Film Joker (2019) Membawa Kita pada Titik yang Berbeda

Konten dari Pengguna
4 Oktober 2019 16:51 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Angga Septiawan Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Salah satu adegan dalam Joker (2019). Foto: Warner Bros
zoom-in-whitePerbesar
Salah satu adegan dalam Joker (2019). Foto: Warner Bros
ADVERTISEMENT
Sejak The Dark Knight (2008) saya sudah menyukai karakter Joker. Tentu bukan tentang apa yang ia lakukan dan dampak atas hal tersebut. Saya juga jelas tak akan bersimpati kepadanya.
ADVERTISEMENT
Ini soal caranya disajikan dalam film.
Yak.. saya menyukai Joker sebagai sebuah karakter. Ia jenius, pandai merancang taktik, berani, lumayan kuat. Juga, Joker adalah sosok yang tak peduli apa yang dilakukan. Ia jahat, tapi tak ada motif sama sekali. Nihilis.
Sampai pada titik tertentu saya memimpikan punya cara pandang demikian. Saya kira akan sangat melegakan dan asyik bila suatu waktu di sebuah dunia entah di mana, kita bisa melakukan sesuatu tanpa memikirkan apa-apa. Tanpa mesti peduli dampak setelahnya. Tanpa takut.
Yang penting lakukan saja.
Semaumu. Sesukamu.
Tapi Joker (2019) membawa saya pada titik berbeda. Jika sebelumnya pada The Dark Knight saya sebatas suka, film ini bikin saya merasakan lebih dari itu. Ia mengajak kita untuk memahami sosok Joker.
ADVERTISEMENT
Bahkan sampai pada titik tertentu, kita bisa saja bersimpati kepadanya. Ini terjadi sebab segala yang menimpa Joker dalam film ini memang digambarkan sehoror itu, semenyesakkan itu, senahas itu, dan sepertinya senyata itu.
Itulah kenapa Joker berpikir bahwa, “I used to think my life was a tragedy. But now I realize, it’s a comedy.”
Saya jelas tak mesti bercerita lagi bahwa Joker merupakan musuh bebuyutan Batman --kamu pasti sudah tahu. Lagi pula film ini tak menyebut-nyebut sosok superhero muram tersebut, kecuali nama Bruce Wayne, keluarganya, dan Kota Gotham.
Sosok Arthur Fleck sebelum menjadi Joker. Foto: Warner Bros
Tapi yang pasti, Joker di sini berbeda dengan Joker-nya Heath Ledger di The Dark Knight. Mula-mula ia bernama Arthur Fleck yang diperankan dengan sangat luar biasa oleh Joaquin Phoenix. Ia seorang pria yang kira-kira berusia 40 atau 50-an tahun. Atau lebih? Entah.
ADVERTISEMENT
Segala hal yang menurut orang-orang tak semestinya terjadi pada seseorang di usia itu dialami oleh Arthur. Ia bujang lapuk yang masih tinggal bersama orang tua. Ia miskin dan hidup di apartemen kumuh. Ia punya pekerjaan --badut panggilan-- yang sialnya berujung pada pemecatan. Ia punya mimpi --menjadi stand up comedian-- tetapi tak tak kunjung terjadi.
Yang paling menyesakkan atas segalanya adalah penyakit tawa yang ia derita. Ini semacam penyakit mental yang bikin Arthur kerap tertawa tiba-tiba. Tawa itu terdengar aneh. Kedengarannya terbahak-bahak, tetapi wajahnya berkebalikan. Kadang ia juga tersedak.
Orang-orang kerap merundung Arthur karena hal tersebut. Bahkan, terapis mentalnya sendiri sudah seakan tak peduli dengan apa yang ia alami.
Dari sini saya bisa merasakan betapa Arthur menderita sakit yang tak terkira. Segala tawa yang keluar dari dirinya palsu. Suatu kali ia juga mengatakan bahwa tak pernah sedetik pun berbahagia selama hidupnya. Dan itu semua diperankan dengan sangat intens oleh Phoenix.
ADVERTISEMENT
Sejatinya, Arthur bukan sosok yang tak punya sesuatu untuk diperjuangkan. Ia juga sebetulnya punya mimpi. Tiap kali pulang ke apartemen, ia mengurus ibunya yang sakit-sakitan. Kadang mereka menonton talkshow bersama di televisi.
Talkshow itu dipandu oleh Murray Franklin (Robert De Niro) dan Arthur punya mimpi untuk bisa tampil di sana sebagai bintang tamu. Mimpi lain, Arthur ingin membuat orang-orang selalu tertawa sebagai stand up comedian.
Tapi hidup kadang tak berjalan sesuai yang diinginkan. Apa yang ia perjuangkan dan impikan malah berakhir menyebalkan. Alih-alih membikin orang tertawa, orang-orang malah menertawakannya. Di sisi lain, dunia tengah kacau. Tikus-tikus bertebaran di mana-mana. Ketidakadilan terjadi di sana-sini. Lalu Joker pun lahir. Tak ada lagi Arthur.
ADVERTISEMENT
Segala penyajian yang mengiringi kelahiran Joker ini sejatinya disajikan cuma dalam satu dimensi. Arthur dan Joker benar-benar hampir selalu muncul pada tiap adegan. Yang menarik, filmnya tak lantas berjalan begitu-begitu saja. Tak pula bikin bosan.
Ada sejumlah elemen pendukung lain yang turut diselipkan sebagai bumbu agar film yang berjalan satu dimensi ini tak terasa hambar. Beberapa di antaranya bikin syok dan pengin nangis.
Salah satu adegan dalam Joker (2019). Foto: Warner Bros
Salah satunya adalah kehadiran karakter yang diperankan Zazie Beetz. Ia seorang perempuan yang saya kira dihadirkan guna meredefinisi bagaimana sebuah kisah 'perbucinan' yang berakhir tragis. Levelnya mungkin 11-12 dengan 500 days of Summer atau Love for Sale, dan ini hal positif.
Huhuu :(
Meski begitu, ada beberapa hal yang seperti mengindikasikan bahwa si empunya film agak ragu-ragu. Film ini di awal seperti hendak menerjang kondisi sekaligus kesenjangan sosial.
ADVERTISEMENT
Bahwa ada orang kaya yang kerap semena-mena. Bahwa orang yang tak berada sering tak berdaya.
Tapi suatu waktu di pertengahan film, hal tersebut seakan terbanting. Ujungnya memang tetap menarik. Hanya, kesannya jadi seperti nanggung. Ia seperti cuma ingin menceritakan tragedi. Tak ada nilai moral yang jelas.
Oke, spoiler: Ini terkait dengan salah satu plot twist menyangkut peran ibu Arthur dan ayahnya Batman dalam film. Silakan simak sendiri untuk lebih rinci.
Untungnya, saya tetap menganggap semuanya masuk akal. Saya kira filmnya memang tak ingin terlalu jauh mengajak kita bersimpati kepada sang tokoh utama.
Ia lebih ingin mengajak kita melihat betapa sialnya nasib seorang manusia untuk memahami bagaimana sosok Joker bisa terbentuk. Untuk hal-hal macam itu, kita patut berterima kasih kepada Todd Philips. Ia penulis naskah Joker sekaligus sutradara.
ADVERTISEMENT
Karena seorang sutradara, maka dialah yang membangun atmosfer dalam film. Tiap-tiap potongannya dia bikin sedemikian rupa guna mendukung gambaran soal betapa tragisnya nasib tokoh utama kita.
Soal ini, salah satu yang paling wah adalah ketika Arthur yang terlihat tertawa terbahak-bahak di suatu ruangan. Saat keluar, frame lantas mengikuti dengan cepat secara one shot mengarah kembali kepada Arthur yang tawanya tadi, kali ini, langsung lenyap seketika. Hening.
Salah satu adegan dalam Joker (2019). Foto: Warner Bros
Omong-omong soal hening, film ini sejatinya memang berjalan demikian. Ia juga terkesan tak bisa dinikmati sebab terasa datar dan gelap. Sangat gelap yang bahkan membuat film-film DCEU lain terasa receh.
Selain itu, beberapa adegan gore yang kabarnya dijanjikan bakal sering, ternyata hanya sesekali. Menariknya, kesan yang terasa malah tetap intens.
ADVERTISEMENT
Ini tentu saja karena kemahiran Phillips dalam menjejalkan gambar. Tapi ia bukan band Kotak dan karena itu tak bisa 'Sendiri'. Ia terbantu oleh scoring yang aduhai mantap. Sepanjang film kita dibikin bergidik dengan suara-suara desing yang agak sumbang. Sangat depresif.
Prok-prok, mbak Hildur Gudnadottir.
Hal-hal macam itu pada akhirnya bikin saya berani dengan lantang menyebut bahwa Joker adalah salah satu film terbaik tahun ini. Elemen-elemen dan drama yang mengiringi berhasil membawa saya untuk tak hanya suka, tetapi cukup bersimpati dengan sosoknya.
Meski begitu, saya tak bisa bilang apakah hal yang kemudian dilakukan karakter Joker layak atau tidak. Saya juga tak tahu apakah ada satu atau dua orang di dunia ini yang bisa berakhir seperti dirinya.
ADVERTISEMENT
Yang jelas, saya yakin bahwa yang punya nasib hidup seperti Arthur --sebelum dia menjadi Joker-- itu ada. Suatu kali saat indikasinya terlihat, entah siapapun, jangan sampai kamu bikin dia berkata dengan pertanyaan seperti:
"You don't listen, do you?"
Joker (2019): 8,5/10