news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Di Tengah Perayaan Hari Anti-Hukuman Mati, 299 Napi Menunggu Eksekusi

Amnesty International Indonesia
Ayo wujudkan dunia di mana hak-hak asasi dapat dinikmati setiap manusia
Konten dari Pengguna
10 Oktober 2018 14:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Amnesty International Indonesia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi hukuman mati. (Foto: ArtWithTammy via Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi hukuman mati. (Foto: ArtWithTammy via Pixabay)
ADVERTISEMENT
Pengadilan di Indonesia telah menjatuhkan sedikitnya 37 vonis mati sejak Januari tahun ini, menambah daftar panjang jumlah total terpidana yang menunggu waktu eksekusi mati: menjadi 299 orang. Padahal 10 Oktober 2018 ini dunia merayakan Hari Anti-Hukuman Mati.
ADVERTISEMENT
Dari total 37 vonis tersebut, 28 di antaranya terkait penyalahgunaan narkoba, 8 terkait kasus pembunuhan, dan 1 kasus terkait tindak pidana terorisme.
Adapun terdapat 8 orang merupakan warga negara Taiwan, dan sisanya warga negara Indonesia.
Dibanding tahun lalu pada periode yang sama, Januari-Oktober, angka vonis mati berjumlah 37. Secara keseluruhan pada 2017, terdapat 47 orang dijatuhi hukuman mati dari Januari hingga Desember.
Terpidana mati sering kali mengalami perlakuan tidak manusiawi, kejam, dan merendahkan martabat di dalam tahanan.
Dalam banyak kasus, mereka ditempatkan dalam ruang isolasi yang sangat ketat. Mereka tidak mendapat perawatan medis memadai dan hidup dalam ketakutan menunggu eksekusi. Otoritas terkait sering mengabarkan rencana eksekusi kepada terpidana mati hanya beberapa saat menjelang eksekusi mati dilaksanakan.
ADVERTISEMENT
Amnesty International mengapresiasi keputusan Indonesia dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 27 Desember 2016 di New York yang memilih abstain untuk Resolusi ke-6 PBB terkait Moratorium Penggunaan Hukuman Mati. Sebelumnya, pemerintah menolak resolusi tersebut.
Negara-negara yang mendukung Resolusi tersebut meningkat dari tahun ke tahun, dari yang 104 pada saat pertama kali digelar pada 2007 menjadi 117 saat voting terakhir 2016. Pada tahun itu juga, 40 negara menolak dan 31 lainnya memilih abstain, termasuk Indonesia, saat voting dilakukan.
Pada akhir 2018, tepatnya di bulan Desember, Sidang Umum PBB mempertimbangkan akan melakukan voting Resolusi ke 7 Moratorium terkait Penggunaan Hukuman Mati.
Kami berharap Indonesia mempertahankan posisi yang sama pada Resolusi ke-7 di tahun 2018 atau mengambil inisiatif untuk mendukung resolusi tersebut. Meningkatnya negara-negara yang mendukung Resolusi tersebut sejalan dengan perkembangan positif terkait penghapusan hukuman mati di dunia yang membaik.
ADVERTISEMENT
Kami yakin Indonesia akan mengedepankan perspektif HAM dalam mengambil keputusan pada Resolusi ke-7 terkait Moratorium Hukuman Mati pada Desember 2018.
Indonesia mempunyai modal yang kuat untuk mengambil opsi mendukung resolusi tersebut mengingat pada sidang Universal Periodic Review (UPR) di Dewan HAM pada Mei 2017, Pemerintah RI menerima rekomendasi Dewan HAM PBB untuk mempertimbangkan moratorium eksekusi mati dan penghapusan hukuman mati. Opsi mendukung resolusi tersebut akan membuat Indonesia dipandang oleh dunia internasional sebagai negara yang selangkah lebih maju dalam menghargai hak asasi manusia.
Baru-baru ini Amnesty International telah menyampaikan permasalahan-permasalahan yang menyelimuti praktik hukuman mati di dunia dalam sebuah forum di kantor PBB di New York, tepatnya pada 25 September lalu.
ADVERTISEMENT
Sekretaris Jenderal Amnesty International Kumi Naidoo dalam kesempatan tersebut menjelaskan bahwa banyak orang yang dihukum mati memiliki latar belakang dari kaum marjinal yang tak punya akses ke bantuan hukum yang kompeten dan tak tahu cara membela diri.
Ia mengambil contoh kasus mantan terpidana mati asal Nias, Sumatera Utara, yang bernama Yusman Telaumbanua. Pengacara Yusman, yang ditunjuk negara, justru meminta kliennya dihukum mati dan luput memberitahukan hak Yusman mengajukan banding.
Kasus Yusman adalah kombinasi mematikan antara hukuman mati dan kemiskinan. Ia beruntung masih bisa lolos dari eksekusi. Tapi, kisah seperti ini tak akan menimpa orang kaya. Pada kenyataannya, faktor-faktor yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kejahatan itu sendiri dapat membentuk pengalaman orang di sistem peradilan pidana, mempengaruhi hidup dan mati mereka.
Yusman Taleumbanua  (Foto: Putri Kanesia)
zoom-in-whitePerbesar
Yusman Taleumbanua (Foto: Putri Kanesia)
Yusman beruntung karena mendapat pengacara baru dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Pengacara-pengacara dari lembaga tersebut menunjukkan sistem peradilan pada kasus Yusman terbukti tidak adil dan memihak, sekaligus menjadi bukti adanya persoalan serius pada praktik hukuman mati di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Amnesty International menolak penerapan hukuman mati tanpa terkecuali dalam kasus apa pun dan dengan metode apa pun. Hukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia tersebut jelas melanggar hak untuk hidup yang dijamin Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia.
Amnesty International Indonesia tidak menolak penghukuman pelaku-pelaku kriminal yang memang seharusnya dihukum atas perbuatan mereka. Yang ditolak adalah penggunaan hukuman mati yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat.
Apapun kejahatannya, seseorang tidak boleh dihukum dalam kondisi yang tak manusiawi di penjara, apalagi untuk kemudian dirampas hak hidupnya.
Baca juga:
Momen Hari Anti-Hukuman Mati Sedunia ini harus kita gunakan untuk mengingatkan otoritas bahwa terpidana mati, sama seperti para tahanan untuk kejahatan lainnya, harus diperlakukan secara manusiawi, dalam kondisi yang sesuai dengan standar hukum internasional.
ADVERTISEMENT
Momen ini juga harus digunakan sebagai refleksi menuju moratorium hukuman mati di Indonesia, sebuah langkah awal menuju penghapusan menyeluruh hukuman mati dalam undang-undang dan praktik di Indonesia.
Menurunnya jumlah hukuman mati secara global pada 2017 harus menjadi momentum bagi Indonesia untuk memberlakukan moratorium eksekusi mati di sisa waktu yang tersedia tahun ini.
Lebih dari dua pertiga negara-negara di dunia kini telah menghapus hukuman mati dalam undang-undang atau praktik. Per 31 Desember 2017 jumlahnya adalah: Abolisionis untuk semua kejahatan 106 negara; Abolisionis untuk kejahatan biasa tujuh negara; dan Abolisionis dalam praktik 29 negara.
Indonesia masih tergolong sebagai negara retensionis hukuman mati. Artinya, di Indonesia masih terdapat peraturan perundang-undangan yang menerapkan hukuman mati dan masih menjatuhkan vonis hukuman mati atau melakukan eksekusi hukuman mati dalam 10 tahun terakhir.
ADVERTISEMENT
Indonesia merupakan bagian dari 56 negara lain di dunia yang masih berstatus retensionis. Negara-negara lain yang ada dalam satu golongan dengan Indonesia antara lain: Afghanistan, Tiongkok, Kuba, Ethiopia, Iran, Irak, Malaysia, Nigeria, Korea Utara, Saudi Arabia, Sudan, Amerika Serikat, dan lain-lain.
Laporan Amnesty International yang berjudul “Hukuman dan Eksekusi Mati 2017” mengungkapkan bahwa jumlah eksekusi secara global terus menurun dari 2016 hingga 2017, dari angka 1.032 ke 993. Hal ini menunjukkan adanya penurunan 4 persen dan 39 persen jika dibandingkan dengan tahun 2015, periode terjadinya eksekusi mati untuk 1.643 orang di seluruh dunia, angka tertinggi yang berhasil didokumentasikan Amnesty International sejak 1989.
-Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid
ADVERTISEMENT