PLTS Kurang Kompetitif: Perlukah Indonesia Belajar dari Negara Lain?

Andi Novita Mama Anugrah
Undergraduate Petroleum Enginering Student UPN Veteran Yogyakarta II Renewable Energy Enthusiast
Konten dari Pengguna
4 September 2021 15:06 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Andi Novita Mama Anugrah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pembangkit Listrik Tenaga Surya (https://pixabay.com/id/photos/fotovoltaik-sistem-fotovoltaik-2138992/)
zoom-in-whitePerbesar
Pembangkit Listrik Tenaga Surya (https://pixabay.com/id/photos/fotovoltaik-sistem-fotovoltaik-2138992/)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Peralihan dari energi fosil ke energi terbarukan perlu didukung kebijakan yang jelas dan tegas. Salah satunya perlu harga yang kompetitif dan regulasi kebijakan untuk menciptakan kemudahan pengguna PLTS.
ADVERTISEMENT
Isu transisi energi menuju energi terbarukan saat ini marak diperbincangkan. Energi terbarukan akan menjadi sumber energi dengan pertumbuhan paling cepat Beberapa perusahaan telah mengekspansi bisnisnya ke pengembangan EBT.
Peningkatan EBT diproyeksikan mencapai lima kali lipat pada tahun 2040 dengan menyediakan sekitar 14% energi primer global. Berdasarkan International Badan Energi, EBT menyumbang hampir dua pertiga kapasitas daya bersih baru di seluruh dunia. Ini akan menjadi peluang yang besar.
Diklaim sebagai negara dengan potensi tenaga surya 10 kali lipat dari Jerman. Indonesia akan berusaha meningkatkan porsi PLTS hingga 3,6 GW di tahun 2025. Itulah yang menyebabkan PLTS termasuk energi yang berkembang pesat di dunia. Tercatat lima negara pengguna PLTS terbesar yaitu Tiongkok, USA, Jepang, Jerman, dan India.
ADVERTISEMENT
Komitmen untuk beralih ke energi bersih bukan hanya sekadar wacana belaka. Terbukti dengan meningkatnya pengembangan EBT, khususnya PLTS. Tak perlu dipertanyakan lagi, PLTS menjadi primadona di berbagai negara. Setiap negara maju mulai meningkatkan kapasitas PLTS untuk dapat memenuhi kebutuhan negaranya.
China menjadi pemain terdepan dalam pengembangan PLTS terus berinisiatif menciptakan hal baru yang didukung oleh kebijakan pemerintahnya. Bukan hanya unggul dibidang teknologi, China juga memilki modal yang besar untuk pengembangan PLTS.
Di UAE, proyek PLTS dibebaskan dari aturan local content. Pembebasan tersebut mendorong manufaktur global untuk masuk sebagai pengembang PLTS skala besar dan tentu dapat menawarkan harga teknologi yang kompetitif.
Menilik dari kemajuan China dan UAE, lantas akan timbul pertanyaan. Kalau memang negara lain, PLTS bisa memiliki tarif yang murah, kenapa tidak di Indonesia?
ADVERTISEMENT
Indonesia sebagai negara yang memiliki potensi besar di PLTS, harusnya belajar dari China. Kalau China bisa, lantas Indonesia juga pasti bisa.
Keekonomian PLTS dapat menjadi kompetitif ketika, Indoensia mampu memproduksi material sendiri. Banyak sekali tenaga ahli dalam pengolahan raw material. Belum lagi, dari segi sumber daya material Indonesia sudah mampuni. Riset dan teknologi dari China bisa diadopsi dari China yaitu pemberian insentif kepada masyarakat. Artinya ada perbedaan harga antara listrik PLN dan listrik dari PLTS.
Pemerintah juga perlu berperan penuh, khususnya dalam penetapan kebijakan. Feed in tariff untuk pembelian listrik masih belum jelas. Tarif listrik yang diekspor dari konsumen ke PLN diduga merugikan pelanggan. Tarif PLN ke konsumen lebih mudah. Sedangkan tarif listrik konsumen ke PLN lebih mahal.
ADVERTISEMENT
Belajar dari kesuksesan negara lain, untuk membuat harga PLTS kompetitif, langkah yang dapat diambil yakni membuat model bisnis antara pengguna PLTS dan PLN adalah ekspor-impor listrik (bukan PPA). Energi yang dihasilkan PLTS pada siang hari digunakan untuk konsumsi pelanggan. Kelebihan energi yang tidak terpakai kemudian diekspor ke jaringan distribusi PLN.
Menggalakkan competitive reserve auction bagi investor dengan menawarkan proyek tarif sekompetitif mungkin. Sehingga, ekosistem PLTS di Indonesia akan berkembang dan kompetitivitas akan tercapai. Penerapan relaksasi regulasi pendukung dapat dilakukan dengan pembebasan TKDN, insentif fiskal, dan penyediaan lahan.
Pemanfaatan PLTS harus ditingkatkan. Memang saat ini, harga masih belum kompetitif. Dengan adanya regulasi dan kebijakan pemerintah, target akan tercapai. Kerja sama dengan negara yang telah berhasil juga diperlukan. Penerapan teknologi kebijakan yang terapkan oleh China dapat menjadi inisiasi bagi Indonesia. Hal tersebut dapat memenuhi kebutuhan listrik masyarakat.
ADVERTISEMENT