Harta Berharga

Andi Chorniawan
Redaktur koran di Kota Madiun
Konten dari Pengguna
16 Mei 2021 20:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Andi Chorniawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Salah satu potongan adegan dalam film Our Little Sister.
zoom-in-whitePerbesar
Salah satu potongan adegan dalam film Our Little Sister.
ADVERTISEMENT
Ada delapan orang di dalam sebuah gambar ilustrasi. Mereka terbagi menjadi tiga kelompok usia. Lima anak, dua orang dewasa, dan seorang nenek. Kehangatan keluarga tiga generasi itu digambarkan tengah melihat foto-foto kenangan.
ADVERTISEMENT
Hati saya berdesir membaca teks pada gambar yang diunggah salah satu akun nostalgia di media sosial itu. Tulisannya: Semua pasti berubah jika yang berkerudung putih sudah tidak ada. Yang dimaksud berkerudung putih adalah si nenek. Ada lingkaran di kepalanya sebagai penanda.
Kalimat tersebut mengundang tanya. Apa maksud “semua” dan “berubah”? Saya lihat kolom komentar. Ada netizen yang memberi tahu bahwa keluarganya sering berkonflik sejak kepergian nenek. Ada pula yang bercerita lebaran menjadi sepi karena anggota keluarga di tanah rantau tidak pulang. Wah-wah...
Jika suasana menjadi hampa, saya setuju. Tapi, kalau ikatan keluarga mengendur, tidak sepenuhnya sepakat. Mengapa? Kalaupun benar realitanya seperti yang diceritakan, kesannya terlalu menyudutkan si nenek.
Bukan perkara mudah membagi waktu libur Lebaran bagi orang dewasa. Terutama yang sudah hidup mandiri di kota orang. Selain harus menyiasati tempo libur yang pendek, juga memikirkan rumah orang tua mana yang bakal dikunjungi terlebih dulu. Makanya, ada yang mengambil jalan tengah: Tahun ini mudik ke rumah orang tua suami, giliran orang tua istri tahun depan, dan begitu seterusnya.
ADVERTISEMENT
Celakanya, pada tahun berikutnya, kondisi keuangan kembang kempis. Langkah bijak yang diambil adalah menunda mudik, menggantinya di momen libur berikutnya, atau menunggu neraca keuangan membaik. Kalau situasinya seperti itu, di mana pengaruh kepergian si nenek terhadap tradisi kumpul keluarga?
Masih dalam kasus yang sama. Ada salah satu keluarga absen silaturahmi via Zoom. Apakah biang ketidakhadiran tatap muka virtual itu kepergian si nenek? Tentu tidak. Si nenek meninggal jauh sebelum telekonferensi video itu marak digunakan.
Pergeseran nilai tradisi atau munculnya konflik setelah tiadanya sosok orang tua jamak dibicarakan masyarakat kita. Kalau faktanya memang seperti itu, kasihan sekali orang tua yang telah tenang di peristirahatan terakhir.
Kisah orang-orang yang tidak pernah berziarah ke makam leluhur bisa menjadi contoh. Dulunya sering diajak melaksanakan amalan sunah tersebut. Setelah berdoa dan menaburkan bunga, orang tuanya berpesan: “Tolong diingat, ini makam kakekmu, sebelahnya nenek, dan yang keramik putih itu makam ibunya kakek. Kalau tiba giliran bapak dan ibu, makamnya nanti mungkin di sebelah kakek atau nenek. Jangan lupa kirimkan doa! Kalau bisa jangan hanya momen Idul Fitri, tapi setiap kali pulang rumah.”
ADVERTISEMENT
Namun, setelah si anak tumbuh dewasa dan kedua orang tuanya meninggal, pesan tersebut hanya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Ketika pulang kampung, sama sekali tidak pernah menyempatkan waktu untuk berziarah. Lantas, pantaskah terpotongnya tradisi itu sebagai beban kesalahan si orang tua?
Perselisihan dalam keluarga itu bumbunya kehidupan. Naif kalau mengaitkannya dengan telah tiadanya sosok orang tua. Kita agaknya perlu menyerap sari dari film-filmnya Hirokazu Kore-eda. Lewat cerita yang berfokus pada keluarga, sutradara Jepang itu mengajak saling bergandengan tangan, dan tidak melupakan seseorang yang sudah meninggal lewat tradisi ziarah. Entah apa situasinya, polemiknya, dan menepikan kesalahan-kesalahan pada masa lampau.
Sachi, kiri, menemani ibunya berziarah. Potongan adegan film Our Little Sister.
Our Little Sister (2015), misalnya. Premisnya cukup sederhana. Keputusan Sachi Koda mengajak Suzu Asano tinggal serumah sempat dipersoalkan bibi dan ibunya. Pemicunya, Suzu adalah anak hasil perkawinan sang ayah dengan istri kedua. Konflik keluarga sesungguhnya bukan karena Sachi mengajak tinggal seatap adik sambungnya itu setelah sang ayah meninggal, melainkan retaknya rumah tangga yang terjadi 15 tahun silam.
ADVERTISEMENT
Jadi, kenapa tidak mengamalkan hal-hal baik yang ditinggalkan orang tua? Dan, mengapa tidak memupuk perhatian dan kepedulian terhadap sesuatu yang oleh Arswendo Atmowiloto dan Harry Tjahjono disebut harta berharga itu?
Menjelang Lebaran beberapa waktu lalu, muncul gambar ilustrasi lainnya di salah satu media sosial. Yang membedakan, suasananya lebih riuh. Saya hitung ada 22 orang di dalam sebuah ruangan. Ada yang asyik menonton televisi, main handphone, bercengkerama, makan, dan menunggu giliran mandi.
Narasinya: Kondisi rumah akan berubah saat orang di dalam lingkaran telah tiada. Teks yang menyertai dilengkapi emoticon sedih menangis. Coba tebak siapa yang berada di dalam lingkaran! Ya, lagi-lagi si nenek. Belakangan baru saya tahu kalau ilustrasi itu telah dibagiulangkan oleh banyak warga di ruang maya.
ADVERTISEMENT
Ingin rasanya menimpali: Memangnya suasana rumah tidak akan berubah kalau yang tiada itu si bapak menunggu giliran mandi? Atau anak-anak yang asyik menonton televisi?
Banyak yang mengamini kepergian si nenek berpengaruh besar dalam ikatan anggota keluarganya. Barangkali mereka memang punya kedekatan yang lebih dengan si nenek. Sebab, kecenderungannya, rasa kehilangan yang mendalam itu karena menyimpan banyak kenangan dengan yang ditinggalkan.
Sedikit cerita, kakak keempat saya meninggal pertengahan tahun lalu, dan nenek dua tahun sebelumnya. Kalau ada timbangan kesedihan dengan satuan ukur tangis, saya lebih banyak menangisi kepergian kakak ketimbang nenek.
Kecilnya duka atas kepergian nenek bukan karena saya tidak dekat dengan almarhumah. Namun, kala itu saya sudah siap dan tabah. Nenek meninggal karena faktor usia meski ada penyakit komplikasi yang menyertai. Sedangkan kakak wafat di usia tergolong muda karena penyakit kanker. Meninggalkan dua anak perempuan yang masih seusia SMP dan balita.
ADVERTISEMENT
Akal anak lima tahun tidak bisa merasakan sedih atas kepergian orang penting dalam hidupnya. Nalarnya juga belum bisa memahami krusialnya sosok ibu dalam tumbuh kembangnya kelak. Ya, tentu saja suasana pertemuan keluarga–baik tatap muka langsung atau telekonferensi video–kini tidak lagi sama.
Ngomong-ngomong, saya mengurungkan niat menimpali, dan berandai menjadi kreator dua ilustrasi itu. Saya melingkari semua sosok di gambar dan menuliskan kalimat: Kita tidak tahu betapa berharganya orang-orang dalam lingkaran ini sampai akhirnya kehilangan mereka.