Tarian Perdamaian Anak Muda Maluku : Kisah Inspiratif Peserta Sarasehan Nasional Setjen Wantannas RI Bagian. II

Nusantara
Bangkit dengan Semangat Bahari
Konten dari Pengguna
14 Juli 2018 18:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nusantara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
"Kita sering berlaku tidak adil sejak dalam pikiran: kita ingin orang-orang berhenti dari menjadi  radikal dan ekstrimis, tapi yang kita amati dan pelajari lebih banyak justru bagaimana orang tumbuh menjadi radikal atau ekstrimis" (Ihsan Ali-Fauzi)
ADVERTISEMENT
Pagi itu cuaca cerah. Suasana di bandara Pattimura agak beda. Beberapa orang tentara berbaju seragam mondar mandir di konter check in. Mereka adalah panitia Sarasehan Nasional tentang merawat perdamaian. Koper-koper dioper, sesekali petugas konter mengkonfirmasi daftar nama. Sejumlah "tokoh agama" Maluku terlihat saling berbagi berita. Mungkin ada yang baru jumpa setelah sekian lama berpisah.
Seorang pria muda berkaos lengan panjang terlihat santai. Ada sebuah ransel menempel di belakangnya, syal warna coklat dan seperti semua insan jaman now "asyik" mengutak-atik gadget sambil senyum-senyum. Saya menghampirinya.
Kita bertukar cerita singkat sebelum petugas memanggil untuk segera naik pesawat. Saya senang, sebelum berangkat sudah punya satu sahabat baru. Telah saya simpan nomor hpnya ternyata namanya Iskandar Slamet biasa disapa Is, putera jazirah leihitu itu yang turut dalam menyuarakan perdamaian di Negeri Seribu Pulau Maluku
ADVERTISEMENT
Setiba di Jakarta kami disambut  Panitia. Bau wangi bunga kamboja memenuhi bandara. Semua peserta dikalungi bunga. Kayak orang penting saja. hehehe... Tiba-tiba kawan saya ini menyela. "Selfi dulu" mantra ini berubah jadi dokumentasi foto bersamanya. Sebelumnya saya telah lebih dulu mengabadikan momen langkah saat ia dikalungi bunga warna putih kekuningan itu. Kami semua ke tempat penginapan.
Keesokan harinya ia berdiri di podium. Di hadapan ratusan pasang mata. "Dulu saya tersesat. Kini saya telah pulang. Dulu saya di medan perang, sekarang saya menjadi pekerja perdamaian" kata-kata itu begitu alaami dan mempesona.
Hijrah. Mungkin itu kata yang pas. Seperti judul buku yang berkisah tentang orang-orang yang bertransformasi. Buku itu saya beli di tempat kegiatan. Ada nama temannya: Ronald Regang. Nama dan kisahnya belum tertera di sana. Tapi jika bertanya pada mbah google maka ada video dan aneka narasi. Tentang dua anak (muda) Maluku yang mengalami transformasi diri. Yang dulunya menjadi pasukan perang, sekarang pengerja damai. Yang dulunya menari perang sekarang menari damai.
ADVERTISEMENT
Dunia terus berputar. Segala sesuatu ada waktunya. Ada waktu sedih ada waktu tertawa. Ada waktu marah ada waktu tersenyum. Ada waktu pergi ada waktu pulang. Hari itu saat ia memberi testimoni di podium itu terlihat fajar baru tersingkap. Gelapnya konflik dan perang berganti tarian damai dan persaudaraan.
Pagi ini udara masih dingin saat kami berjalan bersama keluar bandara. "Kegiatan ini memberi inspirasi dan motivasi untuk terus merawat perdamaian dan memperjuangkan kemaslahatan bersama" ungkapnya sambil tersenyum. Senyum yang masih sama seperti pertama kali kami berjumpa di bandara yang sama Senin kemarin. Senyum yang selalu jadi jembatan persahabatan dalam keragaman. Tak lupa ia memberi apresiasi dan terima kasih yang tulus kepada Mayjen Doni Monardo, Sekjen Dewan Pertahanan Nasional yang pernah menjadi Pangdam Pattimura. "Beliau sangat Maluku walau bukan asal dan asli Maluku" ungkapnya terang.
ADVERTISEMENT
Ternyata lelaki yang saya jumpai pertama kali di bandara itu adalah seorang "pahlawan" yang berjuang dengan caranya sendiri. Kali ini bukan lagi dengan senjata dan bom rakitan. Tapi dengan hati, tekad dan keikhlasan. Ia telah hijrah. Ia telah bertransformasi.
Selamat menari saudara dan sahabatku. Putra Hitu-Mesing yang tangguh: bro Iskandar Slamat. Tuhan menyertai tiap derap langkahmu.Mari kita bersinergi dan berkolaborasi menarikan damai dan kebaikan bersama.
Oleh Pdt. Rudy Rahabeat (kandidat doktor antropologi UI