JKN, Jaring Pengaman Bukan 'Sofa' yang Nyaman

Asriana Ariyanti
Statistisi, Mahasiswa, Kandidat Doktor Kebijakan Publik Universitas Terbuka
Konten dari Pengguna
18 Juni 2020 12:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asriana Ariyanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kesehatan jantung Foto: dok.shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kesehatan jantung Foto: dok.shutterstock
ADVERTISEMENT
Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan terobosan besar di bidang kesehatan yang dirasakan langsung oleh semua kalangan masyarakat. Program ini memberikan akses kesehatan yang lebih luas bagi masyarakat, terutama masyarakat kategori tidak mampu, sesuai dengan amanah UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) , UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang diatur kembali melalui Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan.
ADVERTISEMENT
JKN ini merupakan praktik beradab yang juga diamanatkan untuk dilakukan di seluruh dunia oleh The World Health Organization (WHO). WHO mendefinisikan Universal Health Coverage (UHC) sebagai suatu program untuk memberikan akses sebagai kunci intervensi kegiatan promosi, pencegahan, pengobatan dan rehabilitasi kesehatan untuk semua orang dengan biaya yang terjangkau, sehingga mencapai pemerataan akses kesehatan. JKN di Indonesia yang diluncurkan 1 Januari 2014 ini memberikan konsekuensi bahwa semua warga negara Indonesia tanpa terkecuali secara mandatory wajib mengikuti program JKN baik sebagai peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) maupun peserta mandiri. Total peserta yang terdaftar sebagai peserta BPJS, selaku pelaksana JKN di Indonesia, adalah 224 juta jiwa atau sekitar 85 persen penduduk Indonesia pada akhir 2019.
ADVERTISEMENT
Cakupan JKN Indonesia Tercepat Sedunia
Jika dilihat dari jumlah cakupan keanggotaan JKN yang sangat besar ini tentu merupakan pencapaian luar biasa bagi sebuah program nasional yang sejak awal diresmikan sudah mengundang pro kontra di kalangan masyarakat. Indonesia baru menerapkan 7 tahun JKN dan sudah mencakup 85 persen penduduk. Hal ini dapat dilihat perbandingannya dengan penerapan UHC di berbagai negara. Di Jerman membutuhkan waktu 127 tahun untuk mencakup 85 persen populasi dan Costa Rica perlu 48 tahun mencapai 87 persen. Selain itu Belgia memerlukan waktu 118 tahun, Luxemburg 72 tahun, Austria 79 tahun dan Jepang 36 tahun untuk mencapai cakupan 100 persen populasi penduduknya.
Ukuran kesuksesan suatu program ini tentu tidak dapat diukur hanya dari besarnya cakupan pesertanya saja, tetapi juga kualitas pelayanan dan tingkat kepuasan masyarakat. Berdasarkan perhitungan sementara, selama tahun 2019, total pemanfaatan layanan kesehatan melalui JKN mencapai 279,5 juta layanan, yang terdiri dari 182.9 juta layanan FKTP (Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama), 85.6 juta layanan rawat jalan RS, dan 11 juta layanan rawat inap RS. Secara rata-rata, jumlah layanan kesehatan melalui JKN mencapai 765.753 layanan setiap hari. Fakta ini menunjukkan antusias masyarakat yang sangat tinggi untuk memanfaatkan akses kesehatan yang terbuka luas bagi semua kelompok masyarakat. Jika sebelumnya masyarakat kelompok kurang mampu sering tidak mampu mengakses layanan kesehatan, baik layanan kesehatan pemerintah maupun swasta, maka dengan KIS mereka memiliki akses pelayanan kesehatan yang lebih baik. Kelompok masyarakat kurang mampu merupakan peserta PBI yang iurannya dibayarkan melalui APBN dan APBD.
ADVERTISEMENT
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah membayarkan iuran BPJS Kesehatan bagi 132,6 juta orang, yang terdiri dari 96,5 juta jiwa ditanggung pemerintah pusat dan 36 juta dibayarkan oleh pemerintah daerah. Jumlah 132,6 juta tersebut adalah peserta dengan kategori Penerima Bantuan Iuran dengan iuran yang setara kelas III BPJS Kesehatan yang iurannya sebesar Rp 42.000. Hal ini sejalan dengan best practice sistem jaminan sosial di dunia dimana negara menanggung sampai dengan 40 persen penduduknya yang berada pada lapisan terbawah. Sementara itu, total peserta BPJS Kesehatan per April 2020 adalah sebesar 222,9 juta jiwa. Untuk diketahui, peserta BPJS Kesehatan terdiri dari dua bagian besar yaitu peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan non PBI.
ADVERTISEMENT
Mengapa BPJS Defisit?
Salah satu faktor yang menjadi isu utama pelaksanaan JKN adalah defisitnya anggaran BPJS. Mengapa defisit? Ada beberapa faktor yang disinyalir menjadi penyebab utama defisitnya BPJS sebagai badan yang menyelenggarakan JKN KIS. Jumlah klaim yang jauh melampaui besarnya iuran anggota menjadi penyebab utama defisitnya BPJS Kesehatan. Rendahnya kepatuhan peserta, baik perorangan maupun perusahaan dalam membayar iuran menjadi faktor rendahnya penerimaan dan besarnya iuran BPJS yang underpriced.
Jumlah klaim yang lebih besar nilainya dibanding jumlah iuran diterima disebabkan oleh banyaknya peserta mandiri yang menunggak iuran. Pada akhir 2019 terjadi peserta BPJS mandiri yang menunggak iuran 45,5 persen. Banyak peserta mandiri yang mendaftar pada saat sakit dan memerlukan layanan kesehatan yang berbiaya mahal dan tidak membayar iuran lagi setelah sembuh. Sejak 2016 hingga 2019 tunggakan peserta mandiri ini mencapai Rp 22,7 triliun.
ADVERTISEMENT
Overclaimed peserta mandiri adalah penyebab defisit utama defisitnya BPJS. Pada 2018 jumlah iuran peserta mandiri Rp 8,9 triliun tetapi total klaimnya mencapai Rp27,9 triliun. Ini berarti terjadi overclaimed sebesar 313 persen. Pada 2019 total iuran peserta mandiri Rp 10,5 triliun sedangkan klaimnya mencapai Rp 31,4 triliun. Kondisi ini menyebabkan overclaimed sebesar 299 persen selama 2019. Overclaimed ini belum dapat dihitung pada masa pandemi Covid-19 tahun 2020 yang tentu akan menghasilkan angka yang unpredictable.
Selain klaim yang lebih besar dari nilai iuran yang dikumpulkan, defisit juga terjadi karena iuran peserta BPJS yang masih under market price. Menurut Direktur BPJS, Fahmi Idris, hanya iuran kelas I sebesar Rp 80.000 per orang per bulan yang sudah cukup ideal untuk tarif pelayanan dasar peserta. Sementara itu, untuk kelas II yang iurannya sebesar Rp 51.000 masih memerlukan subsidi sebesar Rp 12.000 per orang per bulan karena tarif wajar pelayanan di kisaran biaya Rp 63.000. Untuk peserta kelas III iurannya saat ini Rp 25.500 sehingga masih diperlukan subsidi sebesar Rp 27.500 dari APBN karena tarif wajar pelayanan seharusnya pada level Rp 53.000. Selain itu, untuk peserta PBI, tarif wajar seharusnya pada level Rp 36.000 sedangkan sekarang pemerintah hanya bisa membayar Rp 23.000 per orang per bulan, sehingga memerlukan subsidi dari peserta mandiri sebesar Rp 13.000. Itulah, mengapa gelontoran dana subsidi yang berasal dari APBN masih belum mampu menutup defisit operasional BPJS. Berdasarkan data laporan bulanan BPJS, pada akhir 2019 defisit ini diprediksikan akan mencapai Rp 28 triliun.
ADVERTISEMENT
Tanpa adanya penyesuaian iuran BPJS, maka defisit BPJS yang berimbas pada defisit JKN akan semakin besar. Untuk menutupi defisit, tentu tidak dapat sepenuhnya dilakukan pemerintah dengan mengucurkan subsidi terus-menerus dengan jumlah yang fantastis. Penghitungan aktuaria untuk menetapkan tarif iuran BPJS tentu disesuaikan dengan kemampuan membayar masyarakat (ability to pay) masyarakat. Untuk menetapkan harga pasar dalam penentuan tarif iuran BPJS adalah seperti makan buah simalakama, akan ada trade off yang harus diambil oleh pemerintah. Untuk mengantisipasi ketidakmampuan masyarakat dalam membayar kenaikan iuran, maka disarankan untuk berpindah kelas peserta dari kelas I dan II ke kelas III. Jika masyarakat masih tidak mampu membayar iuran di Kelas III maka dapat mengurus keterangan tidak mampu/miskin dan mengajukan menjadi Peserta Bantuan Iuran (PBI).
ADVERTISEMENT
Pada masa pandemi Covid-19, pemerintah memberikan keringanan pembayaran iuran untuk mengaktifkan kembali kepesertaan BPJS. Jika sebelumnya mereka yang tidak aktif harus membayar tunggakan sebesar 24 bulan, maka pada masa pandemi ini mereka hanya membayar pelunasan iuran 6 bulan untuk dapat aktif kembali. Kelonggaran pelunasan ini akan berlaku hingga 2021.
Jaring Pengaman Bukan Sofa yang Nyaman
JKN juga tidak hanya bertujuan untuk memberikan hak pengobatan pada masyarakat yang sakit, tapi lebih ditujukan pada usaha promotif dan preventif, pendataan kondisi masyarakat melalui Program Indonesia Sehat dengan pendekatan keluarga dan pemberdayaan masyarakat melalui kader-kader kesehatan untuk memantau kondisi kesehatan masyarakat. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat dan meningkatkan Umur Harapan Hidup (UHH) penduduk Indonesia.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan riset yang diselenggarakan Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat FEB Universitas Indonesia, pada 2016 JKN berhasil meningkatkan angka harapan hidup masyarakat Indonesia hingga 2,9 tahun. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa Umur Harapan Hidup (UHH) yang dipakai sebagai salah satu ukuran pencapaian kesehatan untuk menghitung Indeks Pembangunan Manusia (IPM) selalu mengalami peningkatan. Menurut BPS, UHH penduduk Indonesia 2010 adalah 69,81 tahun, 2014 UHH mencapai 70,59 tahun dan pada 2019 UHH Indonesia adalah 71,34 tahun. Peningkatan UHH ini masih relatif rendah dibanding negara tetangga terdekat, Singapura yang memiliki UHH 82,2 tahun dan Malaysia 74,9 tahun. Indonesia masih memiliki UHH setara dengan Bangladesh, dan berada di atas Filipina, India, Kazahtan, Myanmar dan Pakistan. (United Nations “World Population Prospect”, 2017)
ADVERTISEMENT
Kritik terhadap pelayanan BPJS terus diberikan masyarakat yang tidak puas dengan kinerja BPJS. Masyarakat, terutama peserta mandiri, memiliki harapan yang sangat tinggi terhadap pelayanan BPJS. Mereka cenderung tidak puas dengan pelayan BPJS karena dibandingkan dengan pelayanan asuransi kesehatan swasta yang ada. Perbandingan ini tentu bukan apple to apple menilik besarnya premi asuransi kesehatan swasta yang tentu jauh lebih mahal dibandingkan iuran BPJS. Tetapi ini bukanlah suatu justifikasi bagi BPJS untuk tidak meningkatkan kualitas pelayanannya.
Masyarakat berekspektasi bahwa BPJS akan memberikan fasilitas kesehatan seperti saat mereka menjadi peserta asuransi kesehatan swasta. Mereka bebas antrean, tanpa sistem rujukan yang rumit, administrasi yang sederhana dan fasilitas kamar rawat inap yang lebih privat. Kenyataannya, BPJS memerlukan sistem administrasi dan rujukan yang lebih panjang dan ketersediaan kamar rawat inap yang terbatas di beberapa Rumah Sakit Swasta.
ADVERTISEMENT
JKN yang dioperasikan oleh BPJS dari awal diluncurkan adalah salah satu program suatu jaring pengaman yang disediakan negara untuk menjamin kesehatan seluruh kalangan masyarakat. JKN mengutamakan pelayanan kesehatan dasar yang dapat diatasi oleh Puskesmas sebagai Fasilitas Kesehatan (Faskes) pertama sebelum masyarakat yang sakit dirujuk ke Rumah Sakit yang lebih tinggi levelnya. Seiring waktu, Faskes ini bukan saja Puskesmas tapi dapat juga klinik swasta maupun dokter keluarga. Hal ini tentu sangat mempermudah masyarakat untuk mengakses hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dasarnya.
Peserta BPJS semua kelas harus melalui proses yang sama untuk menggunakan fasilitas kesehatan. Sistem rujukan dan antrean yang tidak membedakan kelas dalam rawat jalan adalah prinsip yang diterapkan oleh BPJS. Sistem kelas hanya tampak saat peserta harus rawat inap. Jika mengacu pada tujuan awal bahwa JKN ini adalah jaring pengaman, maka ide no class basic health services perlu dijadikan alternatif. Hal ini diterapkan di banyak negara di dunia bahwa mereka menghilangkan sistem kelas dalam besaran iuran dan fasilitas pelayanan kesehatan yang diberikan.
ADVERTISEMENT
JKN adalah upaya negara menyediakan Universal Health Coverage (UHC) bagi seluruh masyarakat tanpa kecuali. JKN adalah bentuk jaring penyelamat bukan suatu fasilitas kesehatan luxury yang ditawarkan pemerintah untuk masyarakat. Berharap ‘sofa yang nyaman’ saat menggunakan BPJS untuk memenuhi hak kesehatan kita adalah sesuatu yang kurang tepat. Jaring penyelamat tidak akan pernah memberikan kenyamanan pada masyarakat, tapi dapat menghindarkannya dari kondisi darurat yang menenggelamkan. Kebijakan no class basic health services adalah kebijakan berani pemerintah yang ditunggu masyarakat.
Asriana Ariyanti
Statistisi BPS Kota Bogor
Alumni The Australian National University