan Tata Ruang yang digali dari kearifan orang Jawa Barat itu, sebagaimana Bung Karno menggali Pancasila dalam benak kehidupan kebangsaan penghuni Nusantara, sudah seharusnya diterjemahkan menjadi produk-produk regulasi oleh para pemimpin dalam berbagai tingkatan.
Dedi Mulyadi yang hari ini seolah berjuang sendirian dalam pengamalan falsafah keinginan masyarakat Jawa Barat memang menjadi musuh bagi segenap kepentingan yang tidak menginginkan asas itu diterjemahkan ke dalam produk kebijakan. Tentu saja ini berkaitan dengan “periuk nasi” para pengusaha yang selama ini mengandalkan eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan.
ADVERTISEMENT
Pidato Dedi Mulyadi ; Refleksi Sosialisme Kebangsaan
Mari sejenak kita telaah penggalan pidato Dedi Mulyadi pada saat pengukuhan Paskibra 2017 di Taman Maya Datar Purwakarta
“Indonesia adalah gadis kecil yang terus tumbuh dewasa, yang usianya hari ini mencapai 72 Tahun, sudah bukan gadis, tapi nenek tua.
Kalau nenek tua, berarti ada sawah yang besok dititipkan kepada anaknya ketika dia menjelang tiada, ada kebun yang dititipkan pada anaknya, ktika dia menjelang senja, ada hamparan laut yang dititipkan kepada anaknya ketika menjelang senja.
350 Tahun Indonesia dijajah oleh Belanda, masih ada yang tersisa, masih ada hamparan tanah yang begitu luas bahkan tanpa tuan, masih ada hamparan perkebunan yang terhampar dimana-mana, masih ada kelok jalan, masih ada rel kereta, masih ada irigasi yang umurnya ratusan tahun. Itu dibuat oleh Belanda yang kita caci maki ketika 17 Agustus sebagai penjajah yang memporak-porandakan kita.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan saya satu, 72 Tahun kita merdeka, masih adakah yang tersisa untuk anak cucu kita ke depan? Masih adakah minyak bumi yang masih tersisa? Masih adakah bijih besi yang masih tersisa? Masih adakah bijih nikel yang masih tersisa? Masih adakah bijih batu bara yang masih tersisa? Masih adakah hutan belantara yang masih tersisa? Masih adakah perkebunan-perkebunan luas yang masih tersisa? Masih adakah hamparan tanah negara yang masih tersisa? Masih adakah bangunan-bangunan kokoh seperti yang belanda buat yang masih tersisa? Masih adakah devisa negara yang masih bertumpuk dan masih tersisa?
Mari kita renungkan masih ada atau tidak? Kalau masih ada, berarti kita kedudukannya lebih tinggi dari Belanda. Kalau menyusut dan semakin sedikit, mari kita tanya pada diri, siapa penjajah yang sebenarnya?”
ADVERTISEMENT