Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Wawancara Eksklusif (Sekaligus Fiktif) Pohon Sengon
12 Agustus 2019 12:52 WIB
ADVERTISEMENT
Jakarta blackout membuat semua kalang kabut. Saya yang berada di Semarang juga ikut kalang kabut. Terutama ketika diminta untuk membantu mencari tahu mengapa pohon sengon berani-beraninya menyabotase hajat hidup orang banyak.
ADVERTISEMENT
Hanya karena saya tahu nama keren pohon sengon adalah Albizia chinensis, dan ia anggota suku Fabaceae, lalu saya disuruh ngobrol mencari tahu alasannya nekat membuat separuh Jawa lumpuh. Hajinguk tenan.
Bermodal pengetahuan seadanya tentang latar belakang pohon sengon, saya mencoba bertanya kepada sesama pohon sengon di dekat rumah. Karena menurut saya, ia pasti tahu visi misi pohon sengon tua menyabotase.
“Assalamualaikum. Saya Edhie yang WA (WhatsApp) minta waktu mau wawancara,” saya membuka percakapan.
“Waalaikumsalam. Memangnya sudah siap? Langsung aja, ya?” ia (pohon sengon) menjawab.
“Boleh saja langsung. Tapi sebelumnya saya minta izin panggil sampean Bizia aja ya. Nama pendek dari Albizia. Kalau manggilnya Sengon kan wagu,” saya pede saja.
“Monggo saja asal kelihatan milenial,” jawabnya.
ADVERTISEMENT
“Satu pertanyaan awal, menurut Mbak Bizia, apa visi dan misi senior sampean menyabotase stroom di Jakarta?”
“Begini. Sampean tahu kan kalau warga Jakarta dan juga pulau Jawa sudah sampai tahap ketergantungan pada energi listrik? Kami merasa ditipu dan dihina aparat. Jadi itu masalah akumulatif, kami sudah berusaha bicarakan baik-baik. Kami pernah protes dengan sedikit gangguan, mengonsletkan kecil saja. Tapi lihat akibatnya bagi kami apa?” Bizia itu malah ganti bertanya.
“Apa, Mbak?” tanyaku.
“Kami dipotong dahan-dahannya. Perlakuan mana yang lebih hajinguk dari para hajinguk yang menyimpan hajinguk dalam batinnya?” katanya.
“Berceritalah. Saya akan mendengarkan sepenuh hati, dan menuliskan sejujur mungkin, se-ori mungkin,” jawab saya.
“Sebenarnya saya suka nonton drama Korea (drakor). Dulu kami enggak bisa nonton. Ibu saya yang menceritakan ulang karena tubuhnya sudah tinggi dan bisa mengintip TV rumah gede itu. Setelah saya tinggi, saya juga bisa ikut nonton. Tapi sekarang slot waktu untuk drama Korea kan terlalu sedikit. Mana enggak ada pula gosip-gosip artis korea di TV. Jadi kami kesepian,” katanya.
ADVERTISEMENT
“Saya mengerti. Semua suka nostalgia. Ada drama, ada tragedy, ada komedi,” saya mengomentari agar tak dicurigai cuek.
“Ah, kalau itu kan masalah duniawi saja. Ini soal drama Korea, ini masalah batin. Siapa coba yang memberi kami hiburan? Bayangkan saja, kami setiap hari bertugas menyaring udara. Berjuta kubik karbon dioksida, karbon monoksida, juga bon-bon lain. Dan tanpa hiburan. Bizia lelah abang, lelah,” katanya dengan mata berkaca-kaca.
Rupanya ia sedang menahan diri agar tak menangis. Ia menceritakan tugas sebatang pohon di dunia. Bukan hanya sengon tapi pepohonan secara umum. Saat bertugas itu, sang pohon harus menjaga asupan energi. Melalui akar mereka mencari makan.
“Saya pernah mendengar curhat pohon mangga. Ia cerita, siang-malam menabung makanan dan dikumpulkan pada apa yang disebut buah. Tabungan itu berguna sebagai bekal si anak pohon untuk bertahan hidup. Anak pohon harus lahir, karena tugas pohon-pohon tua pasti akan berakhir,” Bizia bercerita.
ADVERTISEMENT
Pohon mangga itu mengeluh, bahwa kadang akarnya harus terantuk batu yang keras dan berbelok. Kadang kala ketemu tanah yang gersang, sehingga ketika menguber makanan malah mengeluarkan banyak energi. Bahkan tak jarang berujung kematian.
Tabungan yang berupa buah itu lama-lama penuh. Itulah aatnya ia akan memberikan tabungan itu kepada calon pohon.
“Tapi apa yang terjadi? Ternyata pohon mangga itu berbaik hati. Tabungan yang sedianya untuk sang anak ia berikan kepada makhluk lain. Ya luwak, ya codot, ya manusia. Nah, kalau makhluk-makhluk lain itu tak bisa memanjat, maka buah itu akan dijatuhkan. Kurang apa lagi coba. Tapi kalau tabungannya sedikit karena habis untuk bertahan hidup, biasanya manusia akan mencacah-cacah pokok pohon mangga. Sadis, kan?” kata Bizia.
ADVERTISEMENT
Saya diam. Mencoba memahami aliran kata-kata yang menderas. Saya belum menemukan apa alasan utama pohon sengon nekat membuat Jakarta dan sebagian Jawa gelap.
“Ah, sampean ternyata laki-laki enggak peka. Simpel saja kok. Senior saya itu sedang memprotes ke stasiun TV, mengapa kami kaum pohon tak pernah diberi hiburan. Kami juga protes pada mereka yang suka melihat video by demand seperti YouTube, Vidio.com, dan lain-lain, mengapa mereka sukanya menonton drama Korea dalam layar kecil. Boleh saja semua akan mengklaim bahwa terhebat, namun jika kami bertindak, kami bisa kok mematikan dan membuat kekacauan seluruh negeri,” katanya.
“Kami? Maksud sampean pohon sengon?” tanya saya.
“Eggak lah beib. Maksudnya ya pepohonan itu. Harusnya kan PLN sudah memperhitungkan membuat jaringan yang tak mengganggu kami. Lha wong tempat hidup kami di hutan juga sudah dihabiskan, mosok kami yang di tempat-tempat lain juga mau dihabisi. Bangunlah jaringan bawah tanah seperti di Amerika itu lho,” katanya.
ADVERTISEMENT
“Memang sampean pernah ke Amerika?” tanya saya.
“Belum pernah, cuma lihat dari TV. Terutama kalau film. Wah saya pernah nonton film tentang kaum kere di luar negeri. Tinggal di gorong-gorong bawah tanah, di atasnya ada kabel-kabel listrik, telepon dan banyaklah. Tapi sekarang tak bisa lagi. TV sekarang lebih suka menyiarkan drama politik, padahal kami suka drama Korea, setidaknya film India deh yang selalu ada penari-penari ganteng dan cantik menari mengitari pohon,” katanya.
“Banyak yang bilang, Jakarta blackout seperti neraka di muka bumi,” kata saya.
Bizia celingukan. Gesturnya seperti mencari-cari sesuatu.
“Cari apa Mbak?” saya bertanya.
“Malaikat Malik. Saya cari Malaikat Malik. Kalau memang Jakarta blackout itu adalah neraka, maka saya kok enggak lihat beliau, ya? Apa perlu pakai perspektif pejabat yang suka menyalahkan alam?” tanya Bizia.
ADVERTISEMENT
“Sampean lucu. Maksud saya, dengan matinya listrik, nyaris semua aktivitas di Jakarta kan mati. Gitu lho. Dan itu oleh orang Jakarta banyak disamakan dengan hidup di neraka,” kata saya.
“Manja,” ia menjawab singkat.
Saya melirik jam. Sudah cukup lama saya berbincang. Bizia rupanya tahu kegelisahan saya.
“Begini, Mas. Saya mau titip pesan saja. Sampaikan melalui media sampean bahwa kami kaum pohon ingin diperlakukan manusiawi. Kami bukan manusia tapi kalau kami diperlakukan pohoniawi atau tanamaniawi kan paling-paling cuma dapat siraman air. Itu pun enggak seberapa. Makanya kami ingin diperlakukan manusiawi. Beri kami hiburan, beri kami hak hidup. Kami ini ciptaan Gusti Allah lho. Mosok ciptaan Gusti Allah akan dikalahkan oleh ciptaan manusia. Kopet, kan? Nah bagaimana caranya, ya biar yang digaji besar itu mikir. Jangan cuma mau gajinya, terus menyalahkan alam. Kentir,” katanya.
ADVERTISEMENT
“Iya. Nanti saya tulis apa adanya,” saya berjanji.
Tiba-tiba angin bertiup dan bau dupa menembus hidung saya. Kaki saya mendadak seperti ditusuk jarum dan gatal sekali. Kulirik sebentar, seekor nyamuk sedang nungging di kaki. Aaahhh saya baru ingat menyalakan obat nyamuk beraroma dupa. Laptop saya tutup. Tidur. [][][]
Edhie Prayitno Ige~
Penyuka anggrek gratisan, tinggal di Semarang.