cover Jokowi vs Corona

Darurat Corona

Andi Widjajanto
Analisis LAB 45
31 Maret 2020 0:24 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Andi Widjajanto.
zoom-in-whitePerbesar
Andi Widjajanto.
Penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia memasuki masa kritis, terutama karena adanya indikasi pergerakan mobilitas horisontal warga dari kota-kota besar yang menjadi episentrum penyebaran Covid-19 ke daerah-daerah asal warga di pulau Jawa.
Mobilitas horisontal ini cenderung menggugurkan simulasi awal trajektori penyebaran Covid-19 yang memperkirakan pergerakan masif warga baru akan terjadi saat mudik Lebaran di awal Mei 2020.
Dinamika terbaru ini mengharuskan pemerintah untuk segera menyiapkan strategi mitigasi baru agar kurva penyebaran Covid-19 bisa ditahan kulminasinya.
Saat ini, ada dua strategi utama yang dilakukan oleh pemerintah. Pertama, menggunakan UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana untuk membentuk Gugus Tugas Covid-19.
Berdasarkan rezim bencana ini, negara menetapkan pandemi global Covid-19 sebagai bencana non-alam dan memberikan kewenangan khusus kepada Gugus Tugas untuk mengambil langkah-langkah darurat untuk melakukan percepatan penanganan Covid-19.
Rezim ini mengharuskan Gugus Tugas untuk melakukan strategi tanggap darurat dalam jangka waktu darurat yang ditetapkan hingga 29 Mei 2020. Rezim bencana ini memungkinkan Gugus Tugas untuk segera mengaktifkan mekanisme pengadaan barang dan jasa darurat sehingga kebutuhan alat-alat kesehatan seperti Alat Pelindung Diri dan Rapid Test Kit dapat segera terpenuhi.
Rezim bencana ini juga memungkinkan Gugus Tugas untuk membentuk organisasi lintas sektoral di tingkat pusat dan daerah.
Kepala BNPB Doni Monardo memberikan keterangan pers di Jakarta. Foto: Dok. BNPB
Kedua, menggunakan UU No. 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. UU ini menghadirkan rezim karantina yang memungkinkan pemerintah untuk menerapkan beragam metode kesehatan warga untuk mengendalikan penyebaran Covid-19.
Rezim karantina ini memungkinkan pemerintah untuk menerapkan metode karantina pintu masuk, karantina rumah, karantina rumah sakit, karantina wilayah, serta pembatasan sosial berskala besar. Rezim karantina ini yang sering diasosiasikan dengan terminologi social distancing, physical distancing, dan lockdown.
Logika dasar dari kedua rezim bencana dan karantina ini adalah negara harus segera hadir untuk menyelamatkan warga. Negara harus bertindak sebagai penanggap pertama (first responder), negara harus dapat menyediakan kebutuhan dasar warga selama masa tanggap darurat.
Dan, negara harus bisa menciptakan kendali ruang agar penyebaran wabah bisa diatasi. Kedua rezim ini menghadirkan peran negara sebagai orang tua yang akan berbuat apa saja untuk memastikan keselamatan anaknya.
Cukupkah penerapan kedua rezim ini untuk mengatasi pandemi Covid-19?
Jawabannya adalah tidak.
Kedaruratan yang muncul karena pandemi Covid-19 hanya bisa diatasi jika ada rezim fiskal khusus yang memungkinkan pemerintah untuk melakukan perubahan terhadap APBN 2020.
Rezim fiskal khusus ini dibentuk agar pemerintah dapat mengalokasikan Rp 400 triliun untuk mendukung operasionalisasi rezim bencana dan karantina.
Prinsip utama yang perlu ditegakkan dalam penciptaan rezim fiskal khusus ini adalah sebagai instrumen untuk memastikan strategi penanganan pandemi Covid-19 berjalan maksimal. Rezim fiskal khusus ini dibentuk bukan untuk menjaga stabilitas ekonomi makro.
Rezim bencana dan karantina merupakan rencana A yang hanya akan berhasil jika ada solidaritas dan komitmen komunitas untuk menjalankan metode-metode kesehatan warga, terutama pembatasan sosial.
Namun, meningkatnya pergerakan warga dari wilayah episentrum Covid-19 yang terjadi minggu ini mengharuskan pemerintah untuk menyiapkan rencana B.
Ilustrasi: Kiagoos Aulianshah/kumparan
Rencana B adalah rezim tertib sipil. Tujuan utama dari rezim ini adalah memastikan pemerintah memiliki kemampuan untuk segera menghilangkan potensi kekacauan sosial yang mungkin muncul saat penerapan rezim bencana dan karantina.
Tujuan utama dari rezim ini adalah menjamin terjaganya tertib sipil selama metode-metode rezim karantina diterapkan. Jika potensi kekacauan sosial tidak bisa dicegah, rezim tertib sipil yang diatur dalam Perppu No. 23/1959 tentang Keadaan Bahaya memungkinkan pemerintah untuk menerapkan status darurat sipil.
Wajah negara dalam rezim tertib sipil ini kontradiktif dengan wajah negara dalam rezim bencana dan karantina.
Idealnya, rezim tertib sipil tidak digabungkan dengan rezim bencana dan karantina. Dalam prinsip humanitarian, intrusi rezim tertib sipil harus dijadikan langkah terakhir (last resort) saat semua upaya pemerintah untuk menjalankan rezim bencana dan karantina yang normal, gagal total.
Semoga intrusi ini tidak terjadi.
Semoga pandemi Covid-19 bisa diatasi saat negara hadir dengan tangan terbuka, bukan dengan tangan besi.
***
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran corona virus. Yuk, bantu donasi sekarang!
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten