Memaknai Mudik dalam Dimensi Sosio-kultural dan Religius

Andhika Prima Rizaldi
Penulis lepas - Aktivis media sosial
Konten dari Pengguna
15 April 2023 18:15 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Andhika Prima Rizaldi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kemacetan saat mudik. Foto: Antara/Oky Lukmansyah
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kemacetan saat mudik. Foto: Antara/Oky Lukmansyah
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Selain maaf-maafan, ketupat, dan kue nastar ada satu hal yang akan selalu melekat dalam Idul Fitri, yaitu momen mudik. Secara sosio-ekonomi, mudik bisa dibilang merupakan salah satu event akbar di negeri ini. Kenapa? Lihat saja bagaimana aktivitas mudik dapat menggerakkan banyak sektor mulai dari persiapan menjelang mudik, saat hari H, hingga pasca lebaran.
ADVERTISEMENT
Mudik bagaimanapun tidak bisa hanya dilihat sebagai aktivitas pulang ke kampung halaman. Ada makna lebih dalam dari sekadar bertemu orang tua dan berkumpul dengan keluarga besar. Setidaknya momen ini memiliki makna dalam dimensi sosio-kultural dan religius.
Emha Ainun Nadjib mengatakan bahwa mudik bagi seorang manusia merupakan upaya untuk menemukan sangkan paran-nya. Menemukan dasar jati dirinya. Kerinduan pada kampung halaman, keluarga, orang tua sejatinya adalah kerinduan seseorang pada dirinya sendiri. Pada dirinya yang asli, yang merupakan seorang manusia. Karena sering kali tanah rantau menghantam dengan berbagai macam tuntutan yang menjadikan manusia tak ubahnya sekadar mesin penghasil laba.
Sama seperti ibadah puasa yang me-recharge jiwa manusia untuk kembali menjadi seorang insan, kembali ke kampung halaman adalah momen refleksi untuk kembali ke akar. Berbahagialah bila dalam mudik tersebut masih ada momen silaturahmi ke tetangga, keluarga jauh bahkan kawan masa kecil.
ADVERTISEMENT
Karena di sanalah letak sumber sejarah kemanusiaan kita. Untuk kembali menapaktilasi masa-masa lalu yang membawa kesadaran bahwa di balik citra yang selama ini dikenakan, ada banyak ketidaksempurnaan diri yang secara ikhlas harus diterima dan dimaafkan.
Dalam momen mudik inilah setidaknya seorang manusia akan kembali mengenal identitasnya. Hal ini menjadi penting saat harus berhadapan dengan zaman yang dipenuhi kegamangan, citra dan ketidakpastian masa depan. Sebab dengan mengenal identitas dan memiliki kesadaran akan jati diri, seseorang akan lebih mampu untuk menjawab tantangan zaman dengan memberi perubahan-perubahan positif bagi lingkungannya.
Kembali ke fitri dalam momen lebaran sungguh bermakna membawa diri pada kondisi kembali ke suci. Kembali ke keadaan nol. Bila puasa meluruhkan dosa manusia yang bersifat vertikal kepada Allah SWT, di Idul Fitri dosa yang sifatnya horizontal diharapkan dihapuskan pula. Hal ini karena saat momen lebaran, tali silaturahmi dan saling memaafkan kembali terjalin ke mereka yang selama ini mungkin terlupa oleh rutinitas.
Jamaah sholat Idul Fitri 1443 H di Lapangan Pringgondani Wonogiri. Dok.Pribadi
Dalam spektrum yang lebih luas, mudik juga memiliki dimensi religius. Bila secara primodial kerinduan manusia terejawantahkan pada rindu ke kampung halaman, dalam tataran lebih tinggi sesungguhnya jiwa manusia rindu pada Tuhannya, pada Rabb-nya.
ADVERTISEMENT
Maka dalam mudik akan berlaku kalimat innalillahi wainna ilaihiraji’un. Kesadaran bahwa jiwa manusia adalah milik Tuhannya dan kepada-Nya pula akan kembali. Juga karena tidak ada tempat lain untuk kembali.
Sehingga kita bisa melihat hubungan antara puasa dan mudik sebagai perjalanan spiritual dari dunia menuju akhirat. Puasa mengajarkan untuk menahan dan mengendalikan di tengah kebiasaan melepaskan dan melampiaskan.
Selama puasa bahkan tidak diperbolehkan menikmati hal yang sebenarnya halal selama jangka waktu tertentu. Puasa diibaratkan perang paling nyata pada kenikmatan dunia yang seakan-akan mewah dan megah. Perang kepada sifat keduniawian yang ingin mereguk semuanya untuk kepuasan sendiri.
Allah mewajibkan berpuasa supaya hamba-Nya menjadi hamba yang bertakwa. Allah sendiri yang menjanjikan surga bagi hamba-Nya yang bertakwa. Dan mudik yang paripurna adalah mudik untuk bertemu Sang Maha Terkasih di tempat terbaik di sisi-Nya sebagai hamba yang bertakwa. Dan itu semua dapat diraih setelah seorang manusia berhasil menahan nafsu kebinatangannya untuk memperoleh kemuliaan dari sisi Tuhannya.
ADVERTISEMENT
Secara fitrah, jiwa manusia ingin selalu dekat dengan penciptanya. Karena itu kita banyak melihat masyarakat modern yang mencari spiritualitas melalui metode-metode macam yoga, meditasi, mindfulness dan lain-lain. Hal ini tidak lain didasari atas kerinduan pada suatu entitas yang sesungguhnya telah bersemayam di inti jiwa manusia. Menafikkan perasaan ini berakibat pada kekosongan batin, kehilangan arah dan makna hidup.
Dengan demikian, mudik sesungguhnya tidak hanya sekadar kegiatan yang membuat macet jalan tol atau ajang pamer pencapaian. Namun lebih dari itu. Mudik adalah sarana untuk kita kembali menemukan makna kesejatian diri. Baik sebagai manusia maupun sebagai hamba Tuhan.
Sangat beruntung sekali bila melalui mudik, kita memiliki pemahaman bahwa sesungguhnya segala hal ini akan kembali ke Allah. Sehingga momen pasca mudik akan membuat kita memiliki kesadaran bahwa setiap langkah kita memiliki dasar untuk Allah dan karena Allah.
ADVERTISEMENT