POP Kemendikbud, Produk Manajemen Publik yang Gagal?

Andi Muhammad
Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Brawijaya, Wakil Menteri Kebijakan Publik BEM FISIP UB 2020
Konten dari Pengguna
29 Juli 2020 20:48 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Andi Muhammad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pendidikan Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pendidikan Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
Program Organisasi Penggerak (POP) adalah sebuah program milik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang akhir – akhir ini menuai kontroversi. Pada dasar nya POP adalah sebuah program yang menjadi bagian dari program kerja Sekolah Penggerak milik Kemendikbud. Lewat POP Kemendikbud mencoba menggandeng organisasi masyarakat (ormas) dan relawan pendidikan untuk mentransformasi sekolah – sekolah agar mampu mendemonstrasikan kepemimpinan pembelajaran (instrucitional leadership) dan mampu meningkatkan hasil belajar siswa. Organisasi yang berpartisipasi dalam program ini nantinya akan mendapat dukungan dari pemerintah seperti dana bantuan. Kemendikbud menganggarkan dana sebesar Rp 595 miliar untuk program tersebut. Pada tahun 2020-2022 Program Organisasi Penggerak memiliki target peningkatkan meningkatkan kompetensi 50.000 guru, kepala sekolah dan tenaga kependidikan di 5.000 PAUD, SD dan SMP. Tidak semua ormas dapat berpartisipasi dalam program ini, ada tahap seleksi yang harus dilakukan agar terdaftar sebagai organisasi penggerak dalam program ini.
ADVERTISEMENT
Bicara soal besar bantuan berupa dana, besar bantuan dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan banyak sasaran satuan pendidikan, yakni kategori satu (Gajah) dengan sasaran lebih dari 100 satuan pendidikan, akan memperoleh bantuan maksimal Rp20 miliar per tahun, kategori dua (Macan) dengan sasaran 21-100 satuan pendidikan, dapat bantuan maksimal Rp5 miliar per tahun dan kategori tiga (Kijang) dengan sasaran 5-20 satuan pendidikan, dapat bantuan maksimal Rp 1 miliar per tahun. Kemendikbud menyatakan sudah ada 156 ormas yang lolos dalam POP ini.
Lalu dimana masalah nya?
Kontroversi program ini dimulai ketika 2 ormas besar yang tadinya terdaftar sebagai organisasi penggerak yaitu Muhammadiyah dan LP Ma'arif Nahdlatul Ulama (NU) menyatakan mundur dari program ini. Disusul dengan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang menyatakan mundur dari program ini.
ADVERTISEMENT
Mundur nya 3 organisasi yang selama ini terkenal atas kontribusi nya dalam pendidikan Indonesia ternyata memiliki alasan yang hampir sama. Yaitu, kriteria pemilihan dan penetapan peserta program organisasi penggerak tidak jelas.
Muhammadiyah beranggapan pemilihan organisasi masyarakat yang ditetapkan lolos evaluasi proposal sangat tidak jelas, sebab tidak membedakan antara Ormas dan CSR (Corporate Social Responsibility). CSR sendiri dapat diartikan sebagai tanggung jawab sosial perusahaan merupakan perkembangan proses untuk mengevaluasi stakeholders dan tuntutan lingkungan serta implementasi program-program untuk menangani isu-isu sosial. Dalam POP ini ada beberapa CSR yang berpartisipasi didalamnya salah satunya adalah Yayasan Putera Sampoerna.
Jika CSR dapat berpartisipasi sebagai organisasi penggerak artinya CSR juga mendapat dana bantuan dari pemerintah. Inilah yang juga turut dipermasalahkan. Anggota Komisi X DPR RI Fraksi PPP Illiza Sa'aduddin Djamal juga menilai program ini tidak transparan. Kurang nya transparansi ini lah yang membuat 3 ormas besar tersebut menyatakan mundur.
ADVERTISEMENT
Namun, masalah ini sudah selesai dengan pernyataan maaf oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim kepada ketiga ormas tersebut. Namun permintaan maaf tersebut tidak dapat memastikan kembali nya ketiga ormas tersebut untuk berpartisipasi dalam POP.
POP dan Manajemen Publik yang gagal
Sejatinya Kemendikbud adalah sebuah instansi yang pasti nya mengemban aspek – aspek umum organisasi seperti fungsi manajemen seperti planning , organizing, dan controlling. Karena kemendikbud adalah instansi publik sudah seharusnya dalam melaksanakan fungsi manajemen dengan sumber daya manusia, keuangan, fisik, informasi, dan politik dengan sepenuh nya dipergunakan untuk kepentingan public. Hal itu lah yang disebut manajemen public.
Melihat praktik POP yang penuh kontroversi,dapat diasumsikan bahwa dalam menjalankan program ini kemendikbud keliru dalam praktik manajemen public dimana dalam langkah planning seharusnya kemendikbud mampu memahami threats atau ancaman yang akan datang dalam proses berjalannya program ini seperti menaruh CSR dan ormas dalam wadah yang sama. Kemudian dalam organizing dalam praktik POP seharusnya dapat lebih transparan dengan anggaran yang cukup besar jumlahnya baik transparan dengan dana atau proses melaksanakannya. Dalam tahap controlling Nadiem Makarim sebagai Mendikbud seharusnya mampu melakukan control yang baik atas program ini sehingga tidak perlu menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat
ADVERTISEMENT
POP dalam Perspektif NPM
Dalam ilmu manajemen public ada sebuah perspektif yang dikembangkan yaitu, New Public Management (NPM) sebuah perspektif dimana beranggapan bahwa praktik manajemen sektor swasta lebih baik dari praktik manajemen sektor public. Istilah yang dikembangkan oleh Osborne dan Gaebler ini mengambil konstruksi nilai demokrasi sendiri. Oleh karena itu penerapan NPM dipandang sebagai bentuk reformasi manajemen, depolitisasi kekuasaan atau desentralisasi wewenang yang mendorong demokrasi.
Penulis melihat, dalam program kemendikbud satu ini menerapkan perspektif NPM dimana POP memberikan kesempatan sektor swasta (baik ormas atau relawan pendidikan) untuk turut serta dalam salah satu program kerja negara. Namun sayangnya dalam menggunakan perspektif NPM kemendikbud cenderung setengah setengah. Seperti perancangan POP yang seharusnya kemendikbud dapat melibatkan ormas ormas berpotensi terlibat seperti Muhammadiyah. Kemudian dalam praktik kemendikbud tidak memberikan klasifikasi untuk CSR tersendiri seperti yang diketahui CSR adalah anak buah perusahaan namun karena tidak diklasifikasikan akhirnya CSR memiliki hak yang sama atas organisasi penggerak lainnya dalam segala jenis bantuan. Kemudian NPM dikonseptualisasikan sebagai praktik yang akuntabel atau transparan untuk memastikan efektivitas, jaminan kualitas, penilaian kinerja, dan produktivitas. Namun kemendikbud gagal dalam menunjukkan akuntabilitasnya dalam program nya kali ini
ADVERTISEMENT
Evaluasi perlu dilakukan
Evaluasi jelas kata kata yang cocok untuk Mendikbud serta jajarannya dalam program ini terlebih lagi pada masa pandemi ini sektor pendidikan terdampak cukup berat. POP seharusnya hadir sebagai solusi, baik sebagai solusi dari wabah pandemi ini atau solusi atas permasalahan pendidikan yang tak kunjung usai
Kebijaksanaan juga diperlukan untuk ketiga ormas yang merasa tersakiti atas program ini agar tetap berkomitmen memajukan pendidikan Indonesia dengan ada atau tidak nya POP.