PEMBANGUNAN TELUK UTARA JAKARTA DAMPAK UNTUK NELAYAN SEKITAR

Konten dari Pengguna
3 Mei 2018 22:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Andi Febriyansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
JAKARTA, - Nelayan di Muara Angke, Pluit, Penjaringan , Jakarta Utara tidak akan melakukan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung (MA) atas putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta terkait kasus reklamasi pulau G. Sehingga putusan pengadilan banding ini sudah berkekuatan hukum tetap ( inkracht van gewijsde).
ADVERTISEMENT
Ketua RW 11 kelurahan Pluit, penjaringan , Jakarta Utara, Haji Khafidin mengatakan , para penggugat tidak akan memperpanjang gugatan hukum tersebut termasuk diantara lima nelayan yang menguggat izin reklamasi diluar dua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
Menurutnya , putusan nelayan mengugat pemprov DKI ketika karena tidak adanya sosialisasi yang cukup seputar proyek pada masyarakat. Saat itu, baik Pempov DKI maupun para pengembang kurang berkomunikasi dengan warga dikawasan pesisir tersebut.
Wakil ketua Forum Kerukunan Masyarakat Nelayan Muara angke “Sugianto” mengaku bergadai kegiatan nelayan disekitar tempat tinggalnya berkurang sejak tahun 2012 atau sejak proyek reklamasi mencuat.
“ Dulu kalau kepulau gampang, sekarang tidak bisa. Tidak bisa bikin ternak karang ijo lagi , karena tidak bisa sudah hancur akibat proyek pulau G, kapal juga tidak masuk “ungkapnya”.
ADVERTISEMENT
Sekedar, diketahui bahwasannya ,PTTUN Jakarta pada 13 oktober 2016 telah mengabulkan banding Pemprov DKI terkait putusan pengadilan Tata Usaha Negara yang membatalkan SK Gubernur DKI Nomor 2.238 tahun 2014 tentang Pemberian Izin Reklamasi pulau G . Putusan banding ini menjadi dasar kegiatan pembangunan pulau G dapat dilanjutkan kembali. Pembangunan pulau “G” sanagta menindas masyarakat nelayan di muara angke yang menjadi mata pencaharian sehari-hari, beum lagi ditambah dengan sedikitnya persediaan air tanah di ilayah utara Jakarta banyak dari masyarakat sekitar menjadi konsumtif yang tidak dapat menikmati air tanah. Karena pengambilan air tanah berlebihan di pusat kota Jakarta yang di penuhi oleh gedung-gedung tinggi yang di prioritaskan oleh perlhotelan, perkantoran, dan restoran.
ADVERTISEMENT