Doni Monardo dalam catatan orang Maluku

Nusantara
Bangkit dengan Semangat Bahari
Konten dari Pengguna
16 Februari 2019 17:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nusantara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sosok Mayor Jenderal TNI Doni Monardo sewaktu tiba di ibukota Provinsi Maluku, Ambon, untuk menunaikan tugas baru selaku Pangdam XVI Pattimura 25 Juli 2015 sampai dengan 27 Oktober 2017), semua warga Maluku punya pertanyaan yang sangat besar terhadap sosok ini dan kebijakan Mabes TNI AD dalam penempatan seorang mantan Danjen KOPASSUS. Nama Kopassus sangat dekat dengan detak jantung orang Maluku ketika tragedi kemanusiaan di Maluku 1999–2005. Daerah Maluku ketika itu dikoyak-koyak dan dibumihanguskan atas nama satu issu yakni “perang agama”. Bukan main-main stempel ini diberikan kepada Daerah yang dulu sangat terkenal sebagai “Spices Island” Pulau Rempah-Rempah dimana masa elok Maluku mengukir sejarah kelam kolonisasi di Nusantara yang sangat panjang dan menyedihkan.
ADVERTISEMENT
Mayjen TNI Doni Monardo Saat Menjabat sebagai Pangdam XVI Pattimura
Doni Monardo hadir dan sentak orang Maluku berpikir bahwa daerah ini belum dinyatakan aman oleh sentra kekuasaan di Jakarta hingga tahun 2015 masih menempatkan seorang komandan pasukan elit memimpin territorial Maluku. Dugaan masyarakat Maluku boleh saja diutarakan mengingat semua orang Maluku sangat trauma dengan sebutan “perang agama” dimaksud. Padahal dalam kenyataannya hubungan kekerabatan masyarakat Maluku antar agama tetap saja terjalin secara harmoni. Dalam satu keluarga orang Maluku bisa terdapat pemeluk dua agama, lalu bagaimana bisa disebut “perang agama”? Dalam catatan kami selama periode 1999 – 2005 itu seolah masyarakat Maluku hidup dalam tegangan dan resonansi inharmoni dengan lalu lintas berita setengah benar (the half true news).
Jadi wajarlah ketika Doni Monardo mulai pertama kali berkomunikasi dengan masyarakat Maluku pada 31 Juli 2015, setelah hampir seminggu menata organissi internal Kodam XVI Pattimura, maka tatapan mata masyarakat Maluku seolah bertanya begini : Ini mau apa lagi ?. Sebagai seorang Panglima yang menguasai territorial seribu pulau maka jamahan beliau yang pertama adalah menemui para tokoh adat dan tokoh masyarakat Maluku serta secara rutin melakukan diskusi dengan para tokoh agama. Tentu beliau juga tidak mengenyampingkan kohesi persahabatan dengan birokrasi pemerintah daerah dalam organisasi Forum Komunikasi Pimpinan Daerah Maluku.
ADVERTISEMENT
Doni Monardo juga membangun komunikasi intens dengan para intelektual dan akademisi Maluku untuk mendengarkan ide dan gagasan mereka dalam membangun wilayah kepulauan. Ini adalah catatan kami yang pertama bahwa Doni Monardo keluar dari tembok pasukan yang baris berbaris, panggul senjata dengan sikap hormat gerak dan tegap gerak. Beliau mampu membangun kohesi sosial yang intensif dengan dunia non kemiliterannya.
Catatan kami yang kedua, Doni Monardo sadar betul bahwa selaku penguasa territorial wilayah Kepulauan Maluku dimana wilayah ini bukanlah sebuah tangsi militer yang bisa digerakkan dengan tongkat komando seorang komandan tangsi. Beliau menjelajahi seluruh kepulauan Maluku dan menemui masyarakat yang hidup pada pulau-pulau kecil dengan pandangan mata dan gerak tubuh yang selalu “welcome” kepada para pendatang di pulaunya ditambah lagi dengan lantunan musik anak pulau yang hanya berbekal sebuah tabuh (=tifa), gong dan ukulele. Bagi Doni Monardo mereka sangat “enjoy” dengan habitatnya dan wajah-wajah yang terpancar penuh kepasrahan pada alam sekitar. Ini yang selalu menggelisahkan Doni Monardo apalagi setelah kembali dari lapangan kemudian bergabung dalam diskusi birokrasi pejabat Pemda Maluku dan Pemda Kabupaten/Kota dimana mereka selalu terbelenggu dengan pernyataan bahwa Maluku adalah wilayah termiskin ketiga setelah Papua dan Papua Barat menurut catatan BPS.
ADVERTISEMENT
Catatan kami yang ketiga, Doni Monardo dengan insting militernya berupaya untuk mencari dan menyusun strategi penyerangan yang jitu untuk membasmi sel dan plasma kemiskinan di Maluku. Konsep yang beliau susun dan langsung kerjakan di lapangan adalah tentang konsep emas hijau dan emas biru. Ketika digulirkan masyarakat Maluku bertanya-tamya begini: Jendral Doni mau apa lagi ? mengingat pada saat bersamaan orang di Maluku lagi sibuk mengeksploitasi emas di Gunung Botak, Pulau Buru. Semua masyarakat terutama di Pulau Buru baik aras masyarakat biasa maupun pejabat daerah seolah berlomba untu memiliki “lubang eksploitasi emas” yang nanti akan disewakan kepada pekerja professional yang datang dari Tasikmalaya, Ternate dan Manado. Lautan manusia di Gunung Botak seolah tak terbendung karena memang emas dijual ditempat dan uang langsung diperoleh. Gunung Botak di Pulau Buru seolah tersulap menjadi wilayah tak bertuan. Disitu muncul tragedi kemanusiaan dimana manusia mati sia-sia terkubur tanah dalam lubang penggalian dan juga perdagangan illegal zat kimia sianida dan merkuri. Begitu kompleks persoalan Gunung Botak sehingga Presiden RI Joko Widodo memerintahkan untuk menutup eksploitasi tradisional dimaksud karena membahayakan manusia dan lingkungan dalam masa kini dan masa yang akan datang. Perintah ini seolah tidak dipedulikan karena banyak sekali muncul “orang kaya baru” berkat sumberdaya emas di Pulau Buru.
ADVERTISEMENT
Catatan kami yang keempat, Doni Monardo sebagai penguasa para serdadu yang selalu loyal pada komandan tidak menempuh jalur tongkat komando untuk menyerbu musuh di medan perang, namun beliau mencari konsep menyelamatkan lingkungan wilayah Kepulauan Maluku khususnya kasus eksploitasi emas di Gunung Botak. Doni Monardo memulai idenya dari lingkungan internal Kodam XVI Pattimura. Implementasi dengan cepat berjalan dimana pada setiap momen selalu dikumandangkan emas hijau dan emas biru. Doni Monardo tidak bekerja sendiri namun menggandeng organisasi masyarakat di desa dan organisasi LSM untuk berpacu merealisasikan emas hijau dan emas biru. Konsep ini berangkat dari sutuasi ekologi Maluku yatu dengan melestarikan hutan sekaligus juga memuliakan lautan. Dua ruang habitat ini adalah tempat orang Maluku mengembangkan kualitas hidup dirinya dan keluarga.
ADVERTISEMENT
Doni Monardo mulai merinci konsep emas hijau dalam impementasi yang nyata adalah kembali menanam komoditas cengkeh, pala, gaharu dan komoditas lokal yang cocok dikembangkan pada pulau-pulau kecil. Kemudian emas biru diimplementasi dengan mengeksplotasi laut dengan ramah lingkungan. Doni Monardo sadar bahwa laut di Maluku ini tidak mengalami masa tenang sepanjang waktu karena ada masa dimana laut bergelora bisa mengisolasi manusia dan wilayahnya dalam waktu yang panjang. Konsep emas biru diterjemahkan dengan membuat keramba dan orang Maluku mulai diajak untuk beternak ikan di lingkungan pantainya yang dianggap tidak terpengaruh oleh gelombang dahsyat. Ini dimulai dengan memelihara ikan kerapu dan kakap di keramba, selain iu pula masyarakat diajak untuk menanam rumput laut. Kegiatan ini mendapat respons positif dari semua kalangan masyarakat Maluku.
ADVERTISEMENT
Catatan kami yang kelima, Doni Monardo meminta LSM dan masyarakat untuk berkeja secara bersinergi dan dibantu oleh setiap pemerintah daerah setempat. Pemerintah daerah mendukung program ini dengan merealisasikan program pemberdayaan pada masyarakat. Di Pulau Seram masyarakat dan LSM bekerja secara simultan membangun perkebunan gaharu yang nanti dikelola oleh masyarakat desa. Pada Februari 2017, saat puncak Hari Pers Nasional di Ambon, Presiden RI Joko Widodo datang dan berhasil memanen ikan di keramba yang ada di Teluk Ambon.
Catatan kami yang keenam, pada penghujung tahun 2017 Mayjend Doni Monardo harus dimutasikan ke Kodam Siliwangi di Jawa Barat dan di akhir masa jabatannya di Maluku beliau menitipkan program emas hijau dan emas biru ini kepada Pemerintah Maluku untuk meneruskan dan mengembangkan program ini dalam hubungan dengan pengentasan kemiskinan di Maluku. Hasil dari BPS menyatakan bahwa Maluku saat ini telah naik peringkat satu tangga dari ketiga keempat Provinsi Teriskin setelah Papua, Papua Barat dan NTT.
ADVERTISEMENT
Catatan kami yang ketujuh bahwa Doni Monardo sebagai seorang perwira tinggi militer punya talenta khusus dalam mendeteksi apa yang harus dilakukan di Maluku dalam meredam issue negative terhadap Maluku, membangkitkan gelora dan semangat masyarakat untuk membangun di atas habitat dan ekologinya, dan mengembangkan komoditas yag cocok dengan agroekologi dan agroekosistem Maluku. Dengan cara ini yang mau ditunjukkan oleh Doni Monardo adalah melarang eksploitasi emas Gunung Botak di Pulau Buru harus ada solusi tepat kepada masyarakat sehingga mereka diberi peluang lain yang lebih menjanjikan daripada hanya sekedar melarang dan tidak ada solusi yang tepat diberikan.
Kesimpulan dari ketujuh catatan ini layaknya membangun persepsi dalam seminggu dimana derap langkah Doni Monardo dicatat per harinya adalah keteguhan seorang Doni Monardo untuk datang menyelamatkan manusia dan lingkungannya. Maluku adalah laboratorium bagi Doni Monardo membangun masyarakat dan dia sukses membangkitkan semangat masyarakat untuk bisa masuk dalam peradaban yang berkualitas sebagai manusia ciptaan Khalik. Masalah yang timbul apakah konsep ini mau dilanjutkan atau tudak dilanjutkan oleh Pemerintah Maluku sebagai basis program untuk mengeluarkan masyarakat Maluku dari lingkaran kemiskinan, namun sejarah manusia Maluku telah mencatat bahwa Doni Monardo telah membangun landasan rumah yang kokoh dalam arti landasan yang cocok dengan ekologi Kepulauan Maluku. Membangun pilar dan atap bangunan sehingga terwujud rumah besar Maluku memang belum selesai. Khalik di tahtaNya tidak pernah tidur dan selalu mencatat semua perbuatan manusia untuk memanusiakan manusia. Doni Monardo memang seorang Jendral cerdas, penuh dengan visi-misi hidup dan berani keluar dari tangsi militer untuk menyatukan langkahnya membangun masyarakat dan lingkungannya. Itulah esesnsi membangun manusia yang senantiasa tidak dapat dipisahkan dari lingkungannya.
ADVERTISEMENT
Penulis Prof.Dr.Ir Max Marcus Pattinama,DEA (Guru besar Etno Ekologi Universitas Pattimura Ambon)