Guru PPKn dan Pancasila

Anggi Afriansyah
Terus belajar mencintai Indonesia. Berkisah tentang hidup sehari-hari.
Konten dari Pengguna
13 Juni 2017 15:56 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggi Afriansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu lalu lembaga UKP PIP yang digawangi Kang Yudi Latif didirikan. Niatannya bagus, agar Pancasila kembali diingat-ingat dan dipraktikan. Tapi belum-belum lembaga ini bekerja, banyak yang menyangsikan dan menyatakan lembaga ini hanya akan menjadi seperti BP7 dahulu di jaman orde baru. Saya tak mau menduga akan seperti apa lembaga ini. Karena memang baru terbentuk seminggu lalu. Namun kritik dari banyak pihak perlu diperhatikan. Karena jika tidak menggunakan stategi yang tepat, niatan baik pemerintah agar Pancasila lebih membumi tak akan tercapai. Di sini saya tak mau mengkritisi tentang pembentukan UKP PIP ini. Saya cuma mau bercerita tentang pengalaman saya sebagai guru PKn di masa lalu dan amatan saya tentang bagaimana guru PKn bisa berperan dalam internalisasi nilai-nilai Pancasila.
ADVERTISEMENT
Saya pernah mengajar PKn di SMA beberapa waktu yang lalu. Saya sendiri merasa tak optimal mengajarkan konten PKn yang materinya cukup berat. Pada masa itu kurikulum yang saya ajar belum menggunakan K13. Saya sendiri tak terlalu tahu apa saja muatan pembelajaran PKn (PPKn) untuk K13. Saya dengar sekilas-sekilas karena sering diskusi dengan istri saya yang kebetulan guru PKn. Juga diskusi dengan sahabat saya Satriwan Salim yang memang guru Pkn yang sudah berpengalaman mengajar PKn di SMA Labschool. Ia banyak menggunakan strategi agar pelajaran Pkn ini asyik dan menyenangkan. Tidak menjadi pelajaran yang dipinggirkan. Baca saja bukunya kalau mau tahu cara dia mengelola kelas PKn.
Apabila guru Pkn tidak bisa menjadikan pelajaran PKn asyik dan menyenangkan. Tak memberikan kegiatan atau penugasan kepada anak dengan cara yang kreatif niscaya pelajaran ini akan ditinggalkan. Karena memang tak semua guru Pkn punya kemampuan menyampaikan materi pelajaran secara asyik.
ADVERTISEMENT
Saya pun rasanya tak bisa menyampaikan materi dengan asyik. Saya sering merasa apa yang saya sampaikan dulu tak optimal. Beberapa teman yang kebetulan pernah belajar bersama saya, Dekza Arlingga, Davino Sujitno, Syifa Maharupini, Fachriadi Reza dan lainnya yang tak bisa saya tag di sini mungkin bisa menjadi saksi betapa tak optimalnya saya mengajar di Al Izhar dulu. Tetapi yang saya pegang satu. Mereka harus diberi keleluasaan untuk berpikir. Saya coba untuk mengenalkan mereka kepada beragam perspektif. Semoga mereka masih ingat. hehehe.
Saya coba mengoptimalkan potensi anak-anak yang saya ajar. Yang pertama dilakukan adalah mengenal siapa mereka. Dengan mengenal potensi mereka saya bisa memberi penugasan yang sesuai dengan maqam mereka. Tentu bercerita panjang lebar tentang materi apapun tak akan didengar. Generasi mereka adalah generasi kreatif yang tak mungkin berlama-lama mendengarkan. Listening skill menjadi problem. Kalau saya berceramah terlalu panjang maka mereka tak akan pernah betah. Maka saya beri mereka tugas-tugas.
ADVERTISEMENT
Saya minta mereka untuk wawancarai orang indonesia yang menikah dengan warga negara asing. Saya minta mereka mewawancarai politisi. Saya minta mereka untuk melakukan survei kecil-kecilan di dekat sekolah. Farah Syachbanu Luthfy dan kelompoknya bahkan pernah mewanwacarai Ahok ketika ia masih menjadi wakil gubernur. Nadyssa Willanda dan kelompok berhasil mewawancarai Abu Rizal Bakrie. Yang lain mewawancarai Sutrisno Bachir, Lukman Hakim Saifuddin, Sidarto Danusubroto dan tokoh lain. Saya waktu itu memberi tantangan sederhana, silakan mereka mewawancarai politisi dari level kabupaten/kota sampai nasional.Niatan saya satu. Mendekatkan mereka pada realitas negeri ini. Karena kalau di buku politik ya baik-baik saja. Mereka harus berjuang agar mendapatkan tokoh yang pas dan mau diwawancarai. Dan ternyata mereka bisa melakukan itu.
ADVERTISEMENT
Ada juga waktu di mana saya memanfaatkan video-video untuk ditampilkan di kelas kemudian didiskusikan. Saya pernah menampilkan video dokumenternya Joshua Oppenheimer The Act Of Killing dan Konghucu (Bukan) Agama Baru karya Mas Dandy Laksono. Tujuannya agar mereka punya perspektif lain tentang sesuatu. Semoga tujuan saya tercapai.
Saya memang guru yang banyak meminta. Saya minta karena saya tahu mereka pasti bisa. Saya tahu karena mereka punya jejaring dan kemampuan untuk melakukan itu. Dari situ mereka mendapatkan banyak kisah dan pengalaman yang tak didapat jika saya hanya ceramah saja. Ceramah saya pasti membosankan.
Kalau kata James Banks (2006) tujuan utama menyampaikan berbagai pengetahuan adalah untuk membantu peserta didik memahami proses konstruk pengetahuan dan pengetahuan yang mencerminkan konteks sosial di mana peserta didik berasal. Guru dan peserta didik memiliki konsep, pemahaman, penjelasan dan interpretasi berdasarkan pengalaman kesehariannya. Maka di ruang kelas harus dibuka kemungkinan untuk mendialogkan beragam persoalan. Guru dan peserta didik belajar untuk terus menerus kritis dalam menanggapi setiap persoalan dan pengetahuan yang dihadirkan di ruang kelas.
ADVERTISEMENT
Satu hal juga yang paling penting untuk dilakukan saat ini, mengutip Banks, kelas harus bisa menjadi arena di mana prejudise reduction dilakukan. Stigma, suudzon, prasangka yang ditabur di medsos harus bisa diidentifikasi bersama dalam proses pembelajaran, ditelaah dan didiskusikan. Jangan sampai justru gurunyalah yang menjadi penebar berita penuh desas desus dan hoaks. Yang menyebarkan berita-berita tipikal "terbongkar", "waspadalah" dan konten-konten provokatif lainnya.
Untuk nilai-nilai Pancasila. Untuk anak Sekolah Menengah, perlu dihadirkan kembali perdebatan-perdebatan para pendiri bangsa di masa lalu ketika mereka merumuskan Pancasila. Imajinasi kebangsaan pendiri bangsa di masa lalu penting dihadirkan agar mereka sadar betul mengapa akhirnya pendiri bangsa memilih Pancasila, bukan yang lain, sebagai dasar negara. Mereka juga harus diajak untuk menafsirkan dan mengkontekskan Pancasila dengan semangat millenials generation.
ADVERTISEMENT
Guru PPkn punya tugas besar untuk menjadikan anak bangsa ini lebih mencintai Indonesia. Karena, saat ini semakin banyak orang yang tidak lagi meneladani semangat para pendiri bangsa. Sehingga tidak heran jika semakin ramai orang yang seneng gugat Pancasila, menebal-nebalkan kebencian.