Akhir pekan lalu saya menonton Tinder Swindler, film dokumenter hit tentang mas-mas Israel sok ganteng yang morotin perempuan seantero Eropa. Simon Leviev alias Shimon Hayut mengaku anak konglomerat berlian Israel, Lev Leviev. Modus Simon selalu sama: begitu match di Tinder, si cewek diajak kencan di hotel mewah dan dirayu habis-habisan sampai resmi pacaran. Setelah 1-2 bulan, Simon mulai mengarang cerita: dia dikejar-kejar musuh sampai terpaksa hidup dalam pelarian.
Dalam keadaan genting, Simon memakai kartu kredit pacarnya supaya pergerakannya tidak bisa dilacak lewat rekaman transaksi. Simon juga menyuruh si pacar berutang dan membawakan uang tunai ke negara tempat persembunyiannya. Jumlahnya kalau ditotal bisa sampai miliaran rupiah. Padahal, uang itu dia gunakan untuk bersenang-senang dengan pacar lain di negara yang berbeda.
Meskipun ending film dokumenter ini membuat kita ingin istigfar sekaligus mengacungkan jari tengah, Tinder Swindler tetap sebuah “rekaman” menarik tentang dunia kencan modern. Para korban Simon—Cecilie Fjellhoy, Pernilla Sjoholm, dan Ayleen Charlotte—menerima banyak cibiran saat memilih menerbitkan kisah mereka di koran Norwegia, Verdens Gang (VG) dan sekarang Netflix.
Lanjut membaca konten eksklusif ini dengan berlangganan
Keuntungan berlangganan kumparanPLUS
Ribuan konten eksklusif dari kreator terbaik
Bebas iklan mengganggu
Berlangganan ke newsletters kumparanPLUS
Gratis akses ke event spesial kumparan
Bebas akses di web dan aplikasi
Kendala berlangganan hubungi [email protected] atau whatsapp +6281295655814