Sedimen Penanda Bersatunya Kepulauan Indonesia

Angga Jati Widiatama
Earthstoryteller, Dosen Teknik Geologi Institut Teknologi Sumatera
Konten dari Pengguna
22 Juli 2019 6:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Angga Jati Widiatama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi bumi. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bumi. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Kepulauan Indonesia yang terlihat seperti sekarang berumur tidak lebih tua dari 10 juta tahun yang lalu. Artinya, masih tergolong 'muda' dalam sejarah pembentukan batuan di dunia.
ADVERTISEMENT
Terbentuknya kepulauan “sumbatan/sekat” yang kini kita sebut sebagai Indonesia dicirikan oleh hadirnya batuan sedimen yang sangat spesifik, yaitu batu gamping berkomposisi foraminifera, yang melimpah dan tersebar luas dari Jawa bagian timur, Nusa Tenggara Barat-Timur, Sulawesi, Kepulauan Maluku, hingga Papua bagian barat.
Ilustrasi: arus laut global yang menunjukkan Indonesia dilewati arus permukaan yang hangat dan menjadi "sumbat/sekat" antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia (Sumber: yale.edu)
Keberadaan batu gamping foraminifera sangat umum dijumpai pada batuan berumur Miosen, atau 23 juta tahun, hingga batuan berumur Kuarter (sedimen modern) dengan ketebalan yang beragam. Ketebalan batu gamping foraminifera ini bervariasi, mulai dari 500 meter, seperti yang ada di Jawa bagian timur; hingga 3.000 meter, seperti yang dijumpai di Pulau Timor.
ADVERTISEMENT
Kenapa bisa tebal sekali? Foraminifera yang mati dan mengendap tebal disebabkan karena produktivitas tinggi yang dipicu oleh tabrakan antar-mikrokontinen, sehingga jarak laut yang memisahkan antara Asia dan Australia semakin menyempit.
Menyempitnya laut mengakibatkan arus dari laut dalam mengalami upwelling (bergerak dari dasar laut ke permukaan laut), yang didukung juga oleh posisi yang berada di Khatulistiwa. Naiknya arus laut ini membawa nutrisi laut dan plankton yang melimpah dari dasar laut ke permukaan laut, sehingga menjadi sumber makanan bagi foraminifera.
Ilustrasi: pasir Pantai Jimbaran, Bali, memperlihatkan komponen penyusun berupa foraminifera berukuran pasir hingga kerikil (Sumber: sandatlas.org)
Jika diperhatikan secara saksama, terdapat variasi durasi pengendapan batuan serta variasi ketebalan batuan yang disebabkan oleh perbedaan lokasi “sumbatan/sekat” dan variasi lokasi mikrokontinen yang membentuk “sumbatan/sekat”. Contohnya pada bagian barat Indonesia yang memiliki batu gamping foraminifera relatif tipis (kurang dari 500 meter).
ADVERTISEMENT
Sifatnya cenderung semakin lebih tipis ke arah barat, sedangkan semakin ke arah timur menunjukkan pola yang semakin tebal. Contohnya pada batu gamping foraminifera berumur Miosen-Kuarter di Sulawesi bagian timur, Maluku, Nusa Tenggara, dan Papua bagian barat yang memiliki ketebalan hingga lebih dari 3.000 meter.
Apa manfaat bagi manusia akibat fenomena ini? Tingginya produktivitas foraminifera berbanding lurus dengan ketersediaan sumber makanan bagi rantai makanan di lautan, sehingga tidak heran perairan Indonesia terkenal dengan keberagaman jumlah biota laut yang sangat melimpah.
Jika kalian jalan-jalan di pantai, mulailah coba memperhatikan pasir pantai yang ditemui, apakah semua berupa kristal kuarsa transparan, pecahan koral, foraminifera berbentuk bundar seukuran kerikil, atau bisa jadi material lain.
ADVERTISEMENT