Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.92.0
ADVERTISEMENT
Wabah Covid-19 berpeluang besar membawa resesi global tahun ini. Meski di negara sumbernya, China, penyebaran sudah menurun tajam dan pemulihan ekonomi domestik di sana mulai berjalan, virus corona justru meluas di negara lainnya.
ADVERTISEMENT
Eropa dan Amerika, saat ini bahkan menjadi episentrum baru penyebaran wabah tersebut. Berbagai langkah pembatasan mobilitas yang diterapkan berbagai negara seperti kebijakan lockdown membuat kegiatan ekonomi nyaris lumpuh.
Dengan tingkat penyebaran di banyak negara yang masih tinggi, probabilitas pandemi Covid-19 dapat ditanggulangi dalam waktu dekat sangat kecil.
CORE Indonesia (Center of Reform on Economics) mencatat, meningkatnya kekhawatiran investor terhadap ketidakpastian ekonomi akibat Covid-19, tercermin dari indeks pasar modal di berbagai belahan dunia yang turun tajam.
Per 26 Maret 2020, beberapa indeks pasar saham utama turun lebih dari 20 persen secara year to date (ytd). Dow Jones terkoreksi 20,98 persen, Nasdaq turun 13,10 persen, FTSE 100 turun 22,89 persen, Nikkei turun 21,10 persen dan S&P Asia turun 16,17 persen.
ADVERTISEMENT
Harga sejumlah komoditas merosot sebagai respons melemahnya permintaan global. Indeks komoditas seperti batu bara, minyak sawit, dan logam, turun cukup tajam. Harga minyak mentah bahkan anjlok di bawah USD 25.
"Selain karena melemahnya permintaan global, ini juga dipicu gagalnya kesepakatan negara-negara produsen khususnya Arab Saudi dan Rusia untuk memangkas produksi minyak," tulis CORE dalam laporan resmi yang diterima kumparan, Minggu (29/3).
Untuk mengatasi tekanan ekonomi tersebut, pemerintah dan bank sentral di berbagai negara hampir serentak meluncurkan berbagai stimulus ekonomi.
Bank sentral Amerika Serikat atau Federal Reserve (The Fed) misalnya, meluncurkan program quantitative easing (QE) dan memangkas suku bunga 100 basis point (bps) menjadi 0,25 persen Bank of Canada sebesar 100 bps.
ADVERTISEMENT
Bahkan, negara-negara yang memiliki ruang ekspansi moneter yang lebih sempit juga memangkas suku bunga acuan mereka, seperti European Central Bank (-5 bps), Bank of England (-15 bps), dan Bank of Japan (-20 bps).
Selain itu, Pemerintah AS juga meluncurkan paket bantuan sebesar USD 2 triliun atau setara dengan Rp 35 ribu triliun untuk meredam dampak ekonomi wabah Covid 19.
Hanya saja, negara-negara yang mengandalkan ekspor komoditas memiliki bantalan fiskal terbatas, sehingga potensi pelebaran defisit atau peningkatan utang publik menjadi lebih tinggi.
Dampaknya Bagi Indonesia
Lonjakan jumlah penderita yang terdeteksi dengan fatality rate yang lebih tinggi dibanding negara-negara lain dalam sebulan terakhir, dinilai sangat mengkhawatirkan.
ADVERTISEMENT
"Respons pemerintah dan masyarakat yang melakukan upaya pencegahan, seperti penutupan sekolah, work from home khususnya pekerja sektor formal, penundaan dan pembatalan berbagai event-event pemerintah dan swasta, membuat roda perputaran ekonomi melambat," tulis CORE.
Konsumsi swasta, yang menyumbang hampir 60 persen pergerakan ekonomi nasional, dipastikan akan kontraksi. Penjualan ritel, baik di pasar tradisional dan pasar modern dipastikan turun.
Bahkan, sebelum kasus Covid-19 teridentifikasi di Indonesia, data Indeks Penjualan Riil yang dikeluarkan Bank Indonesia sudah menunjukkan kontraksi 0,3 persen pada Januari 2020.
Penjualan mobil selama Januari dan Februari juga turun 2,4 persen (yoy). Indikasi turunnya konsumsi swasta juga diperlihatkan anjloknya perjalanan wisata baik domestik ataupun asing.
BPS mencatat jumlah kunjungan wisatawan asing turun 7,62 persen pada Januari 2020 dibandingkan Desember 2019. Sementara, wisatawan nusantara turun 3,1 persen pada periode yang sama.
ADVERTISEMENT
Tekanan pada konsumsi swasta ini dipastikan akan lebih dalam pada bulan Maret dan juga bulan-bulan berikutnya.
"Penurunan pertumbuhan ekonomi global, khususnya negara-negara tujuan ekspor dan pelemahan harga-harga komoditas akan memberikan tekanan pada ekspor Indonesia," tulis CORE.
Hal yang sama juga terjadi pada ekspor jasa khususnya jasa perjalanan atau pariwisata. Apalagi, negara-negara yang menjadi tujuan utama ekspor Indonesia, seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa, telah menjadi pusat pandemi yang telah melampaui kasus yang terjadi di Cina.
Di sisi lain, sebagai akibat turunnya kegiatan ekonomi domestik, impor khususnya bahan baku dan modal juga mengalami kontraksi dibandingkan tahun lalu.
Dengan demikian, penurunan ekspor akan dibarengi penurunan impor, sehingga pengaruh net-ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi domestik tahun ini relatif kecil, sebagaimana tahun lalu yang memberikan kontribusi -0,5 persen terhadap PDB.
ADVERTISEMENT
Investasi Lesu
Meluasnya kekhawatiran masyarakat dan investor terhadap Covid-19, menyebabkan minat investasi juga akan turun signifikan. Sehingga, pertumbuhan investasi baru akan melambat.
Proyek-proyek investasi yang dikelola pemerintah dan BUMN akan tetap berlangsung, meskipun akan turun sejalan imbauan social distancing bagi para pekerja.
Impor barang modal yang menjadi salah satu leading indicators Penanaman Modal Tetap Bruto (PMTB) pada bulan Januari dan Februari 2020 sudah mengalami kontraksi 10,6 persen (yoy).
Menurut CORE, satu-satunya yang berpotensi menopang ekonomi domestik tahun ini adalah belanja pemerintah. Penanganan Covid-19 mengharuskan pemerintah all-out menyediakan berbagai paket kebijakan baik untuk mengobati pasien Covid-19 (kuratif) dan mencegah eskalasi penyebaran virus tersebut (preventif).
"Stimulus fiskal juga menjadi kunci utama dalam meredam dampak negatif terhadap ekonomi, terutama bagi pelaku usaha dan kelompok masyarakat yang terkena dampak paling besar," tulis CORE.
Bank Indonesia telah mengeluarkan beberapa kebijakan meredam dampak kepanikan masyarakat, terutama investor terhadap pandemi Covid-19, dengan menurunkan suku bunga (BI 7-Day Reserve Repo rate) hingga 50 bps selama 2020 ini menjadi 4,5 persen melonggarkan giro wajib minimum, dan melakukan intervensi pasar valas untuk meredakan pelemahan rupiah.
ADVERTISEMENT
Meskipun demikian, kepanikan investor di pasar modal yang memicu meningkatnya net selling asing membuat rupiah terdepresiasi hingga 16 persen (YTD) pada 27 Maret 2020. Rupiah bahkan menjadi mata uang yang terdepresiasi paling dalam di antara mata uang negara-negara ASEAN.
Melihat kondisi tersebut, CORE memastikan prospek pertumbuhan ekonomi tahun ini akan jauh lebih rendah dibandingkan tahun lalu. Jika pemerintah melakukan langkah-langkah yang lebih ‘ketat’ untuk menekan penularan wabah ini, sebagaimana yang dilakukan China, maka puncak tekanan ekonomi diperkirakan akan terjadi pada kuartal kedua, dan setelahnya (kuartal ketiga dan keempat) akan masuk masa pemulihan.
"Dengan skenario paling optimis tersebut, CORE Indonesia memprediksikan ekonomi Indonesia secara kumulatif tumbuh di kisaran -2 persen hingga 2 persen," tulis CORE.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, kondisi yang lebih buruk dapat terjadi jika penyebaran Covid-19 di Indonesia berlangsung lebih dari dua kuartal dan negara-negara yang menjadi mitra utama ekspor Indonesia juga mengalami hal serupa.
Dalam kondisi tersebut, tekanan permintaan domestik dan global akan lebih lama, sehingga sangat kecil peluang ekonomi akan tumbuh positif.
Selain melemahkan pertumbuhan ekonomi, pandemi ini juga berpotensi mendorong peningkatan angka pengangguran dan kemiskinan.
Hal ini sangat dimungkinkan mengingat jumlah penduduk di sekitar garis kemiskinan yang masih sangat tinggi, meskipun persentase penduduk di bawah garis kemiskinan mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir.
Per Maret 2019, penduduk golongan rentan miskin dan hampir miskin di Indonesia mencapai 66,7 juta orang, atau hampir tiga kali lipat jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan (golongan miskin dan sangat miskin). Sebagian besar dari golongan ini bekerja di sektor informal, termasuk yang mengandalkan upah harian.
ADVERTISEMENT
Jika penanganan pandemi berlangsung lama, periode pembatasan dan penurunan mobilitas orang akan semakin panjang. Akibatnya, golongan rentan miskin dan hampir miskin yang bekerja di sektor informal dan mengandalkan upah harian, sangat mudah kehilangan mata pencaharian dan jatuh ke bawah garis kemiskinan.