Untung Untung yang tidak untung, Cerita dari lantai 7 RSCM Kencana

Andreas Ricky Febrian
Reporter Liputan Khusus Kumparan
Konten dari Pengguna
25 November 2017 22:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Andreas Ricky Febrian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebelum mengawalinya, saya ingin bercerita. Sejak menginjak semester pertama kuliah, saya gandrung nonton film. Dari semua film yang saya saksikan, ada beberapa yang berkesan. No Country for Oldman, Apocalypse Now, dan Ocean 11-12-13. Film terakhir merupakan kisah "maling" yang berkelas, Tolour, tokoh antangonis dalam film menganggap, mencuri adalah seni. Sedangkan Ocean, tokoh protagonis mampu mengemas kisah mencuri menjadi sesuatu yang berkelas, tegang, lagi jenaka. Semua kisahnya diwarnai dengan perubahan rencana mendadak, akal akalan dan kesialan. Film terakhir menginspirasi saya melakukan sebuah tindakan di Minggu Pagi, 19 November 2017, di RSCM Jakarta Pusat.
ADVERTISEMENT
Malam sebelumnya, semua wartawan baru kumparan yang berada dalam desk News mendapat penugasan : mengawal Setya Novanto. Kordinator liputan membagi wartawan mengawal beberapa titik, tiang listrik tempatnya kena celaka, Gedung KPK Kuningan, dan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo tempatnya dirawat. Pukul 23:30, usai menyaksikan Arsenal menghantam Spurs, penugasan datang. RSCM menjadi porsiku, sendirian. Tidak menjadi masalah bagiku, karena London sudah merah (baca : Arsenal Menang). Mood ku bagus dan aku segera pergi tidur.
Keesokan harinya, aku tersentak. Alarm tidak berbunyi, aku bergegas membuka pintu dengan buru-buru. Susah sekali rasanya. Putaran kunci tak kunjung pas. Tak beberapa lama Alarm baru berbunyi, aku tengok layar Gawai, rupanya baru jam 6 tepat. Kuputar kunci dengan pelan dan pintu terbuka.
ADVERTISEMENT
Usai mandi, kupahami lajur di peta, dan ku tolakkan motor ke arah utara, wahai Setya Novanto aku datang. Senang rasanya bisa mengawal buron nomor wahid KPK itu dari dekat. Hari minggu lalu lintas sepi, sekalian aku bisa menghapal Jalan dari kos menuju pusat Jakarta.
Sesampai di RSCM, nampak kru televisi pulang dengan wajah kuyu. Belum tidur mereka pikirku, dan di lobby 2 RSCM, hanya beberapa media yang hadir. Mereka semuanya duduk di selasar, beberapa tidur dan beberapa yang lain asik dengan gawai masing-masing. Di pintu lobby, penjaga bersiaga di depan pintu. Wajah mereka kaku, tidak sedap di pandang. Saat itu aku bingung, apa yang harus kulakukan. Aku ingat ujaran Latif, yang kemaren sampai pukul 2 malam berjaga di RSCM, "gak jelas ndek kene, sepi, mung akeh media tok (enngak jelas disini, sepi, cuma banyak media saja),". Latif juga berujar bahwa media dilarang masuk ke lantai 7, tempat Setya Novanto dirawat. Penasaran dan geregetan aku masuk melalui lobby 1. Ku keluarkan charger, dan mendatangi penjaga di depan Lobby 1. Kedatanganku membuatnya bersiaga, tangan kirinya menggenggam HT. Sebelum ia sempat bertanya, aku sodorkan charger ku, "Mau anter charger pak," ujar ku. Dengan gestur yang ramah, sang penjaga mempersilahkan ku masuk. Dan aku, masuk ke RSCM melalui Lobby 1. Tidak ada wartawan di depan Lobby 1.
ADVERTISEMENT
Jantungku berdegup, tanganku mulai berkeringat, dan otakku bekerja cepat membuat skenario. Kubeli Kopi sachet sial di food corner RSCM seharga 15 ribu. Kuganjal perutku dengan sepotong martabak, 15 ribu pula. "Totalnya 30 ribu kak," ujar kasir tersenyum. Dengan pahit ku ucapkan selamat tinggal pada uang makan siang dan bensin ku. Bergaya seperti pembesuk, aku bergegas mencari tempat duduk di area food corner.
Kebetulan ada dua dokter disana, mereka sedang menyantap roti dan duduk food corner tersebut. Aku ambil posisi di belakang mereka. Aku menguping pembicaraanya.
"Ya kita sih gak bisa disuruh suruh, mau dia siapa kek kalo cardio nya hasilnya gitu, ya gitu," ujar seorang dokter dengan jas putihnya.
ADVERTISEMENT
Rekan bicaranya menimpali "Ya lu tau sendiri ha ha ha," pikirku melayang, apakah mereka menangani Setya Novanto?
Hal tersebut aku simpan, aku tidak berani tanya, karena takut Dokter ini akan lapor ke penjaga rumah sakit dan mendepakku dari sini.
Sesaat kemudian, datang seorang dokter, dengan kemeja coklat nya ia menyapa kedua rekan nya. "wih ngomongin yaaa?, habis meriksa siapa?, ha ha ha," ujarnya
Dokter berjas putih di meja dekatku membalas, "Biasa, ha ha ha," tanganya menunjuk ke atas.
Semakin penasaran aku dibuatnya, namun rasa ingin tahu harus ku tahan. Ku santap martabak dingin ku, kupegang kopi ku, lalu melenggang santai menuju ke lift.
Rupanya disaba sudah ada pihak keamanan bersiaga. HT nya ia siagakan dan bertanya, jawaban aku siapkan, "ke lantai 4 antar charger pak,". Ia memencet lift dan langsung aku masuk dengan gugup. Di dalam, tombol lantai 7 sangat menggoda, seolah diberi tulisan "PENCET AKU". Tapi tetap kutahan diriku mengatur strategi, aku yakin jika aku langsung beralasan hendak menuju lantai 7, pasti keamanan akan menanyaiku secara detail. Lebih jauh aku juga harus tahu terlebih dahulu, kondisi ruang perawatan di RSCM seperti apa lorong nya, resepsionis, dan ruang tunggu pembesuknya. Jujur aku belum pernah ke RSCM.
ADVERTISEMENT
Sampai di lantai 4. Lift terbuka, aku ambil jalan ke kiri. Tidak ada penjaga, hanya seorang resepsionis disana. Aku balik kanan dan duduk di ruang tunggu pembesuk. Ku atur nafas, dan kulemaskan tanganku. Panik sekali. RSCM sangat sepi, apalagi pagi hari di saat seperti itu. Kukumpulkan tekad, aku bangkit dan aku yakin, sekarang saatnya menuju ke lantai 7. Kuhembuskan nafas panjang, dan kutekan tombol lift. Di dalam lift, aku buat tanda salib dan kutekan lantai 7. Di dalam hati, jika aku diusir dari sana nanti, aku tetap bisa berikan laporan pada Mas Iqbal, kordinator Liputan.
Ketika tengah bersiap, lift terbuka di lantai 7, suara "TINGG" dari lift terdengar begitu nyaring, lebih nyaring daripada orkestra klakson di simpang Pancoran saat pukul 18:00 sore hari. Kumasukkan tanganku ke Jaket, dan bergegas keluar lift.
ADVERTISEMENT
Benar saja, 4 anggota keamanan, dengan potongan rambut cepak sudah bersiaga di lobby resepsionis. Seorang Brimob kulihat duduk disamping pintu lorong, dan seorang berpakaian Satpam ada di sampingnya. "Dead End" batinku. Sementara jauh di dalam lorong menuju kamar 705, kamar Setya Novanto dirawat, ada beberapa berpakaian hitam sedang bercengkrama. Jika tak salah hitung, ada 10an orang disana, termasuk yang kulihat di Lobby resepsionis. Seorang keamanan datang menghampiriku, diikuti seorang kawan nya lagi. "Maaf bapak ada yang bisa dibantu?," ujarnya.
Ku jawab "Mau antar charger ke Pak Agus, Pakde saya pak, kamar nomor 711," jawabku. Entah terlalu nekat atau bodoh, jawaban tersebut telah terlontar. Tak disangka, rekan keamanan yang menanyaiku membawa list.
ADVERTISEMENT
Ia mengeceknya, sadar aku akan tertangkap aku segera telepon pacarku. Namun, aku berlagak seperti sedang telepon Pakde ku. Ku katakan pada sang keamanan, "sebentar ya pakk," sang keamanan itu menyetujui nya dan membelakangi ku. "Halo pakde, ruanganya dimana sih??, aku udah di lt 7 tapi banyak keamanan" jauh diujung telepon, kekasih ku hanya menjawab "haaa, hmmm, haaaa, hmmmm," sedikit ia tertawa, namun tertawaanya itulah yang menenangkanku. Pembicaraan segera ku ulur-ulur, sambil terus berpikir untuk mengambil gambar kemudian kabur. Berharap sang keamanan jengah dan pergi. Namun sebaliknya, dua kemanan tersebut masih didepanku dengan posisi membelakangi ku. Kumatikan telpon, dan kuarahkan gawai ke arah penjaga tersebut. Mumpung ia tidak lihat, aku mengambil gambar portrait, bukan landscape seperti yang diharuskan oleh kantor. Di saat terjepit seperti itu, susah untuk mengatur posisi ponsel hape. Satu gambar aku dapat dengan tangan bergetar hebat. Dua penjaga yang membelakangi ku terlihat, dan jauh disana terlihat lorong sang buronan wahid KPK dirawat.
ADVERTISEMENT
Kuhampir lagi keamanan, "ternyata di lantai 6 pak, 611 barusan saya telepon Pakde bilang disana," ujarku. Sebuah perjudian sedang kumainkan. Sudah pasti, mereka akan melepaskan ku, pikirku. Kemudian aku bergegas menuju lift, sebuah kalimat menyambarku. Seperti palu dewa Thor membuat petir di Asgard. "Baik kalau begitu kami antar saja," ujarnya ramah dan penuh senyum kemenangan. "mati gasik (baca : mati lebih awal)," pikirku. Lesu aku rasanya, skenario terbongkar dan mungkin akan terusir dari sini. Apa yang akan aku katakan pada Mas Habibi, atau Mas Iqbal jika benar aku terusir. Ini semua inisiatif ku, tanpa arahan dari kantor.
Perjalanan dari lantai 7 ke lantai 6 sungguh menyeramkan. Sang keamanan berkordinasi dengan rekanya, "ada pengunjung mau ketemu pak agus di 611 katanya," lapor sang keamanan. Habis sudah nasib ku. Sampai di lantai 6 aku bergegas menuju ruang 611, akan langsung ku buka pintunya, siapapun disana aku akan berpura-pura menengoknya. Mengaku kenalan dari Jawa atau pernah ditolong, apapun akan ku karang, asalkan lepas dari sang Keamanan yang kira-kira memiliki tinggi 180cm dan badan yang kekar ini. Sesampai di depan pintu 611, semua strategi ku buyar. Semua rancangan dan inspirasi dari film Ocean sirna. Kamar tersebut kosong melompong tak berpenghuni. Dengan polos aku berbalik, kini sang kemanan sudah siaga, dan aku katakan padanya dengan polos "ternyata sudah pulang pak,". Mimik mukanya berubah, ia menjadi tegang bagai Seorang Polisi akan menampar residivis Narkoba yang telah tertangkap. Bendera putih kukibarkan, aku pasrah.
ADVERTISEMENT
Ia merangkulku, erat kurasa rangkulanya, "sebenarnya bapak ini dari mana?, coba jawab jujur," tanya nya. "Saya dari media pak," sembari ku tunjukkan kartu pers, Perlindungan terakhirku. Dengan tegas ia menghardik "sudah dikatakan, media dilarang masuk ke area tertentu, ketemu humas kami, atau jika tidak ketemu komandan kami, mari saya antar," tegasnya. Ia menggiringku ke koridor lift. Memencet tombol dengan kasar, kemudian mempersilakan ku masuk. Dari dalam lift, kembali dengan kasar ia menekan tombol lantai 1. Itu adalah detik-detik paling lama aku berada di lift. Semua bisa terjadi saat itu. Semua sendiku juga lemas membayangkan apa yang akan terjadi di hadapan komandan keamanan tersebut. Siap-siap disemprot dan terusir.
ADVERTISEMENT
Akhirnya lantai 1 terbuka, aku segera diserahkan kepada komandan keamanan RSCM yang berada di lobby 2. Tidak seperti yang aku bayangkan, sang komandan sedang duduk santai, wajahnya tidak garang, ia bertubuh gemuk, sinar matanya ramah. Hal tersebut sedikit menenangkanku. Ia tidak sengeri personel pimpinanya. Sang kemanan yang mengawalku menyerahkan ke komandan beserta laporan. Kami melewati seorang kemanan yang berada di samping komandan, tubuhnya tinggi, ramping dengan raut muka tegas. Ketika aku melewatinya, ia berseru "Katanya mau ketemu pak Agus, huuuu," hardiknya. Sang komandan menerimaku dan berkata, "ada perlu apa mas?," kujawab apa adanya, "saya dari media pak, mau ambil pantauan sepintas lantai 7, sedikit aja satu gambar," ujarku. Ringan ia menjawab, "ndak boleh mas, media ndak boleh ya, sana tunggu diluar sama yang lain," ujarnya. Melihat sang komandan memiliki aksen Jawa, ku jawab saja dengan bahasa Jawa Halus, "Saking Jawi nggih pak? (Dari jawa ya pak)," ujar ku. Raut wajahnya berubah, sedikit ramah ia menjawab dengan bahasa Jawa kasar "Iyo aku seko Madiun, sampeyan seko endi? (Iya saya dari Madiun, kamu dari mana),"ujarnya. "Kulo Magelang pak, Mertoyudan, caket Akmil (saya dari magelang, mertoyudan dekat Akmil), timpalku. "Owalah cerak akmil, adi ku lagi pendidikan neng kono (oh dekat akmil, adik ku sedang pendidikan disana), yasudah tunggu di luar ya nanti pasti ada yang keluar kaya kemaren," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Satu gerakan kemudian, sang kemanan yang mengawalku di lantai 7 mendorongku, kemudian mengantarku keluar dengan sedikit dorongan kecil di bagian punggungku. Ia membuka pintu dan berujar "Maaf ya mas, kami juga menjalankan prosedur," ujarnya melunak. Kemudian ia tutup pintu kembali. Dari luar terlihat sang komandan kemudian mengkordinasi kemanan, dua penjaga kini ia tempatkan di koridor lift. Kubuat laporan, kukirim foto ke kantor, dan kupakai kartu pers ku. Semua rekan pers yang ada disana hanya bisa memandang ku heran. Salah satu berceletuk, "Oh elu wartawan, gue kira bukan, pantes lu tadi masuk," ujar nya.
Diluar aku bisa bernapas lega, tidak terjadi apapun. Berita secepatnya aku kirim, kemudian keluar menghisap sebatang rokok.
ADVERTISEMENT
Sebuah pesan dari Mas Indra yang kupegang saat itu, "wartawan harus punya lebih dari 1000 wajah". Pesan tersebut nyatanya sangat berguna. Di lain hari, akan kuceritakan pengalaman ku untuk pertama kali terlibat dalam liputan penggerebekan Narkoba. Dimana aku dipaksa masuk barisan karena dikira bagian dari Intel Polres Jakarta Timur. Jadi wartawan itu seru, seru sekali. Kantor anda ada dimana saja, dan kawan anda adalah siapa saja!