The English Game: Sejarah Sepak Bola tentang Perjuangan Kelas

Ananda Bintang
Mahasiswa Sastra Indonesia Unpad
Konten dari Pengguna
6 Juni 2022 16:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ananda Bintang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
The English Game: Sejarah Sepak Bola tentang Perjuangan Kelas
zoom-in-whitePerbesar

Ketika pertandingan sepak bola dihentikan sementara waktu, pada 20 Maret 2020, Netflix merilis sebuah mini-series menarik tentang sejarah sepak bola yang berjudul The English Game.

ADVERTISEMENT
Mini-series ini diadaptasi dari cerita asli Fergus Suter (Kevin Guthrie) yaitu seorang pemain sepak bola profesional pertama yang juga menjadi pelopor sepak bola modern yang kita kenal dan nikmati sekarang. Suter yang berasal dari Skotlandia itu "dibeli" oleh James Walsh (Craig Parkinson) untuk bermain sepak bola di klub Darwen—sebuah klub sekaligus pabrik tekstil di Inggris yang dimandori oleh James Walsh.
ADVERTISEMENT
Latar waktu miniseries ini terjadi pada masa revolusi industri, klub sepak bola di Inggris pada masa itu emang nggak seprofesional sekarang. Dimana sewaktu itu, klub sepak bola di Inggris masih dikuasai oleh bangsawan-bangsawan yang menguasai pabrik industri dan masih sangat bangga dengan sifat-sifat “kedaerahan” masing-masing klub.
FA Cup yang baru dihelat pada tahun 1871 sampai ketika Fergus Suter datang, menjadi sebuah kompetisi yang menarik di Inggris pada masa itu. Namun, kompetisi ini dirasa kurang adil karena selalu dimenangkan oleh Old Etonians dan Wanderes, dua klub bangsawan yang ketika itu mendominasi persepakbolaan di negara Ratu Elizabeth—bukan tukang cendol. Klub-klub yang bukan dari bangsawan atau klub-klub pekerja yang juga merangkap sebagai buruh pabrik selalu bisa dikalahkan oleh kedua klub bangsawan itu.
ADVERTISEMENT
Faktor yang paling utama dikarenakan klub yang dimiliki bangsawan Inggris ini memiliki privilege yang melimpah. Dari mulai tidak terbebani upah kerja dari pabrik, punya waktu yang cukup untuk istirahat dan berlatih sepak bola, sampai komite FA malah ada yang ikutan bermain sepak bola, yang jelas-jelas hal ini pasti bakal dicecer habis-habisan sama SJW sepak bola di twitter.
Hinggga akhirnya ketika Fergus Suter dan Jimmy Love datang dari Skotlandia untuk bermain di klub Darwen, satu persatu perubahan terjadi dalam permainan dan iklim sepak bola Inggris. Permainan sepak bola Inggris yang awalnya cenderung mengandalkan kemampuan individualis dan bermain kuli karena menang postur fisik, sedikit demi sedikit berubah lewat cara permainan Suter yang berfokus pada kerjasama tim dan umpan-umpan pendek.
ADVERTISEMENT
Klub Darwen dengan Fergus Suter sebagai ujung tombaknya menjadi klub pekerja pertama yang hampir menjuarai FA Cup. Sayangnya hal tersebut dijegal oleh tindakan licik Arthur Kinnaird (Edward Holcroft) dan kawan-kawan di komite FA Cup agar pertandingan digelar dua kali. Meskipun pada akhirnya Darwen kalah dari Old Etonians, hal tersebut tidak memadamkan harapan klub-klub pekerja untuk menjuarai FA Cup dan mengubah iklim sepak bola Inggris yang sangat feodal itu.
Seperti sudah jatuh tertimpa tangga, setelah terdepak dari FA Cup gara-gara dicurangi, klub Darwen juga harus menerima musibah lainnya. Yaitu pemotongan upah buruh sebesar 5% sampai 10% yang membuat para pemain yang juga jadi buruh di Darwen tidak memfokuskan diri lagi untuk bermain sepak bola dan memilih untuk mogok kerja. Ketidakjelasan ini membuat Fergus Suter yang sedari awal emang pengen digaji untuk hanya bermain bola bukan pengen demo memutuskan untuk hijrah dari klub Darwen ke Blackburn.
ADVERTISEMENT
Blackburn yang bakal menggaji Fergus Suter secara profesional dan juga masih berada di kompetisi FA Cup ini membuat Suter tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Dengan berat hati, Suter pindah dan tentunya kepindahan tersebut menyulut kemarahan warga Darwen dan rekan setimnya. Mereka menganggap Suter sebagai pengkhianat karena Blackburn adalah klub rival sekota di Darwen. Mungkin kalau sekarang kayak Chelsea dan Arsenal yang sama-sama di kota London.
Namun berkat negosiasi antara pemilik klub Darwen dan Blackburn, akhirnya Darwen beserta warganya memutuskan untuk mendukung Blackburn untuk menjuarai FA Cup dan mencetak sejarah sebagai klub pekerja pertama agar bisa mengubah iklim sepak bola Inggris yang aristokrat itu, sehingga Darwen dan bahkan klub pekerja lain juga dapat manfaat dari menangnya Blackburn nanti.
ADVERTISEMENT
Ketika akhirnya Blackburn sudah mencapai final FA Cup dan akan melawan Old Etonians, musibah datang lagi. Komite FA yang juga pemain Old Etonians mencoba untuk menjebak Blackburn supaya didiskualifikasi karena melakukan kecurangan. Seperti membeli Fergus Suter—yang kala itu bisnis dan menggaji pemain dalam sepak bola adalah hal yang dilarang—dan juga ditakutkan akan merusak tradisi sepak bola Inggris yang sarat akan “kebanggan daerahnya.”
Keputusan komite FA ini ternyata malah ditentang oleh Artur Kinnaird—yang dikemudian hari bakal menjadi ketua FA. Beliau menganggap keputusan yang dilakukan FA tidak dirundingkan bersama dirinya dan menurutnya hal tersebut sangatlah nggak sportif dan pengecut.
Karena pengaruh Artur sangat besar di FA Cup dan Old Etonians, akhirnya FA Cup memutuskan untuk tidak jadi mendiskualifikasi Blackburn di Final FA Cup. Keputusan tersebut ternyata merupakan keputusan yang sangat berpengaruh sampai sekarang, karena di laga final, Blackburn menjadi klub pekerja pertama yang menjuarai FA Cup dan berhasil mengubah iklim sepak bola Inggris bahkan dunia menjadi sepak bola modern yang kita kenal dan nikmati sekarang.
ADVERTISEMENT
Setelah menonton enam episode mini-series yang disutradarai oleh Julian Fellowes ini saya jadi teringat oleh ucapan Om Marx kalau sejarah seluruh umat manusia ternyata selalu berbicara tentang sejarah perjuangan kelas. Saya juga semakin yakin ternyata sepak bola nggak bisa lepas dari politik dan kekuasaan, sepak bola ternyata bisa menjadi alat perjuangan yang benar-benar efektif dan progresif, seperti yang dilakukan Fergus Suter dan kawan-kawan yang mampu mengubah sepak bola menjadi suatu olahraga yang bukan sekedar permainan atau kebanggaan semata.