Cerita dari Depan PN Jakarta Pusat: Dirampas, Tergusur, dan Lapar

Konten dari Pengguna
7 November 2017 23:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Andreas Ricky tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Cerita dari Depan PN Jakarta Pusat: Dirampas, Tergusur, dan Lapar
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hari ini adalah hari keempat, rangkaian Officer Development Program oleh kumparan.
ADVERTISEMENT
Saya adalah salah satu carep yang mengikuti ODP tersebut.
Dan hari ini saya diminta untuk ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Ini merupakan kali kedua saya, harus datang ke pengadilan. Pertama, saya mendatangi pengadilan untuk mengambil Surat Ijin Mengemudi yang ditahan oleh Polisi karena melanggar rambu lalu lintas. Dan yang kedua ini, saya datang untuk melakukan peliputan jalannya sidang Ammar Zoni, aktor berusia 24 tahun yang terlibat kasus penyalahgunaan narkotika.
Dalam persidangan, saya lihat satu toples penuh ganja kering, belum pernah selama hidup saya lihat ganja sebanyak itu, namun saya yakin, Bob Marley akan tersenyum memandang toples milik pemeran tokoh Rocky dalam sinetron 'Anak Jalanan' tersebut.
ADVERTISEMENT
Cerita sidang perkara lain, bisa kawan sekalian baca di kumparan.com dengan topik Ammar Zoni.
Kembali ke cerita saya, pukul 10.30 tepat saya sudah berada di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Berkendara bersama Heras, kawan liputan saya dari Pasar Minggu tidaklah mudah. Diperlukan gawai dengan baterai full untuk mematuhi perintah google map yang menuntun kami untuk pertama kalinya menyusuri Tugu Tani dan Monas.
Sesampai di sana, sebatang rokok saya bakar sembari menunggu sang terdakwa datang. Obrolan kami berkisar seputar parkiran Pengadilan Negeri yang dipenuhi dengan kotoran--sebut saja kotoran si mpus--
Rokok saya mulai habis seketika mendengar suara dari arah pintu masuk pengadilan.
Secara saya dan Heras, sama-sama baru pertama kali mengunjungi Pengadilan Negeri, kami mengira suara tersebut adalah pembacaan dakwaan.
ADVERTISEMENT
Kami bergegas menuju pintu depan. Rupanya bukan dakwaan yang dibacakan, melainkan gugatan. Polisi segera membentuk barikade, senapan yang melontarkan gas air mata sudah siap di pinggul mereka.
Sang penggugat naik di atas mobil pick up yang dimodifikasi, sehingga mampu membawa sebuah genset kecil dan dua pengeras suara.
Seratus lima puluhan orang berada di sekitar mobil tersebut sambil bersorak mengiyakan apa yang tengah dibacakan sang penggugat.
Ya, telah terjadi demonstrasi oleh AKAR (Aliansi Korban Reklamasi). Pada awalnya saya tidak begitu tertarik, tetapi Heras berseru “Demo nih rik! breaking, breaking!”, ujarnya semangat. Saya ambil beberapa gambar dan berbaur dengan pendemo.
Satu orang bergerak cekatan, membagi press release, sedangkan yang lain membentangkan spanduk tuntutan untuk membatalkan reklamasi di depan hidung para polisi yang menjaga.
ADVERTISEMENT
Koordinator demo, segera berseru, “Aksi kita aksi damai. jangan terprovokasi!” Nyatanya, polisi hanya berdiri dengan tampang ogah-ogahan, sesekali diantara mereka justru mengambil gambar para demonstran.
Orasi terus bergelora, beberapa berseru “Hakim jangan sampai kalah sama uang, bilang sama kami siapa yang memberi kalian uang, kami akan buru orang tersebut, dan turunkan orang lebih banyak dari ini! betul?"
Sontak masa bersorak “Betuuuullllll!!!”. Nelayan tersebut merasa tergusur, ikan mereka kini hilang, suplai ikan dari Muara Angke menipis, jika benar menipis, bagaimana mereka bisa membantu mensukseskan anjuran dari Menteri Susi yang terkenal, “Tidak makan Ikan, saya tenggelamkan”.
Saya menikmati hal tersebut sembari duduk, sambil kebingungan, bagaimana jika saya tidak bisa mendapatkan Ammar Zoni datang dengan mobil tahananya--yang ternyata benar terjadi--
ADVERTISEMENT
Namun demo ini semakin lama semakin menggelitik. Tak jauh dari tempat saya duduk, terdapat seorang ibu paruh baya, mengenakan hijab berwarna kuning, mendatangi saya sembari menangis.
“Ibu sekarang cuma bisa dapat kerang, kerang item, kecil segini-segini, untuk dijual Ibu harus masak kerang itu dulu, nggak ada ikan lagi, coba adik kesana, bahkan adik enggak bisa kesana, karena harus punya identitas, nelayan dilarang masuk juga”, ujar Ibu yang belakangan saya ketahui bernama Narwo itu.
Di samping itu, Ibu Narwo juga harus melakukan pengobatan karena penyakit gula yang ia derita. Kaki kanannya luka dibalut perban, akibat keteledoranya saat memasak kerang.
“Emang drastis banget ya bu sekarang pendapatanya (menurun)?” tanya saya.
ADVERTISEMENT
"Ya sekilo dua puluh lima ribu, sedangkan satu kilo kerang, itu berarti satu kardus kerang, coba ikan, 3-4 ikan, kami sudah dapat itu sekilo dan harga jauh lebih tinggi," keluh Ibu Narwo.
Semakin siang, perwakilan nelayan tersebut semakin melayangkan tuntutan terhadap para hakim agar tidak takut membela mereka yang tengah tergusur.
“Kami tergusur, laut kami hilang, ikan kami pergi, mana bisa negara dengan sejarah maritim dan bahari seperti ini, nelayannya sengsara," seru Diding Setiawan.
Teriakanya semakin lantang, ia mengepalkan tangan ke arah pengadilan negeri sembari berseru
“Jika terjadi intervensi, terjadi kecurangan pengadilan, kami yang biasanya melawan ombak, akan bawa ombak nelayan tersebut kemari!”.
ADVERTISEMENT
“SETUJUUUU!!," Sorak peserta demonstrasi menimpali.
Sepanjang penglihatan saya, suasana demo berjalan dengan tertib.
Hingga tiba waktu menunjukkan pukul 11.30 WIB dan kisah demonstrasi tersebut sudah saya sampaikan kepada mentor saya di kantor.
Menariknya nih, saat seorang penjual dawet datang, beberapa orator yang tadinya bersemangat sembari mengepal tinju ke udara turun satu persatu mereguk rasa gurih dawet tersebut.
Saya pun tergiur. Saya datang untuk membeli juga. Kebetulan, sejak bulan Maret saya belum sempat mereguk es dawet lagi, hitung-hitung pelipur rasa kangen kampung halaman.
Tukang dawet tersebut nampaknya datang di saat yang pas, orasi ditutup dengan anjuran sang orator untuk makan siang.
ADVERTISEMENT
Saya rasa, ia juga penasaran dengan gula aren yang ada dalam gelas-gelas es dawet di bawahnya. Nasi bungkus segera dibagikan, barikade polisi bubar, senapan pelontar gas air mata tetap senantiasa di pinggul mereka.
Perlahan namun pasti, polisi mulai beranjak pergi. Ya, mereka juga mau makan siang.
Dan terjadilah sebuah pemandangan unik, dimana polisi dan para pengunjuk rasa makan bersama di depan pengadilan negeri.
Wajah lelah tergambar di kedua belah pihak. Namun nelayan nampaknya lebih lelah menanti putusan tentang reklamasi.
Bungkusan nasi telah dibuka oleh masing-masing pihak, dan sebuah lagu mengalun.
“Merekaaaa dirampas hak nya, tergusur dan lapaaarrr”.
Kata-kata tersebut bergaung di saat dengan lahapnya polisi dan para nelayan santap siang.
ADVERTISEMENT
Tidak seperti di Bali, tolak reklamasi di Bali berhasil diubah menjadi budaya populer dan komoditi yang seksi didengungkan oleh Superman Is Dead atau Navicula.
Saya tidak terlalu mendalam mengetahui perihal reklamasi Jakarta. Namun, nelayan ini tidak bisa dihindarkan begitu saja. Saya rasa, entah baik atau tidak reklamasi itu nantinya, yang jelas nelayan hari ini meninggalkan perahu, dan menuntut berjuang di depan gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Cerita dari Depan PN Jakarta Pusat: Dirampas, Tergusur, dan Lapar (1)
zoom-in-whitePerbesar
Cerita dari Depan PN Jakarta Pusat: Dirampas, Tergusur, dan Lapar (2)
zoom-in-whitePerbesar
Cerita dari Depan PN Jakarta Pusat: Dirampas, Tergusur, dan Lapar (3)
zoom-in-whitePerbesar