Ada Hantu Skorsing dan Drop Out Yang Menggentayangi Para Mahasiswa

Andi Adam Faturahman
Masih fokus merawat ikan cupang hingga lupa akan niat belajar.
Konten dari Pengguna
28 Mei 2020 15:29 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Andi Adam Faturahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Oleh: Andi Adam Faturahman
Ilustrasi Hantu Skorsing dan Drop Out Yang Menggentayangi Mahasiswa
Pemberian sanksi skorsing maupun Drop Out (DO) masih menjadi senjata pamungkas para birokrat kampus yang tak tahan kritik dari mahasiswanya. Pemberian sanksi tersebut biasanya dilayangkan secara sepihak tanpa ada kompromi untuk menilai mana yang benar atau salah. Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi tidak mengatur masalah terkait skorsing maupun DO mahasiswa. Hal ini jelas memberikan keluasan otonomi bagi para birokrat kampus untuk mengatur rumah tangganya sendiri tanpa ada campur tangan lembaga Negara yang menaungi. Sedangkan pada Peraturan Menteri Riset dan Pendidikan Tinggi (Permenristekdikti) No. 44 Tahun 2015 Tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi tertuang jika lembaga Negara tersebut hanya mengatur batas masa studi mahasiswa.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut tentu saja memberikan keluasan otonomi bagi kampus untuk mengatur baik itu rumah tangganya, ekosistem kehidupan kampus, ataupun menjadi penentu nasib mahasiswa yang membangkang terhadap regulasi kampus. Hal ini pun menjadikan kampus sebagai hakim, jaksa, bahkan algojo dalam menerapkan kebijakannya. Terhitung sejak dari rentang tahun 2016 hingga 2020, telah terjadi beberapa kali kasus skorsing maupun DO yang dilakukan kampus terhadap mahasiswanya. Keputusan tersebut didasari oleh dua faktor besar seperti bermasalah dalam administrasi keuangan maupun terlalu kritis atau sering mengkritisi kebijakan yang ada di kampusnya yang dinilai bisa saja menimbulkan ancaman bagi para birokrat kampus
Pada tahun 2020 saja, terhitung sudah ada tiga kasus DO mahasiswa, mulai dari mahasiswa IAIM Sinjai, UKI Paulus Makassar, dan yang terbaru kasus Togi dari Universitas Bunda Mulia (UBM). Kasus tersebut bermula dari kekecewaan yang memunculkan kritik para mahasiswa terkait kebijakan yang diterapkan di kampusnya. Data ini pun merupakan data yang hanya diketahui penulis, mungkin masih banyak kasus serupa yang tidak terekspose media dan tidak diketahui oleh penulis. Kasus DO yang terkesan diputuskan secara sepihak oleh pihak kampus tentu saja telah menciderai demokrasi dan kebebasan untuk berpendapat sekaligus mencabut hak mahasiswa untuk memperoleh pendidikan seperti yang termaktub dalam pasal 31 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945.
ADVERTISEMENT
Penyebab Mahasiswa Rentan Terkena Sanksi Skorsing maupun DO
Tiadanya perlindungan terhadap mahasiswa yang menjadi korban skorsing ataupun DO menjadi penyebab utama dalam hal ini. UU No. 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi sama sekali tidak mengatur terkait masalah ini, sehingga kampus mempunyai otonomi yang luas untuk memberikan sanksi tersebut kepada mahasiswanya tanpa ada campur tangan dari pihak lain. Walaupun ada beberapa upaya yang dilakukan oleh mahasiswa yang menjadi korban dengan mencari bantuan advokasi baik kepada lembaga pemerintahan maupun Non Government Organization (NGO) tapi tetap saja hasilnya nihil karena terbentur otonomi kampus yang menyebabkan upaya tersebut hanya sebatas himbauan belaka dan kurang bertaji. Beberapa kasus memang berhasi dibatalkan dengan mengupayakan dukungan solidaritas dan perhatian media yang memunculkan opini publik. Akan tetapi tidak mungkin jika hal seperti itu dijadikan sandaran secara terus menerus, semua akan terbentur dengan ketidakcukupan sumber daya untuk membuat opini publik. Ditambah lagi, upaya tersebut bisa saja tenggelam seiring dengan maraknya kasus serupa yang kian menjamur.
ADVERTISEMENT
Harus Turun Tangan!
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) selaku lembaga Negara yang kini menaungi dunia pendidikan dari dasar hingga tinggi, perlu turun tangan dan melindungi para pelajar atau mahasiswa yang dicabut hak-nya untuk mendapat pendidikan. Kemdikbud perlu merevisi atau bahkan mencabut UU No. 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi dan menggantikannya dengan Undang-Undang yang lebih bersahabat dengan pelajar atau mahasiswa. Terkait kasus skorsing maupun DO, Kemdikbud perlu jadi mediator dan problem solver dalam menaungi kasus tersebut agar tiada lagi kasus skorsing atau DO yang diputuskan secara sepihak tanpa kompromi, maupun tanpa melihat benar atau salahnya mahasiswa.
Harapan Akan Kampus Merdeka
Upaya Kemdikbud dengan menghadirkannya metode “Kampus Merdeka“ akan selaras dan disambut baik oleh para mahasiswa dengan mencabut UU No. 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi. Dengan dicabut atau direvisinya UU tersebut dengan UU yang lebih bersahabat dengan mahasiswa, serta memberikan kebebasan berpikir, berpendapat, dan menciptakan ruang demokrasi yang luas maka akan memberikan kesan akan “Kampus Merdeka” yang selama ini diharapkan oleh mahasiswa. Kemdikbud perlu mengembalikan lingkungan kampus yang saat ini menjadi anti kritik dan non demokratis, menjadi lebih merdeka sepenuhnya! Agar tiada lagi mahasiswa yang babak belur di kampusnya sendiri.
ADVERTISEMENT