Wacana penambahan masa jabatan presiden 3 periode menuai pro dan kontra. Klausul itu ditengarai akan masuk dalam amandemen UUD 1945 yang sejak awal periode MPR lalu sudah disepakati untuk memasukkan pokok-pokok haluan negara.
Anggota DPD Jimly Asshiddiqie menilai ketentuan di Pasal 37 UUD 1945 wajar menimbulkan trauma amandemen UUD 1945 dikhawatirkan melebar.
"Karena waktu perubahan pertama, kan, niatnya hanya membatasi masa jabatan. Tapi molor jadi perubahan kedua, ketiga, keempat, hingga materi yang berubah dari UUD itu 300 persen cuma karena kita ini takut kualat namanya masih 45," kata Jimly saat dimintai tanggapan, Jumat (25/6).
"Itu menimbulkan trauma, jadi kalau ada perubahan kelima jaminannya apa kalau tidak melebar, karena belum dipraktikkan Pasal 37," sambung Jimly.
Berikut bunyi ayat 1 Pasal 37 UUD 1945:
Usul perubahan Pasal - pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat
"Minimal pengusul 1/3 anggota dan itu banyak. Kalau DPD 136 [anggota], maka harus ditambah 102 anggota DPR. 102 itu banyak, 136 anggota DPD banyak sekali karena masing-masing anggota itu sendiri-sendiri," jelasnya.
Jimly menjelaskan, nantinya dari 1/3 Anggota MPR boleh mengajukan perubahan pasal. Tetapi syaratnya harus jelas beserta alasannya.
"Kalau ada 1/3 anggota boleh mengajukan usul, tetapi syaratnya pasal apa yang mau diubah, kalimatnya bagaimana, usulnya jadi bagaimana, lalu alasannya apa. Sekali lagi ini belum pernah diterapkan, coba diterapkan, teken 1/3 tiba-tiba melebar di pasal lain, boleh tidak? Kan tidak bisa," urainya.
"Karena kalau muncul perubahan lagi, harus diteken 1/3 lagi. Jadi tidak mungkin. Melebar," tegas Jimly.
Sementara terkait amandemen UUD 1945, Jimly menekankan apa yang dikatakan para politikus di ruang publik berbeda dengan realitas politik di lapangan.
"Tetapi orang tidak tahu jawabannya itu kalau ditanya ini melebar apa tidak. Apalagi di wacana di media, di media orang tidak bisa dibatasi mau ngomong apa saja. Maka harus dibedakan realitas media dan real reality. Proses politik teknis di MPR dan proses politik abstrack di media," pungkas Jimly.