Cak Imin Martir Politik NU

Konten dari Pengguna
31 Mei 2018 20:38 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari amiruddin zahri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Cak Imin Martir Politik NU
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Turis : “Who is Muhaimin?”
Pemandu Wisata : “Muhaimin Is Kandar!”
ADVERTISEMENT
Begitulah kelakar yang menjadi populer di kalangan warganet. Sosok Muhaimin Iskandar atau akrab dipanggil Cak Imin menjadi tren dalam beberapa bulan terakhir. Berbagai spanduk, baliho dan reklame tersebar di berbagai pelosok negeri sebagai Calon Wakil Presiden (Cawapres) 2019. Namanya mulai digaungkan dengan sebutan ‘Panglima Santri’. Tidak lagi menggunakan bahasa high context, tanpa tendeng aling-aling Cak Imin menyandingkan diri sebagai Cawapres Joko Widodo (Jokowi), Sang Petahana. Berbeda sekali dengan tokoh politik lain yang masih menjaga jarak atau ‘sembunyi tangan’ untuk dipinang Jokowi. Ibarat anak muda yang sedang kasmaran, hari-hari Cak Imin ini penuh kegembiraan, berbunga-bunga, riang menyapa semua kalangan, baik elit politik, tokoh adat, raja-raja, sampai berbaur dengan komunitas klub motor dan supporter sepakbola.
ADVERTISEMENT
Banyak pihak larut dalam kegembiraan Cak Imin yang bersafari mulai ujung barat hingga ujung timur Indonesia. Rasa lelah mungkin ada, tapi namanya orang sedang kasmaran, tidak peduli suara pedas para pengamat politik yang mencibirnya. JOIN, CINTA, KOPI, KOCAK, dan entah apalagi singkatan nama para relawan yang ikut larut dalam kasmaran nasional seorang Cak Imin. Orang bijak pernah berpesan, jangan melarang orang yang sedang jatuh cinta, pasti akan diterjangnya.
Namun, dibalik keriuhan Pencawapresan Cak Imin tersebut, ada peristiwa masa lalu yang menghantui perjalanan cinta Cak Imin. Setidaknya ada dua kenangan masa lalu yang terus ikut mengusik kemanapun Cak Imin melangkah. Pertama, kenangan konflik internal PKB 2009 antara Cak Imin dan putri Gus Dur, Yeni Wahid. Kelompok Gus Durian adalah yang paling kencang memunculkan kembali memori itu. Kedua, adalah kenangan tentang “Kardus Durian”, sebuah kasus korupsi di Kemenakertrans RI pada saat Cak Imin menjabat sebagai Menakertrans.
ADVERTISEMENT
Sebelum Cak Imin mendeklarasikan diri sebagai Cawapres, kedua kenangan itu relatif tenggelam. Namun, sejak 10 bulan terakhir ketika reklame Cak Imin sebagai Cawapres tersebar massive di seluruh Indonesia, kedua kenangan itu juga ikut massive dimunculkan kembali. Hal itu tercermin dari komentar-komentar warganet setiap ada unggahan berita tentang Cak Imin. Di group-group Whatsapp yang penulis ikuti, anak-anak muda yang mengatasnamakan Gus Durian selalu membully Cak Imin tentang dua hal tadi. Tak terkecuali, aksi demontrasi berhari-hari di depan Kantor DPP PKB yang meminta KPK memenjarakan Cak Imin.
Sebuah pertanyaan terlontar, tidakkah Cak Imin tahu resiko itu? Resiko dari sebuah keputusan yang sudah membangunkan kebencian sebagian orang dari peristiwa politik di masa lalunya? Menjadikan dirinya bahan nyinyiran dan bully-an nitizen di sosial media? Tidakkah Cak Imin sadar, bahwa pencalonannya sebagai wapres itu berdampak pada terusiknya nama baik dirinya, yang selanjutnya juga dapat beresiko pada citra masyarakat terhadap PKB. Kenapa Cak Imin memilih resiko itu? padahal dengan berdiam diri saja, suara PKB sudah dapat diamankan oleh para menterinya yang duduk di pemerintahan. Di tambah mesin partai dari anggota DPR RI yang terbilang memadai. Kalau mau duduk manis saja, minimal jabatan Menko ada di tangan Cak Imin. Istilah orang Jawa, langkah Cak Imin ini justru “ngundang molo” (mengundang luka).
ADVERTISEMENT
Di tengah ‘gempuran’ rekam jejak masa lalu Cak Imin tersebut, di sisi lain harapan Cak Imin untuk dapat bersanding dengan Jokowi, hingga saat ini juga masih belum mendapat jawaban yang pasti. Pernyataan cinta yang sudah diumumkan ke seluruh rakyat Indonesia masih sebatas puisi seorang pejungga pada gadis yang diidamkannya. Sementara, sang gadis hanya sesekali meliriknya sambil mengedipkan mata ke beberapa pemuda yang lain.
Lalu apa yang terjadi ketika nantinya Cak Imin tidak dipilih oleh Jokowi? Pertanyaan itu sudah banyak ditanyakan oleh pewarta dan para simpatisan di sosial media. Boleh saja, Cak Imin menjawab dengan santai bahwa dia akan patah hati, mengurung diri di dalam kamar dan tidur. Namun, apakah akan sesederhana itu? Roman cinta sudah menulis bahwa patah hati karena cinta ditolak itu sungguh berat, bahkan Dilan pun tidak sanggup. Dalam kasus ini, patah hatinya Cak Imin tidak hanya akan disaksikan oleh siswa satu ruang kelas, melainkan disaksikan seluruh rakyat Indonesia. Bisa jadi nanti akan ada meme patah hati nasional seperti ketika Raisa menikah dengan Hamis Daud. Sekarang ini, para nitizen sangat kreatif dan jago membuat meme-meme yang bikin nyesek di hati.
ADVERTISEMENT
Lagi-lagi muncul pertanyaan, sudahkah Cak Imin menghitung resiko itu semua? Damage cinta Cak Imin yang bertepuk sebelah tangan? Penulis ber-khusnudzon, Cak Imin sudah menghitung seluruh resiko itu. Buktinya, Cak Imin tidak mengendurkan langkah-langkahnya, bahkan bisa dikatakan semakin ‘menggila’. Salah satu kegilaan itu antara lain di dalam banyak kesempatan, Cak Imin berkali-kali mangatakan kalau Pak Jokowi tidak menggandeng dirinya, maka Jokowi akan kalah. Bukankah ini statement konyol? Bukannya merayu dan merajuk, Cak Imin justru terkesan mengintimidasi. Belum ada rumusnya, cinta lahir dari intimadasi. Apakah Cak Imin tidak tahu akan hal itu?
Penulis mulai berfikir bahwa langkah politik yang diambil Cak Imin ini sepertinya tidak hanya sekedar nafsu kekuasaan secara pribadi untuk jadi Wapres 2019. Sepertinya Cak Imin sedang menyiapkan sebuah pertaruhan besar yang sengaja ia pikul sendirian. Dengan mendeklarasikan diri sebagai Cawapres sejak dini, Cak Imin sedang membuat kanal besar konsolidasi kekuatan politik nahdliyin agar tidak terlalu cair. Cak Imin tidak ingin kekuatan politik nahdliyin seperti yang terjadi dalam tiga Pilpres terakhir yang mengakibatkan NU tidak memiliki representasi politik yang utuh di RI 1 maupun R1 2.
ADVERTISEMENT
Dengan mengulang-ulang kalimat Kalau Jokowi tidak menggandeng dirinya, Jokowi bisa kalah adalah semacam kode keras Cak Imin kepada Jokowi dan juga siapapun Calon Presiden 2019 nanti, bahwa jangan pernah menganggap remeh kekuatan politik NU. Pun, ke internal NU, Cak Imin juga sedang membangunkan kebanggaan dan kepercayaan diri Politik warga Nahdliyin agar NU memiliki bargaining position yang kuat, tidak hanya dibutuhkan oleh rezim ketika api sedang menyala, didekati hanya untuk diambil suaranya tapi tidak kadernya, diperhitungkan tapi ditinggal pada saat hitung-hitungan kekuasaan.
Cak Imin sepertinya memang sedang kasmaran dan jatuh cinta kepada Jokowi, tapi di atas semua itu masih ada cinta yang lebih besar yang sedang dipikulnya yaitu cintanya kepada PKB dan Nahdlatul Ulama. Ia rela di-bully, di-nyinyiri dan diremehkan, yang penting PKB besar dan NU diperhitungkan. Penulis menduga Cak Imin belajar kepada Maha Gurunya, Gus Dur, yang pada Tahun 1998 juga dengan nekad mendeklarasikan diri sebagai Calon Presiden. Saat itu banyak orang tidak percaya, meragukan bahkan ada sebagian yang menertawakannya. Namun, Gus Dur tetap dengan pendiriannya. Gus Dur tahu betul, kalau ia tidak mencalonkan diri sebagai presiden, maka kekuatan politik NU akan diombang-ambingkan dan hanya menjadi rebutan klaim kekuatan politik lain. Dan, sejarah membuktikan Gus Dur terpilih menjadi Presiden RI ke-empat.
ADVERTISEMENT
Adakah politisi NU yang hari ini seberani Cak Imin mengambil resiko politik sebesar ini? Penulis belum menemukannya. Kenapa? Karena menjadi Cawapres itu berat. Perlu keberanian luar biasa dengan segala resikonya, termasuk resiko menjadi martir ketika realitas politik tidak sesuai dengan ekspekstasinya. Dan, Muhaimin Iskandar secara sadar sepertinya sudah siap memikul itu semua.
Penulis: Amiruddin Zahri
Mahasiswa Pascasarjana Ketahanan Nasional
Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia
*Penerima Program Beasiswa Kemenpora RI yang kerjasama dengan Universitas Indonesia