Murah, tetapi Merusak Lingkungan

Angelica Chandra
Mahasiswa - Universitas Katolik Parahyangan - Ilmu Hubungan Internasional. Tertarik kepada isu-isu global dan politik internasional.
Konten dari Pengguna
4 Januari 2022 14:07 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Angelica Chandra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mobil berbahan bakar minyak menghasilkan banyak polusi udara. Foto: Pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Mobil berbahan bakar minyak menghasilkan banyak polusi udara. Foto: Pixabay.com
ADVERTISEMENT
Pembahasan mengenai krisis iklim tak akan jauh dari gas rumah kaca, emisi, polusi, dan pemanasan global. Tentunya, kita semua sudah mulai merasakan perubahan cuaca ekstrem, kualitas udara yang buruk, dan kenaikan suhu udara di wilayah sekitar kita. Hal tersebut sangat berbahaya untuk keberlangsungan kehidupan kita di masa mendatang. Lalu, apa yang memperburuk krisis iklim di Indonesia? Dapat dikatakan bahwa gas karbon dioksida (CO2) yang dihasilkan dari pembakaran Bahan Bakar Minyak (BBM) memperparah krisis iklim yang terjadi. Dengan populasi sekitar 272 juta jiwa, tentu saja negara kita memiliki jumlah mobil yang sangat banyak. Sayangnya, sektor transportasi kita masih sangat bergantung dengan BBM. Oleh karena itu, dalam rangka mengatasi krisis iklim, pemerintah harus menghentikan produksi mobil berbahan bakar minyak di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Efek ekologi yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil pada mesin mobil sangat berbahaya. Pembakaran minyak dari energi fosil menghasilkan gas buangan berupa gas karbon dioksida dan gas oksida nitrogen. Kedua gas ini tidak bisa diserap kembali oleh tumbuhan, sehingga mereka akan terjebak di lapisan atas atmosfer. Jika jumlah gas karbon dioksida di lapisan udara terlalu banyak, maka akan mendorong terjadinya pemanasan global dan hujan asam. Selain itu, hasil pembakaran mobil berbahan bakar minyak tidak ada yang 100% sempurna. Pembakaran yang tidak sempurna ini akan menimbulkan polusi udara karena menghasilkan senyawa hidrokarbon.
Diperburuk lagi dengan banyaknya kendaraan roda empat di Indonesia yang diyakini masih menggunakan BBM beroktan rendah. Pemakaian BBM berkualitas buruk meningkatkan pencemaran udara karena mengakibatkan banyak bahan bakar yang terbuang. Oleh karena itu, hasil pembakaran akan menghasilkan hidrokarbon dan karbon monoksida dengan kadar yang lebih banyak. Fenomena tersebut akan menghasilkan polusi udara yang lebih tinggi ketimbang menggunakan BBM beroktan tinggi. Namun, kelihatannya akan sulit untuk mengurangi pemakaian BBM dengan oktan rendah. Sebab, BBM beroktan rendah sangat digemari oleh masyarakat Indonesia karena harganya lebih murah.
ADVERTISEMENT
Meskipun begitu, sepertinya ada kabar gembira untuk kita semua karena berkat kemajuan teknologi dan riset di bidang otomotif, kita telah menemukan alternatif kendaraan yang lebih ramah lingkungan, yaitu mobil listrik berbasis baterai. Mobil listrik berbasis baterai menghasilkan lebih sedikit emisi dibandingkan mobil berbahan bakar minyak. Menurut pemaparan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), emisi gas karbon dioksida mobil listrik hanya 0-5 gram/kilometer. Sedangkan, emisi gas karbon dioksida yang dihasilkan mobil berbahan bakar minyak mencapai 125 gram/kilometer. Walaupun begitu, gencarnya promosi pemakaian mobil listrik harus diikuti dengan peralihan pemakaian sumber energi fosil ke energi terbarukan. Listrik yang dipakai juga harus berasal dari energi terbarukan agar tetap ramah lingkungan.
Oleh karena banyaknya dampak negatif untuk lingkungan dari penggunaan mobil berbahan bakar minyak, menurut saya pemerintah Indonesia harus menghentikan produksi mobil berbahan bakar minyak. Jangan takut tidak mendapat penggantinya, kita sudah mendapatkan alternatif, yaitu mobil listrik. BBM beroktan rendah juga perlahan harus ditarik. Promosi penggunaan mobil listrik juga harus disertai pembangunan fasilitas penunjangnya. Namun, melihat masyarakat Indonesia yang masih gemar memakai mobil berbahan bakar minyak, pemerintah harus melakukan sosialisasi. Tanpa kepedulian dan keinginan masyarakat untuk beralih ke energi yang lebih bersih, usaha pemerintah untuk mengatasi krisis iklim akan sia-sia.
ADVERTISEMENT